Krisis
ekonomi telah makan korban Pemerintahan Presiden Soekarno dan Presiden
Soeharto. Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada saat ini harus
bergulat keluar dari lubang jarum ''akses energi'' yang menyeret ke krisis
ekonomi dan pangan akibat melambungnya harga minyak dunia.
Krisis ekonomi telah makan korban Pemerintahan
Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto. Sementara itu, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pada saat ini harus bergulat keluar dari lubang jarum ''akses
energi'' yang menyeret ke krisis ekonomi dan pangan akibat melambungnya harga
minyak dunia. Energi Pemerintah praktis habis terkuras untuk mencari solusi
pemenuhan energi agar terjangkau masyarakat miskin. Krisis dengan magnitude
lebih dahsyat dipastikan terjadi bila krisis air mengemuka, karena pasti
diikuti krisis pangan dan kesehatan dengan efek sistemik dan permanen.
Menjadi menyeramkan lagi jika bersamaan
dengan itu, terjadi krisis energi dan krisis ekonomi. Konflik vertikal,
horizontal, dan diagonal dengan korban masyarakat miskin merupakan dampaknya.
Skenario terjadinya krisis energi, air, dan pangan secara simultan disadari
benar oleh Pemerintahan SBY-JK.
Itulah sebabnya, Departemen Pertanian, Departemen Pekerjaaan Umum, Departemen Kehutanan, serta Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral ditugasi melakukan antisipasi dini. Sayangnya, diskusi dan penyusunan rencana kerja yang demikian intensif itu tidak terdengar lagi tindak lanjutnya.
Itulah sebabnya, Departemen Pertanian, Departemen Pekerjaaan Umum, Departemen Kehutanan, serta Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral ditugasi melakukan antisipasi dini. Sayangnya, diskusi dan penyusunan rencana kerja yang demikian intensif itu tidak terdengar lagi tindak lanjutnya.
Terjadinya konflik air petani Indramayu
bagian timur dengan petani Cirebon dan Majalengka pada saat musim kemarau,
serta demonstrasi petani terhadap aparat keamanan soal pembagian air, merupakan
teladan betapa dahsyatnya krisis air. Merebaknya preman atau oknum aparat
penjaga pintu menggunakan hukum rimba ''homo homini lupus'' bila eskalasi
krisis air tidak terpecahkan. Turbulensinya dipastikan sangat dahsyat, karena
air tidak mungkin diimpor dan diproduksi dalam waktu singkat, apalagi tidak ada
world water market.
Karena itu, diperlukan format
penyelesaian krisis air yang realistis dengan membayar jasa warga miskin di
hulu dan memajak orang kaya di hilir agar krisis air jelas siapa penerima
manfaatnya dan yang bertanggung jawab. Praktis tidak ada kemajuan berarti dalam
perbaikan lingkungan dibandingkan dengan tingkat kerusakannya. Perubahan
lingkungan strategis otonomi daerah mendorong hutan dan mata air menjadi objek
vital utama untuk dieksploitasi. Model pembangunan bersih partisipatif
non-dogmatif indoktrinasi yang dilakukan PT Krakatau Steel dengan masyarakat
Cidanau merupakan terobosan yang perlu dikembangkan dalam menyelesaikan krisis
air.
Adaptasi
Perubahan Iklim
Adaptasi terhadap perubahan iklim
merupakan tantangan terberat yang dihadapi negara dalam menghadapi
ketidakpastian iklim yang makin tidak menentu. Kekeringan dan banjir dipastikan
masih terjadi dalam jangka menengah, sehingga ada dua pilihannya: (i) berkawan
dengan perubahan iklim melalui adaptasi dan mitigasi dan (ii) memberdayakan
sumber daya manusia agar kreativitasnya meningkat sehingga mampu memanfaatkan
sumber daya setempat untuk menyelesaikan krisis air, pangan, dan energi yang
semakin hari semakin mencemaskan.
Bentuk adaptasi paling nyata adalah
menyediakan varietas dan klon tanaman dan ternak yang adaptif terhadap
perubahan iklim. Pada saat ini, sudah dihasilkan beberapa varietas padi yang
konsumsi airnya rendah sehingga dapat dibudidayakan pada musim kemarau.
Pendekatan ini memungkinkan lahan lahan yang underutilized dapat didayagunakan
sehingga dapat mengentaskan kemiskinan dan membuka lahan kerja. Padi gogo Situ
Patenggang dan Situ Bagendit merupakan teladan nyata bagaimana kita
menyelamatkan kekeringan agar tidak menyebabkan kehancuran. Lebih jauh, teknologi
ini juga dapat mereduksi risiko kekeringan yang selama ini penanganannya belum
maksimal.
Untuk mendukung pengembangan lahan kering
yang rawan kekeringan, Departemen Pertanian melalui Direktorat Jenderal
Pengelolaan Lahan dan Air telah menyusun cetak biru tentang banjir dan
kekeringan. Cetak biru ini dapat menampilkan besaran kekeringan dan lokasi
serta dampak yang ditimbulkan. Informasi itu memungkinkan masyarakat dan Pemerintah
memilih lokasi prioritas yang harus ditangani dengan perhitungan tingkat keberhasilannya.
Berkaitan dengan kreativitas, maka
pendayagunaan keunggulan dan kemasyhuran teknologi berbasis kearifan lokal
perlu dikembangkan. Selain tidak memerlukan biaya besar. Pemerintah dan
masyarakat yang bermukim di daerah rawan kekeringan harus menyadari dan mencari
pilihan kongkret untuk mereduksi bahaya kekeringan.
Perubahan budaya menjadi titik tolak
utama dalam mengatasi kekeringan. Sebab, berdasarkan pemantauan di lapangan,
kekeringan terjadi di bagian hilir aliran irigasi yang memaksa penanaman padi
sekalipun airnya tidak memadai. Perilaku buruk memaksakan diri menanam padi
ketika air tidak tersedia dan selanjutnya ketika gagal panen menyalahkan Pemerintah
harus dihentikan, karena selain tidak sehat, juga tidak mendidik.
Blow
up kekeringan di wilayah rawan kekeringan pada puncak musim kemarau
merupakan teladan kongkret yang selama ini terus dimanfaatkan dan dipolitisasi
oknum tertentu demi kepentingan sesaat yang sangat menyesatkan. Media juga
harus mengedukasi masyarakat bahwa mereka harus melihat kekeringan sebagai
bagian siklus musim yang sangat besar perannya dalam menjaga kelestarian sumber
daya alam serta memutus siklus hama dan penyakit secara alamiah.
Wilayah rawan kekeringan harus
dipublikasikan, termasuk periode dan jenis tanamnya yang direkomendasikan.
Menanam komoditas non-padi di musim kemarau merupakan teladan nyata bagaimana
mengatasi kekeringan di lapangan. Harga jagung yang melonjak dengan konsumsi
air yang rendah dan produktivitas yang tinggi menjadi nilai tambah keunggulan
komparatif dan kompetitif penanggulangan kekeringan.
Pemulihan kualitas lingkungan dengan
pendekatan partisipatif merupakan cara fundamental dalam menyelesaikan masalah
kekeringan yang harus dilakukan semua pihak. Dana yang tersedia sangat banyak.
Sayang, Pemerintah kabupaten/kota belum mendaya-gunakan sumber daya yang
tersedia untuk pemulihan lingkungan. Berbagai program disediakan, mulai gerakan
reboisasi hutan dan lahan, gerakan nasional kemitraan pengelolaan sumber daya
air, serta dana tugas perbantuan yang ada di berbagai departemen teknis,
seperti Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan, Departemen Pekerjaan Umum,
dan instansi terkait lainnya.
Kepala daerah (bupati/wali kota) perlu
menyinergikan sumber daya dari berbagai instansi Pemerintah agar berdaya guna
dan berhasil guna. Lingkungan terus mengalami degradasi dan dana terus
dikucurkan. Kini yang diperlukan adalah bekerja keras, sungguh-sungguh, agar
dana yang tersedia dapat memberikan manfaat semaksimal mungkin.
Pemasaran
Hasil
Pembangunan bersih dan hijau merupakan
salah satu model pembangunan yang harus terus dikembangkan. Selain dapat
menyinergikan sektor perekonomian, bisnis, lingkungan dan tenaga kerja,
pembangunan bersih dapat meningkatkan adaptasi masyarakat terhadap perubahan
iklim, baik banjir maupun kekeringan. Postulat dasarnya, pembangunan harus
menjadikan setiap aktivitas sebagai investment yang profitable dan bankable
serta acceptable, bukan sebagai biaya (cost).
Format ini harus didetailkan dalam setiap
praktek pembangunan, agar nilai tambah dan multiplier
effect ekonomi, lingkungan, dan tenaga kerjanya dapat raih secara simultan.
Pemerintah perlu menyediakan plihan kombinasi menu pembangunan yang dapat
diadopsi dunia usaha, sehingga paradigma pembangunan lingkungan yang
membenturkan pengusaha besar dengan Pemerintah dan masyarakat dapat dihentikan.
Pembangunan perumahan dapat dijadikan
teladan dalam interfacing sektor
bisnis, tenaga kerja, dan lingkungan. Pengembang dapat menyediakan luas hutan
30% dari 40% fasilitas umum, dengan membangun kebun buah-buahan. Sampah di
permukiman dijadikan kompos, dengan membangun rumah kompos seperti yang
dilakukan Departemen Pertanian.
Selanjutnya kompos itu dimanfaatkan untuk
memupuk bunga, tanaman sayur, sehingga membuka lapangan kerja, menghasilkan
uang, sekaligus membersihkan lingkungan. Waste
water treatment dan water harvesting
dalam bentuk kolam dapat dikembangkan sehingga lebih sehat dan asri. Format
pembangunan ini harus diperluas ke sektor energi, industri, dan transportasi
sehingga pencemaran lingkungan dapat diminimalkan.
Pemerintah harus ''memaksa perbankan''
mengubah mindset dan membuka kacamata
kudanya agar bersedia merombak format pemberian kredit. Perombakan mendasar
tentang jenis, komposisi, proporsi, dan alokasi pembiayaan yang lebih besar
kepada petani dan usaha mikro kecil merupakan bentuk kongkretnya. Para bankir
harus sadar bahwa kedaulatan negeri ini ada di tangan rakyat miskin di
perkotaan serta petani, buruh tani, dan nelayan miskin di perdesaan. Perbankan
harus memainkan peran intermediasi, dengan membantu pemasaran produksi
pertanian, agar petani keluar dari cengkeraman maut spekulan yang selalu
mempermainkan harga produk pertanian.
Pemberdayaan petani memungkinkan mereka
lebih berdaya dan memiliki modal untuk memperbaiki lingkungan dalam mencegah
krisis air. Presiden melalui para pembantunya perlu memantau alokasi pembiayaan
bank BUMN, apakah sudah berpihak pada rakyat miskin atau hanya berkolusi dengan
konglomerasi.
Kita meyakini sepenuhnya bahwa ''bersama
kita bisa'' itu pasti. Kalau tidak bisa, berarti kita belum bersama. Kalau
belum bersama, pasti kita tidak bisa. Beberapa bank BUMN, seperti Bank BNI,
BRI, dan beberapa BPD, sudah mulai berpihak pada petani. Jumlah itu belum cukup
dibandingkan dengan kebutuhan dan masalah yang dihadapi petani yang ada di
Tanah Air. Harus ada kebesaran hati dan keberpihakan yang kuat para bankir
untuk membantu Indonesia keluar dari kirsis air yang mencemaskan.
(di muat di Majalah Gatra – 27 Agustus 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar