Jumat, 08 Agustus 2014

BELAJAR DARI KRISIS EKONOMI JILID TIGA

Ada tiga pelajaran penting yang harus dicermati dengan tiga krisis ekonomi tahun 1965, 1997/1998, dan 2005. Pertama, tren besaran krisis. Kedua, dampak krisis terhadap kedaulatan ekonomi. Ketiga, faktor penyebab krisis.
Apabila pendekatan penanganan krisis kali ini tidak mengalami perubahan fundamental, dipastikan krisis ekonomi jilid empat akan terjadi dengan intensitas makin kuat. Frekuensinya pun lebih singkat, durasi dan waktu recovery lebih lama, serta dampak yang jauh lebih dahsyat.
Belajar dari krisis ekonomi jilid sebelumnya yang selalu diikuti kekeringan dahsyat serta telah menumbangkan rezim Orde Lama dan rezim Orde Baru yang posisinya pada saat itu sangat kuat penanganan krisis ekonomi jilid tiga kali ini harus dilakukan secara nonkonvensional. Apabila tidak, analog dengan episode sebelumnya, dikhawatirkan Pemerintahan Yudhoyono-Kalla yang fundamental ekonominya relatif terbatas, sekalipun legitimate, dapat tumbang karena people power akibat rakyat tidak mampu memikul dan menahan dampak krisis yang terjadi secara beruntun. Kondisi sosial, ekonomi, dan politik dalam negeri yang chaotic ini akan menguras energi Pemerintah. Maka, aktivitas negatif konglomerat busuk, elite birokrasi hitam, dan penjarah asing akan lebih mudah untuk menghancurkan Indonesia.
Kajian mendalam terhadap ketiga krisis ekonomi menunjukkan bahwa harga bahan bakar dan melemahnya rupiah hanya entry point saja. Justru penyebab fundamentalnya adalah akumulasi dan dominasi absolut kekuatan ekonomi pada segelintir orang. Kondisi ini menyebabkan ekonomi pasar di bawah kendali dan kontrol mereka sangat rapuh, terutama apabila pemegang kendali ekonomi tidak berkenan dengan kebijakan Pemerintah, seperti pada kasus kontrol terhadap rekening dan transaksi serta bisnis hitam mereka. Menggunakan economic and political power yang sangat besar, mereka dapat bereaksi negatif untuk memengaruhi pasar.
Pelajaran lain dari krisis ini menunjukkan bahwa pemegang kendali ekonomi yang oligopolistik akan selalu memanfaatkan kekuatannya sebagai alat penekan (pressure tool) dan alat tawar politik (bargaining position tool) terhadap Pemerintah untuk memperoleh konsesi yang lebih besar demi kepentingan ekonomi dan politik mereka sendiri. Bargaining position konglomerat hitam terbaca sinyalnya saat Jaksa Agung meluncurkan ide untuk menangkap konglomerat hitam dengan konglomerat insaf.
Kedaulatan Ekonomi Petani
Berdasarkan ilustrasi karakteristik ekonomi oligopolistik dan perilaku negatifnya terhadap perekonomian nasional yang demikian hitam pekat dan gelap, Pemerintah bersama DPR harus secepatnya mengubah haluan dengan menyerahkan kembali kedaulatan ekonomi kepada petani dan bukan menggadaikannya kepada segelintir orang. Diperlukan pengorbanan dan kebesaran hati pengambil kebijakan karena tanpa perubahan fundamental tersebut Indonesia akan semakin rentan (susceptible) terhadap krisis.
Mengapa kedaulatan ekonomi harus dikembalikan kepada petani? Karena mayoritas masyarakat Indonesia adalah petani. Maka, secara demokrasi absolut akan mempunyai pijakan dan dukungan kokoh. Berbasis keunggulan sumber daya lokal dan kearifan lokal, demokratisasi ekonomi di tingkat petani akan menjadikan ekonomi Indonesia tahan terhadap guncangan ekonomi global maupun tekanan politik nasional dan internasional.
Tingkat kelenturan yang tinggi dan kemampuan penyembuhan serta pemulihan lebih cepat merupakan argumen fundamental kedua mengapa kedaulatan ekonomi harus diserahkan kepada petani. Apalagi fakta menunjukkan bahwa sering sektor pertanian memperoleh manfaat langsung baik pra, saat, maupun pascakrisis dengan nilai tambah ekonomi langsung sebagai konsekuensi menguatnya mata uang asing. Tumpuan perekonomian nasional pada petani yang didukung oleh political will, political decision, dan political action Pemerintah dipastikan akan tahan terhadap gejolak ekonomi global.
Revitalisasi pertanian saja dipastikan tidak cukup tanpa ada penyelesaian fundamental masalah hulunya (upstream), yaitu reformasi agraria. Sampai saat ini reformasi agraria belum menunjukkan tanda-tanda mengarah pada implementasi tercapainya keadilan lahan dan air, baik ditinjau dari kepemilikan maupun pemanfaatan. Mereka ingin bertani, tetapi tidak memiliki lahan, airnya pun tidak ada. Sementara tuan tanah memilih membiarkan tanahnya yang subur menganggur dengan segala argumennya.
Ironisnya, kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) terus berganti, tetapi masalah fundamental tentang reformasi agraria yang diamanatkan melalui ketetapan MPR masih berada di tingkat wacana dan belum sampai tahap implementasi.
Generasi muda berpendidikan tinggi yang menganggur merupakan potensi tenaga kerja terdidik yang harus dibidik Pemerintah untuk mengembangkan komoditas strategis, komoditas penghasil devisa, dan komoditas substitusi impor. Peningkatan devisa dari sektor pertanian dipastikan dapat meningkatkan ketahanan terhadap krisis dan sekaligus memperkuat basis perekonomian nasional.

Ironis memang. Indonesia yang secara faktual hanya sedikit mengalami defisit minyak kalang kabut dengan melonjaknya harga minyak dunia. Sementara negara lain yang mengimpor BBM lebih tinggi tidak mengalami goncangan sekuat Indonesia. Artinya, penyebab krisis ekonomi bukan semata karena naiknya harga BBM dan menguatnya dollar AS semata, tetapi ada sesuatu yang salah di dalam penyelenggaraan negara ini.
(Tulisan ini dimuat pada: Harian Umum Kompas – 26 September 2005)

Tidak ada komentar: