Jumat, 08 Agustus 2014

MENYIASATI GUNCANGAN PERBERASAN

Benarkah kenaikan harga beras terjadi akibat supply dan demand? Pertanyaan yang harus dijawab itu mengemuka karena modus untuk mengambinghitamkan rendahnya produksi padi dan harga serta kondisi iklim sudah sering dilakukan.
Tahun 2006, impor dilakukan dua kali, pertengahan Juni dan Desember. Ironisnya, meski sedang panen raya, impor 210.000 ton beras pada pertengahan Juni dilakukan juga. Modusnya, memanfaatkan isu kekeringan, persiapan Lebaran, dan kenaikan harga gabah kering panen di lapangan di atas harga psikologis (Rp 2.400 per kg). Kali ini tekanan dilakukan saat awal musim hujan mundur, memasuki Natal dan Tahun Baru 2007, dan harga gabah mencapai Rp 3.015 per kg.
Begitu cepat dan mudahnya spekulan mempermainkan harga gabah atau beras di masyarakat terjadi karena selisih antara pasokan dan kebutuhan amat tipis, pasar beras cenderung oligopolistik dan terjadinya penimbunan.
Ada dua pengalaman nyata di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan terkait permainan spekulan. Saat Gubernur Jawa Timur mengumumkan akan melakukan sweeping dan menindak penimbun beras, seketika itu harga beras turun Rp 250 per kg. Sementara di Sulawesi Selatan, aparat mendapati gudang penimbunan beras milik perorangan yang jumlahnya luar biasa. Berdasarkan dua ilustrasi buruk ini, bisa dipastikan harga beras lebih disebabkan masalah unfair business dibanding masalah produksi.
Pertanyaannya, bagaimana mengatasi benang kusut perberasan ini? Peningkatan produksi padi dan penegakan hukum yang tegas adalah solusinya.
Peningkatan Produksi
Meski masalah perberasan tidak hanya terkait produksi, tetapi peningkatan produksi beras secara all out harus dilakukan secepatnya agar tidak dijadikan kambing hitam dalam impor beras. Swasembada absolut tanpa impor dapat dicapai tahun 2008 jika produksi padi dapat mencapai 58 juta ton. Untuk itu diperlukan paling tidak 2,2 juta ton GKP tambahan dari tahun 2006.
Untuk memenuhi tambahan produksi padi agar mencapai swasembada beras absolut, Departemen Pertanian akan melaksanakan lima program unggulan: subsidi benih unggul, pengembangan tata air mikro, rehabilitasi jaringan tingkat usaha tani (JITUT) dan jaringan irigasi desa (Jides), pembuatan sawah baru, dan pengendalian organisme pengganggu tanaman selain program pendukung lain. Masih banyak program lintas subsektor yang dipastikan akan menambah produksi padi nasional. Khusus TAM, Jides, dan JITUT bekerja sama dengan Departemen Pekerjaan Umum dan Departemen Dalam Negeri.
Melalui dana subsidi benih sekitar Rp 1,25 triliun tahun 2007 dan akan ditingkatkan tahun 2008, maka mutu benih pertanaman padi sekitar 6,21 juta hektar dapat diperbaiki sehingga diharapkan terjadi peningkatan produksi 0,15 ton per ha, ekuivalen dengan 0,931 juta ton GKP.
Tambahan berikut, dari pengembangan tata air mikro di lahan rawa pasang surut maupun rawa lebak seluas 118.000 ha dengan produksi 2,0 ton per ha untuk dua musim tanam akan menghasilkan 472.000 ton GKP. Melalui perluasan areal sawah baru 35.000 hektar dengan dua kali panen masing-masing 2,0 ton per ha, diperoleh tambahan produksi 140.000 ton GKP. Optimasi lahan dan rehabilitasi Jides dan JITUT masing-masing seluas 105.000 ha dapat dihasilkan 110,5.000 ton GKP. Dengan dukungan pengendalian organisme pengganggu tanaman, dapat diperoleh tambahan hasil 0,1 ton per ha dari 5,5 juta areal panen sehingga diperoleh 0,621 juta ton GKP. Dengan demikian, total tambahan produksi dari kelima program mencapai 2,27 juta ton GKP, lebih besar dari target 2,2 juta ton untuk mencapai swasembada absolut. Sisanya, 0,07 juta ton, dapat diekspor untuk validasi swasembada absolut tercapai.
Desentralisasi Bulog
Posisi Bulog dan Dolog sebagai instansi vertikal dalam stabilisasi pasokan dan harga tidak relevan lagi. Desentralisasi Bulog dan Dolog ke Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota merupakan pilihan yang menjanjikan. Pertimbangannya, dengan berada langsung di bawah gubernur/bupati/wali kota, stok beras secara riel time dapat dipantau secara on line sehingga skenario pemenuhan kebutuhan pangan dapat dilakukan dan diantisipasi lebih dini. Terjadinya kolusi antara pedagang beras Dolog bisa diperkecil karena orientasi Dolog memenuhi kebutuhan pangan setempat (in situ). Sementara pemenuhan pangan lintas kabupaten/provinsi dapat dilakukan melalui forum antar gubernur, bupati, maupun wali kota.
Lebih jauh, melalui desentralisasi, Dolog ditumbuhkembangkan menjadi unit produksi, stabilisator pasokan, dan harga di lapangan. Pengawasan dan penimbunan lebih mudah dilakukan Pemerintah dan masyarakat.

Presiden SBY harus menindak tegas penyebab gonjang-ganjing perberasan nasional meski mereka berlindung di balik baju eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Jika masalah perberasan tidak dituntaskan, dipastikan akan memperpanjang daftar kebutuhan pokok masyarakat penentu hajat hidup orang banyak yang mudah dipermainkan harga maupun pasokannya. Minyak tanah, pupuk, dan bensin adalah teladannya. Tanpa langkah tegas dan transparan, dipastikan Indonesia kian tertinggal dari bangsa manapun karena tiap saat harus menghadapi masalah yang sebenarnya diketahui cara penyelesaiannya. 

(Tulisan ini dimuat pada: Harian Umum Kompas – 09 Januari 2007)

Tidak ada komentar: