Macetnya perundingan sektor pertanian
pada putaran Doha yang diprakarsai World
Trade Organization (WTO) telah mendorong liberalisasi sektor pertanian
secara bilateral ataupun regional melalui percepatan penurunan/penghapusan
tarif.
Indonesia telah meratifikasi
perdagangan bebas (FTA) Asean dan China (ACFTA) melalui Keppres 48 Tahun 2004
yang telah berlaku efektif 1 Januari 2010.
Argumennya, pengurangan hambatan
ekonomi dan biaya yang lebih murah akan meningkatkan perdagangan, investasi
intra regional, meningkatkan efisiensi ekonomi, menciptakan pasar lebih besar
dengan kesempatan dan skala usaha lebih besar serta meningkatkan daya tarik
para pihak dalam modal dan kemampuan.
Secara simultan, Indonesia akan
melakukan refokusing pengembangan sektor pertanian berdasarkan keunggulan
komparatif dan kompetitifnya.
Pertanyaan mendasarnya: benarkah
Indonesia mampu meraih manfaat dari perdagangan bebas dan bukan sebaliknya
justru menjadi korban pasar bebas? Apa dasar dan pertimbangan dan argumennya?
Fakta menunjukkan bahwa trade balance produk pertanian Indonesia
tahun 2008 surplus US$ 2,19 miliar dengan nilai ekspor US$ 2,89 miliar dan
impor US$ 689,1 juta.
Nilai surplus terbesar diperoleh dari
perkebunan seperti minyak sawit lainnya, karet SIR 20, minyak dan lemak dari
sayuran, minyak sawit, karet lembaran, minyak inti sawit, minyak kopra, biji
coklat, pecah, setengah pecah, mentah atau roasted, gaplek iris dan kering
sebesar 2.756 miliar US$.
Sementara impor terbesarnya berturut
turut subsektor hortikultura bawang putih segar, buah apel, pir dan kwini
mandarin segar , mandarin lain kering dan komoditas buah lainnya sebesar US$ 434,4
juta, subsektor pangan berupa benih gandum dan gandum lainnya, gula kasar,
kacang kupas dan komoditas pangan lainnya sebesar US$ 109,53 juta dan subsektor
peternakan umumnya berupa impor binatang hidup US$ 17,947 juta.
Diharapkan berlakunya ACFTA akan
mendongkrak ekspor produk pertanian Indonesia secara signifikan. Ada dua
pertanyaan mendasar yang harus diantisipasi agar Indonesia mampu meraih manfaat
dari ACFTA: (i) Biaya produksi sangat murah dan hidden agenda Pemerintah China
yang sangat agresif memperluas pasar Asean yang sangat potensial (ii) China
sebagai negara terkaya cadangan devisanya.
Produk pertanian China dengan biaya produksi
yang sangat murah akan mematikan produk sejenis dan suplementer yang menjadi
kompetitornya. Pemerintah dan semua pemangku kepentingan harus menyelidiki
mengapa biaya produksi barang impor dari China sangat murah.
Benarkah ada dumping dalam produk China
yang diimpor? Jika itu tidak dapat dilakukan, hampir dipastikan sebagian produk
dalam negeri sulit bersaing dengan produk impor China.
Jeruk mandarin, alat mesin pertanian,
tepung gandum, makanan olahan kalau tidak dumping, maka tidak saja akan melabrak
produk pertanian lokal tetapi juga industri usaha mikro kecil dan menengah
(UMKM) yang menyerap banyak tenaga kerja dan penopang Indonesia saat krisis.
Apabila itu terjadi, maka efek bola saljunya sangat dahsyat.
Dampak jangka panjang penghapusan hambatan
investasi di Indonesia memungkinkan China mampu membeli sumber ekspor negara
negara Asean seperti perkebunan kelapa sawit, karet, kopi, kakao melalui bursa.
Berdasarkan ilustrasi tersebut, maka surplus trade balance saat ini masih perlu
diwaspadai perkembangannya, karena bisa saja sifatnya semu dan temporer.
Semakin longgarnya aturan investasi dan
perdagangan barang, jasa dan tenaga kerja, memungkinkan China dapat membeli apa
saja dan kapan saja demi penguatan ekonomi, sosial dan politiknya. Pertanyaannya,
bagaimana memanfaatkan FTA agar Indonesia memperoleh manfaat yang besar.
Memaknai Peluang
Ada dua strategi yang harus dilakukan
Indonesia agar dapat memaknai ACFTA sebagai peluang: (i) fokus kepada komoditas
unggulan baik di hulu, on farm dan hilir (ii) penguatan perangkat karantina
melalui penerapan Sanitary and Phytosanitary (SPS), Special Product (SP), codex
allimentation, produk buah segar dan halal. Komoditas yang daya saingnya kuat
terus dimaksimalkan efisiensinya mulai sistem produksi, pasca panen, pengolahan
hasil dan pemasaran.
Bantuan pupuk, benih dan bibit unggul,
subsidi pupuk anorganik, insentif harga dan produktivitas serta dukungan
infrastruktur seperti: jalan, pelabuhan termasuk transportasi serta riset
pertanian harus disinergikan.
Produk perkebunan kelapa sawit, karet,
kakao dan buah eksotik salak, mangga, manggis dapat dikembangkan melalui
bantuan benih dan bibit unggul yang diproduksi secara somatic embryogenesis
seperti yang sudah dilakukan pada kakao.
Bantuan grading, packaging, cool storage sampai low carrier cargo transport harus diberikan. Apabila Indonesia
mampu menyinergikan sumber daya yang ada di dalam negeri, maka secara alamiah
terjadi penguatan kapasitas produksi yang luar biasa untuk menerobos pasar yang
lebih besar. Argumennya, jika produk Indonesia mampu bersaing dengan produk
sejenis dan suplementernya yang dihasilkan China, maka secara mondial produk
kita berkelas dunia.
Filter karantina melalui penerapan SPS,
SP, codex allimentation, produk buah
segar dan halal akan memperkuat daya saing produk buah nasional. Tentu
penerapan itu harus hati hati agar tidak menimbulkan kelangkaan (shortage) pasokan dalam negeri.
Penerapan SPS pada bawang merah
terbukti mampu meredam gejolak harga bawang merah di sentra produksi saat panen
raya. Penerapan standar buah segar yang diimpor dipastikan dapat mereduksi buah
impor yang masuk ke Indonesia sekaligus memperkuat daya saing buah Indonesia.
Argumennya, para importir buah telah
meminta penundaan dua kali penerapan impor buah segar yang saat ini sudah tidak
ditunda lagi. Demikian juga penerapan standar halal untuk daging dan produk
olahan yang mengandung daging dipastikan akan memfilter produk daging impor
yang masuk ke Indonesia.
Untuk memperkuat daya saing komoditas
pertanian kita di pasar Asean dan China, maka peningkatan standar dan mutu
produk pertanian melalui penerapan Good Agriculture
Practice (GAP), registrasi kebun petani.
Peningkatan promosi ke pasar China dan
fasilitasi eksportir dalam bentuk katalog, brosur dan contoh produk melalui
kerja sama dengan KBRI dan Konjen di China.
Akhirnya, peningkatan
public awareness masyarakat Indonesia
tentang pentingnya mengkonsumsi dan mencintai produk buah dan sayuran serta
daging dalam negeri sangat diperlukan agar daya saing dalam negeri diperkuat
dengan kecintaan masyarakat akan produk yang dihasilkan bangsanya.
(di muat di Harian
Umum Bisnis Indonesia, 13 Januari 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar