Banjir bandang (flash flood) dan genangan (inundation)
makin sering terjadi, tidak mengenal musim, waktu, lokasi, dan korbannya dengan
besaran yang kian mencemaskan. Laju pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi
merupakan tantangan terberat dalam pengelolaan banjir. Dampaknya, lahan dan air
dieksploitasi melampaui daya sangganya (buffering capacity), sehingga
mendorong degradasi biofisik daerah aliran sungai (DAS) terus terjadi.
Daerah banjir terus
bergerak meluas dari wilayah urban, peri-urban, sampai perdesaan. Praktis,
hampir semua DAS di Indonesia rawan banjir atau bencana lainnya. Kerugian
akibat banjir dan genangan terus meningkat karena frekuensi banjir besar makin
tinggi.
Pertanyaannya, akankah
kota Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Semarang, Palembang, Makassar,
Banjarmasin, Samarinda, dan kota-kota besar lainnya dibiarkan hancur dan musnah
diterjang banjir? Padahal, kota-kota itu dibangun dengan dana dan tenaga yang
besar serta waktu yang panjang. Seperti apakah kondisi hidrologis sungai utama
kita di Jawa yang sangat padat penduduk? Adakah peluang dan ruang untuk
memperbaiki dan mencegah bencana terjadi?
Menurut data
Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (2007), dari 16 sungai utama di Jawa yang dipantau
menunjukkan, rasio debit maksimum terhadap debit minimum bervariasi dari 318
(Kali Brantas) sampai 12.500 (Sungai Citanduy). Sebagai urat nadi perekonomian,
maka degradasi kualitas sungai akan berdampak langsung terhadap penurunan
kinerja ekonomi local maupun regional. Menurut Ven The Chow (1987), sungai
dikatakan kritis apabila nilai rasionya lebih dari 20, sedangkan termasuk tidak
kritis apabila di bawah 20.
Sekalipun Departemen
Pekerjaan Umum sudah melonggarkan batas kriteria menjadi 50, sungai-sungai
tersebut tetap tidak dapat diklasifikasikan (unclassified). Argumennya,
sungai yang mengalami peningkatan nilai rasio Qmak/Qmin melampaui 100, maka
respons hidrologi atas perubahan input curah hujannya berubah secara
total. Diperlukan introduksi kelas kekritisan baru, yaitu berisiko tinggi (high
risk), selain kriteria kritis dan tidak kritis bagi sungai yang rasionya
lebih dari 100.
Peningkatan kelas dari
kritis menjadi berisiko tinggi merefleksikan bahwa setiap tempat kedudukan
permukaan tanah yang ada di permukaan tangkapan air (basin) berisiko tinggi ‘’permanently’’.
Paling tidak, satu dari tiga jenis bencana, yaitu banjir, tanah longsor,
ataupun kekeringan, dapat terjadi. Basin berisiko tinggi yang tidak ditangani
akan meningkat jumlah risikonya dari satu jenis menjadi dua, dan dari dua
menjadi tiga jenis bencana.
Tragisnya, selain
jumlah bencana bertambah, wilayah yang berisiko tinggi ternyata juga bertambah.
Pergerakan dari zona pengendapan (delivery zone) dalam bentuk banjir dan
genangan di hilir meluas ke zona transportasi sedimen (transfer zone) di
tengah sampai zona produksi (river basin) di hulu dalam bentuk
kekeringan dan longsor.
Tindakan ad hoc,
partial, dan project oriented Pemerintah pada basin yang kritis
sampai saat ini belum mampu menurunkan tingkat kekritisan basin. Bahkan
sebaliknya, DAS menjadi lebih kritis dan yang awalnya tidak kritis menjadi
kritis. Tidak adanya success story yang signifikan dalam penanggulangan
banjir ini menumbuhkan sikap pesimisme dan apriori terhadap kemampuan bangsa
dalam penanggulangan banjir.
Potret itu juga dapat
merefleksikan tiga kemungkinan. Pertama, laju degradasi basin jauh lebih kuat
dibandingkan dengan kemampuan pemulihan yang dilakukan Pemerintah bersama
masyarakat. Kedua, pemulihan yang dilakukan Pemerintah bersama masyarakat tidak
efisien dan atau tidak efektif menekan risiko banjir di lapangan. Ketiga,
kombinasi keduanya.
Hasil pengamatan di
beberapa DAS berisiko tinggi menunjukkan, sumber utama akselerasi perambatan
dan eksplosi bencana banjir adalah tidak berfungsinya vegetasi dan tanah di zona
lindung, produksi secara proporsional sebagai regulator dan distributor air.
Distruksi lingkungan hutan di hulu, impemeabilisasi lahan dengan tutupan beton
dan aspal di tengah dan hilir menyebabkan laju infiltrasi tanah menurun tajam.
Implikasinya, sebagian
besar volume air hujan ditransfer menjadi aliran permukaan. Perubahan luas dan
kualitas tutupan lahan dari berpenutup vegetasi ke beton dan aspal menyebabkan debit
puncak (peak discharge) makin meningkat tajam dan waktu menuju debit
puncak (time to peak discharge) sangat singkat.
Kondisi ini
menyebabkan tidak tersedianya waktu yang memadai untuk evakuasi korban,
sehingga risiko kerugian dan jumlah korban yang ditimbulkan sangat besar.
Pelajaran pindahnya Kerajaan Demak Bintoro ke Pajang, Surakarta, akibat
diterjang banjir perlu dijadikan acuan untuk memikirkan nasib Ibu Kota Jakarta.
Bahkan, bila perlu, kota-kota provinsi yang pada saat ini rawan banjir patut
dipikirkan keberlanjutannya, sambil melakukan perbaikan DAS secara menyeluruh.
Diperlukan perombakan
total orientasi pembangunan ekonomi dari berbasis infrastruktur fisik massif ke
pembangunan pertanian rakyat. Pemborosan modal dan teknologi serta kerentanan
terhadap gejolak ekonomi dan politik dapat diubah menjadi berbasis kerakyatan
yang broad spectrum. Dengan memanfaatkan keunggulan komparatif dan
kompetitif sumber daya alam, maka sasaran, target, dampak, dan benefecieries
pembangunan dapat dioptimalkan. Slogan dan statemen politik harus
dihentikan, diganti dengan kerja nyata.
Perubahan itu harus
tercermin pada alokasi pendanaan dan investasi belanja Pemerintah, termasuk
pengembangan sumber daya manusia. Pertimbangannya, sekalipun pembangunan fisik menyerap
tenaga kerja dalam jumlah besar dan mendorong pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan-nya
semu, sangat rawan guncangan, baik politik, moneter internasional, maupun gejolak
sosial.
Malaysia dan Thailand
membuktikan bahwa pembangunan pertanian mampu mendorong pertumbuhan ekonomi negara
secara signifikan, kokoh terhadap gejolak, termasuk krisis ekonomi
internasional yang melanda kawasan Asia pada 1997. Pemerintah harus
mengalkulasi ulang sektorsektor mana saja yang boros devisa, rawan korupsi, ngemplang
utang, dan merusak lingkungan, serta sektor mana saja yang tumbuh pesat di
segala medan pertempuran ekonomi sehingga perlu dipacu secara khusus.
Revisi Undang-Undang
Otonomi Daerah secepatnya mutlak dilakukan. Argumennya, pelimpahan pengelolaan lingkungan
ke daerah otonomi (kabupaten/kota) lebih banyak menimbulkan eksploitasi untuk
kepentingan sesaat yang sesat ketimbang dikelola secara berkelanjutan. Penguasa
daerah lebih berpikir bagaimana memulihkan biaya pilkada dan atau memenangkan
pemilihan berikutnya ketimbang berpikir tentang pelestariannya.
Peningkatan besaran
banjir serta laju degradasi hutan dan lingkungan sebelum dan sesudah periode otonomi
merupakan argument penguatnya. Dana pembangunan sudah digelontorkan melalui
dana tugas pembantuan, dana alokasi khusus, dan dana dekonsentrasi. Belum lagi
dana APBD I dan APBD II. Faktanya: jenis, jumlah dan frekuensi, serta korban bencana
banjir terus meningkat.
Perbaikan otonomi
dapat dilakukan melalui pemberian otonomi selektif dan bertahap, dari provinsi
sampai kabupaten, tergantung kemampuannya mengelola lingkungan dan memenuhi
pendapatan asli daerahnya. Perubahan pemberian otonomi ini dipastikan dapat
menjadi filter dan rem yang efektif dalam menekan laju pemekaran provinsi dan
kabupaten yang makin tidak terkendali.
Water harvesting merupakan pilihan menjanjikan untuk menurunkan volume aliran
permukaan dan sumber malapetaka banjir. Pendekatan ini juga dapat menambah
cadangan air tanah untuk antisipasi kekeringan di musim kemarau. Diperlukan
pengembangan komoditas bernilai ekonomi tinggi hortikultura, ternak, dan perikanan
agar masyarakat dapat memperoleh manfaat langsung dari water harvesting ini.
Peningkatan pendapatan
masyarakat dalam jangka pendek, menengah, dan panjang dapat memotivasi dan mendorong
pengembangan program water harvesting secara mandiri, tanpa bergantung
pada Pemerintah. Dengan memanfaatkan cekungan/alur sungai kecil bekas galian C,
petani dapat menahan aliran air untuk mengisi reservoir untuk pertanian.
Inisiasi pengembangan water
harvesting itu dapat diimplementasikan di Wonosari, Gunung Kidul,
Selopamioro, Bantul, Kutai Kartanegara, Sumedang, Sukabumi, dan masih banyak
lagi. Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian,
setiap tahun mengalokasikan dana setidaknya untuk 699 embung dan dam parit di
seluruh Indonesia.
Jumlah itu jauh dari
mencukupi. Karenanya, diperlukan partisipasi masyarakat. Menurut kalkulasi sederhana,
setidaknya diperlukan penampungan air 5 milyar meter kubik per tahun atau
ekuivalen lima Waduk Jatiluhur untuk mengatasi banjir dan kekeringan. Apabila kapasitas
embung 500-1.000 meter kubik, maka diperlukan 5-10 juta embung di Indonesia.
Kendala utama yang
dihadapi adalah ketersediaan lahan untuk pembangunan embung atau dam parit. Beberapa
petani ada yang minta ganti rugi, padahal embung dibangun untuk menyediakan air
bagi petani. Harus ada kebijakan yang tegas dari gubernur dan bupati/wali kota
dalam penyediaan lahan agar tidak menjadi kendala dalam pengembangan embung.
Pemerintah harus tegas
melarang pembangunan horizontal agar lahan dengan tutupan beton dapat
dihentikan. Impermeabilisasi di hulu, tengah, dan hilir harus pula dihentikan.
Subsidi rumah susun dan pembangunan vertikal digalakkan agar degradasi lahan
dapat diminimalkan. Komitmen itu harus dimulai dari teladan nyata. Semua pihak harus
satu kata agar program masa depan itu dapat dieksekusi di lapangan.
Indonesia harus mulai mengelola
air dan ruangnya secara bijaksana sekarang ini juga, karena banjir dan
kekeringan sudah menjadi masalah yang mencemaskan. Perhatian Pemerintah dan
masyarakat harus terus ditumbuhkan agar bencana peradaban dapat diantisipasi lebih
dini. Penyediaan air yang memadai menurut ruang dan waktu dipastikan dapat
mengubah secara fundamental bencana banjir menjadi modal ekonomi.
Menurunnya biaya
sosial akibat bencana dapat digunakan untuk keperluan pembangunan. Semua
pemangku kepentingan harus percaya bahwa peningkatan ketersediaan air akan
mampu memutar roda ekonomi lebih stabil dan berkelanjutan, apa pun kondisi
iklimnya. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita, siapa lagi?
(Tulisan ini dimuat pada: Majalah Gatra – 12 Desember 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar