Jumat, 08 Agustus 2014

BANJIR

      Banjir bandang (flash flood) dan genangan (inundation) makin sering terjadi, tidak mengenal musim, waktu, lokasi, dan korbannya dengan besaran yang kian mencemaskan. Laju pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi merupakan tantangan terberat dalam pengelolaan banjir. Dampaknya, lahan dan air dieksploitasi melampaui daya sangganya (buffering capacity), sehingga mendorong degradasi biofisik daerah aliran sungai (DAS) terus terjadi.
       Daerah banjir terus bergerak meluas dari wilayah urban, peri-urban, sampai perdesaan. Praktis, hampir semua DAS di Indonesia rawan banjir atau bencana lainnya. Kerugian akibat banjir dan genangan terus meningkat karena frekuensi banjir besar makin tinggi.

       Pertanyaannya, akankah kota Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Semarang, Palembang, Makassar, Banjarmasin, Samarinda, dan kota-kota besar lainnya dibiarkan hancur dan musnah diterjang banjir? Padahal, kota-kota itu dibangun dengan dana dan tenaga yang besar serta waktu yang panjang. Seperti apakah kondisi hidrologis sungai utama kita di Jawa yang sangat padat penduduk? Adakah peluang dan ruang untuk memperbaiki dan mencegah bencana terjadi?
       Menurut data Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (2007), dari 16 sungai utama di Jawa yang dipantau menunjukkan, rasio debit maksimum terhadap debit minimum bervariasi dari 318 (Kali Brantas) sampai 12.500 (Sungai Citanduy). Sebagai urat nadi perekonomian, maka degradasi kualitas sungai akan berdampak langsung terhadap penurunan kinerja ekonomi local maupun regional. Menurut Ven The Chow (1987), sungai dikatakan kritis apabila nilai rasionya lebih dari 20, sedangkan termasuk tidak kritis apabila di bawah 20.
       Sekalipun Departemen Pekerjaan Umum sudah melonggarkan batas kriteria menjadi 50, sungai-sungai tersebut tetap tidak dapat diklasifikasikan (unclassified). Argumennya, sungai yang mengalami peningkatan nilai rasio Qmak/Qmin melampaui 100, maka respons hidrologi atas perubahan input curah hujannya berubah secara total. Diperlukan introduksi kelas kekritisan baru, yaitu berisiko tinggi (high risk), selain kriteria kritis dan tidak kritis bagi sungai yang rasionya lebih dari 100.
       Peningkatan kelas dari kritis menjadi berisiko tinggi merefleksikan bahwa setiap tempat kedudukan permukaan tanah yang ada di permukaan tangkapan air (basin) berisiko tinggi ‘’permanently’’. Paling tidak, satu dari tiga jenis bencana, yaitu banjir, tanah longsor, ataupun kekeringan, dapat terjadi. Basin berisiko tinggi yang tidak ditangani akan meningkat jumlah risikonya dari satu jenis menjadi dua, dan dari dua menjadi tiga jenis bencana.
       Tragisnya, selain jumlah bencana bertambah, wilayah yang berisiko tinggi ternyata juga bertambah. Pergerakan dari zona pengendapan (delivery zone) dalam bentuk banjir dan genangan di hilir meluas ke zona transportasi sedimen (transfer zone) di tengah sampai zona produksi (river basin) di hulu dalam bentuk kekeringan dan longsor.
       Tindakan ad hoc, partial, dan project oriented Pemerintah pada basin yang kritis sampai saat ini belum mampu menurunkan tingkat kekritisan basin. Bahkan sebaliknya, DAS menjadi lebih kritis dan yang awalnya tidak kritis menjadi kritis. Tidak adanya success story yang signifikan dalam penanggulangan banjir ini menumbuhkan sikap pesimisme dan apriori terhadap kemampuan bangsa dalam penanggulangan banjir.
       Potret itu juga dapat merefleksikan tiga kemungkinan. Pertama, laju degradasi basin jauh lebih kuat dibandingkan dengan kemampuan pemulihan yang dilakukan Pemerintah bersama masyarakat. Kedua, pemulihan yang dilakukan Pemerintah bersama masyarakat tidak efisien dan atau tidak efektif menekan risiko banjir di lapangan. Ketiga, kombinasi keduanya.
       Hasil pengamatan di beberapa DAS berisiko tinggi menunjukkan, sumber utama akselerasi perambatan dan eksplosi bencana banjir adalah tidak berfungsinya vegetasi dan tanah di zona lindung, produksi secara proporsional sebagai regulator dan distributor air. Distruksi lingkungan hutan di hulu, impemeabilisasi lahan dengan tutupan beton dan aspal di tengah dan hilir menyebabkan laju infiltrasi tanah menurun tajam.
       Implikasinya, sebagian besar volume air hujan ditransfer menjadi aliran permukaan. Perubahan luas dan kualitas tutupan lahan dari berpenutup vegetasi ke beton dan aspal menyebabkan debit puncak (peak discharge) makin meningkat tajam dan waktu menuju debit puncak (time to peak discharge) sangat singkat.
       Kondisi ini menyebabkan tidak tersedianya waktu yang memadai untuk evakuasi korban, sehingga risiko kerugian dan jumlah korban yang ditimbulkan sangat besar. Pelajaran pindahnya Kerajaan Demak Bintoro ke Pajang, Surakarta, akibat diterjang banjir perlu dijadikan acuan untuk memikirkan nasib Ibu Kota Jakarta. Bahkan, bila perlu, kota-kota provinsi yang pada saat ini rawan banjir patut dipikirkan keberlanjutannya, sambil melakukan perbaikan DAS secara menyeluruh.
       Diperlukan perombakan total orientasi pembangunan ekonomi dari berbasis infrastruktur fisik massif ke pembangunan pertanian rakyat. Pemborosan modal dan teknologi serta kerentanan terhadap gejolak ekonomi dan politik dapat diubah menjadi berbasis kerakyatan yang broad spectrum. Dengan memanfaatkan keunggulan komparatif dan kompetitif sumber daya alam, maka sasaran, target, dampak, dan benefecieries pembangunan dapat dioptimalkan. Slogan dan statemen politik harus dihentikan, diganti dengan kerja nyata.
       Perubahan itu harus tercermin pada alokasi pendanaan dan investasi belanja Pemerintah, termasuk pengembangan sumber daya manusia. Pertimbangannya, sekalipun pembangunan fisik menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dan mendorong pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan-nya semu, sangat rawan guncangan, baik politik, moneter internasional, maupun gejolak sosial.
       Malaysia dan Thailand membuktikan bahwa pembangunan pertanian mampu mendorong pertumbuhan ekonomi negara secara signifikan, kokoh terhadap gejolak, termasuk krisis ekonomi internasional yang melanda kawasan Asia pada 1997. Pemerintah harus mengalkulasi ulang sektorsektor mana saja yang boros devisa, rawan korupsi, ngemplang utang, dan merusak lingkungan, serta sektor mana saja yang tumbuh pesat di segala medan pertempuran ekonomi sehingga perlu dipacu secara khusus.
       Revisi Undang-Undang Otonomi Daerah secepatnya mutlak dilakukan. Argumennya, pelimpahan pengelolaan lingkungan ke daerah otonomi (kabupaten/kota) lebih banyak menimbulkan eksploitasi untuk kepentingan sesaat yang sesat ketimbang dikelola secara berkelanjutan. Penguasa daerah lebih berpikir bagaimana memulihkan biaya pilkada dan atau memenangkan pemilihan berikutnya ketimbang berpikir tentang pelestariannya.
       Peningkatan besaran banjir serta laju degradasi hutan dan lingkungan sebelum dan sesudah periode otonomi merupakan argument penguatnya. Dana pembangunan sudah digelontorkan melalui dana tugas pembantuan, dana alokasi khusus, dan dana dekonsentrasi. Belum lagi dana APBD I dan APBD II. Faktanya: jenis, jumlah dan frekuensi, serta korban bencana banjir terus meningkat.
       Perbaikan otonomi dapat dilakukan melalui pemberian otonomi selektif dan bertahap, dari provinsi sampai kabupaten, tergantung kemampuannya mengelola lingkungan dan memenuhi pendapatan asli daerahnya. Perubahan pemberian otonomi ini dipastikan dapat menjadi filter dan rem yang efektif dalam menekan laju pemekaran provinsi dan kabupaten yang makin tidak terkendali.
       Water harvesting merupakan pilihan menjanjikan untuk menurunkan volume aliran permukaan dan sumber malapetaka banjir. Pendekatan ini juga dapat menambah cadangan air tanah untuk antisipasi kekeringan di musim kemarau. Diperlukan pengembangan komoditas bernilai ekonomi tinggi hortikultura, ternak, dan perikanan agar masyarakat dapat memperoleh manfaat langsung dari water harvesting ini.
       Peningkatan pendapatan masyarakat dalam jangka pendek, menengah, dan panjang dapat memotivasi dan mendorong pengembangan program water harvesting secara mandiri, tanpa bergantung pada Pemerintah. Dengan memanfaatkan cekungan/alur sungai kecil bekas galian C, petani dapat menahan aliran air untuk mengisi reservoir untuk pertanian.
       Inisiasi pengembangan water harvesting itu dapat diimplementasikan di Wonosari, Gunung Kidul, Selopamioro, Bantul, Kutai Kartanegara, Sumedang, Sukabumi, dan masih banyak lagi. Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian, setiap tahun mengalokasikan dana setidaknya untuk 699 embung dan dam parit di seluruh Indonesia.
       Jumlah itu jauh dari mencukupi. Karenanya, diperlukan partisipasi masyarakat. Menurut kalkulasi sederhana, setidaknya diperlukan penampungan air 5 milyar meter kubik per tahun atau ekuivalen lima Waduk Jatiluhur untuk mengatasi banjir dan kekeringan. Apabila kapasitas embung 500-1.000 meter kubik, maka diperlukan 5-10 juta embung di Indonesia.
       Kendala utama yang dihadapi adalah ketersediaan lahan untuk pembangunan embung atau dam parit. Beberapa petani ada yang minta ganti rugi, padahal embung dibangun untuk menyediakan air bagi petani. Harus ada kebijakan yang tegas dari gubernur dan bupati/wali kota dalam penyediaan lahan agar tidak menjadi kendala dalam pengembangan embung.
       Pemerintah harus tegas melarang pembangunan horizontal agar lahan dengan tutupan beton dapat dihentikan. Impermeabilisasi di hulu, tengah, dan hilir harus pula dihentikan. Subsidi rumah susun dan pembangunan vertikal digalakkan agar degradasi lahan dapat diminimalkan. Komitmen itu harus dimulai dari teladan nyata. Semua pihak harus satu kata agar program masa depan itu dapat dieksekusi di lapangan.
       Indonesia harus mulai mengelola air dan ruangnya secara bijaksana sekarang ini juga, karena banjir dan kekeringan sudah menjadi masalah yang mencemaskan. Perhatian Pemerintah dan masyarakat harus terus ditumbuhkan agar bencana peradaban dapat diantisipasi lebih dini. Penyediaan air yang memadai menurut ruang dan waktu dipastikan dapat mengubah secara fundamental bencana banjir menjadi modal ekonomi.
       Menurunnya biaya sosial akibat bencana dapat digunakan untuk keperluan pembangunan. Semua pemangku kepentingan harus percaya bahwa peningkatan ketersediaan air akan mampu memutar roda ekonomi lebih stabil dan berkelanjutan, apa pun kondisi iklimnya. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita, siapa lagi?

(Tulisan ini dimuat pada: Majalah Gatra – 12 Desember 2007)


Tidak ada komentar: