Ada tiga pelajaran penting yang harus
dicermati dengan tiga krisis ekonomi tahun 1965, 1997/1998, dan 2005. Pertama,
tren besaran krisis. Kedua, dampak krisis terhadap kedaulatan ekonomi. Ketiga,
faktor penyebab krisis.
Apabila pendekatan penanganan krisis kali
ini tidak mengalami perubahan fundamental, dipastikan krisis ekonomi jilid
empat akan terjadi dengan intensitas makin kuat. Frekuensinya pun lebih
singkat, durasi dan waktu recovery
lebih lama, serta dampak yang jauh lebih dahsyat.
Belajar dari krisis ekonomi jilid sebelumnya
yang selalu diikuti kekeringan dahsyat serta telah menumbangkan rezim Orde Lama
dan rezim Orde Baru yang posisinya pada saat itu sangat kuat penanganan krisis
ekonomi jilid tiga kali ini harus dilakukan secara nonkonvensional. Apabila
tidak, analog dengan episode sebelumnya, dikhawatirkan Pemerintahan Yudhoyono-Kalla
yang fundamental ekonominya relatif terbatas, sekalipun legitimate, dapat tumbang
karena people power akibat rakyat
tidak mampu memikul dan menahan dampak krisis yang terjadi secara beruntun.
Kondisi sosial, ekonomi, dan politik dalam negeri yang chaotic ini akan menguras energi Pemerintah. Maka, aktivitas
negatif konglomerat busuk, elite birokrasi hitam, dan penjarah asing akan lebih
mudah untuk menghancurkan Indonesia.
Kajian mendalam terhadap ketiga krisis
ekonomi menunjukkan bahwa harga bahan bakar dan melemahnya rupiah hanya entry point saja. Justru penyebab
fundamentalnya adalah akumulasi dan dominasi absolut kekuatan ekonomi pada
segelintir orang. Kondisi ini menyebabkan ekonomi pasar di bawah kendali dan
kontrol mereka sangat rapuh, terutama apabila pemegang kendali ekonomi tidak
berkenan dengan kebijakan Pemerintah, seperti pada kasus kontrol terhadap
rekening dan transaksi serta bisnis hitam mereka. Menggunakan economic and political power yang sangat
besar, mereka dapat bereaksi negatif untuk memengaruhi pasar.
Pelajaran lain dari krisis ini menunjukkan
bahwa pemegang kendali ekonomi yang oligopolistik akan selalu memanfaatkan
kekuatannya sebagai alat penekan (pressure
tool) dan alat tawar politik (bargaining
position tool) terhadap Pemerintah untuk memperoleh konsesi yang lebih
besar demi kepentingan ekonomi dan politik mereka sendiri. Bargaining position konglomerat hitam terbaca sinyalnya saat Jaksa
Agung meluncurkan ide untuk menangkap konglomerat hitam dengan konglomerat
insaf.
Kedaulatan Ekonomi Petani
Berdasarkan ilustrasi karakteristik ekonomi
oligopolistik dan perilaku negatifnya terhadap perekonomian nasional yang
demikian hitam pekat dan gelap, Pemerintah bersama DPR harus secepatnya
mengubah haluan dengan menyerahkan kembali kedaulatan ekonomi kepada petani dan
bukan menggadaikannya kepada segelintir orang. Diperlukan pengorbanan dan
kebesaran hati pengambil kebijakan karena tanpa perubahan fundamental tersebut
Indonesia akan semakin rentan (susceptible)
terhadap krisis.
Mengapa kedaulatan ekonomi harus
dikembalikan kepada petani? Karena mayoritas masyarakat Indonesia adalah
petani. Maka, secara demokrasi absolut akan mempunyai pijakan dan dukungan
kokoh. Berbasis keunggulan sumber daya lokal dan kearifan lokal, demokratisasi
ekonomi di tingkat petani akan menjadikan ekonomi Indonesia tahan terhadap
guncangan ekonomi global maupun tekanan politik nasional dan internasional.
Tingkat kelenturan yang tinggi dan kemampuan
penyembuhan serta pemulihan lebih cepat merupakan argumen fundamental kedua
mengapa kedaulatan ekonomi harus diserahkan kepada petani. Apalagi fakta
menunjukkan bahwa sering sektor pertanian memperoleh manfaat langsung baik pra,
saat, maupun pascakrisis dengan nilai tambah ekonomi langsung sebagai
konsekuensi menguatnya mata uang asing. Tumpuan perekonomian nasional pada
petani yang didukung oleh political will,
political decision, dan political
action Pemerintah dipastikan akan tahan terhadap gejolak ekonomi global.
Revitalisasi pertanian saja dipastikan tidak
cukup tanpa ada penyelesaian fundamental masalah hulunya (upstream), yaitu reformasi agraria. Sampai saat ini reformasi
agraria belum menunjukkan tanda-tanda mengarah pada implementasi tercapainya
keadilan lahan dan air, baik ditinjau dari kepemilikan maupun pemanfaatan.
Mereka ingin bertani, tetapi tidak memiliki lahan, airnya pun tidak ada.
Sementara tuan tanah memilih membiarkan tanahnya yang subur menganggur dengan
segala argumennya.
Ironisnya, kepala Badan Pertanahan Nasional
(BPN) terus berganti, tetapi masalah fundamental tentang reformasi agraria yang
diamanatkan melalui ketetapan MPR masih berada di tingkat wacana dan belum
sampai tahap implementasi.
Generasi muda berpendidikan tinggi yang
menganggur merupakan potensi tenaga kerja terdidik yang harus dibidik Pemerintah
untuk mengembangkan komoditas strategis, komoditas penghasil devisa, dan
komoditas substitusi impor. Peningkatan devisa dari sektor pertanian dipastikan
dapat meningkatkan ketahanan terhadap krisis dan sekaligus memperkuat basis
perekonomian nasional.
Ironis memang. Indonesia yang secara faktual
hanya sedikit mengalami defisit minyak kalang kabut dengan melonjaknya harga
minyak dunia. Sementara negara lain yang mengimpor BBM lebih tinggi tidak
mengalami goncangan sekuat Indonesia. Artinya, penyebab krisis ekonomi bukan
semata karena naiknya harga BBM dan menguatnya dollar AS semata, tetapi ada
sesuatu yang salah di dalam penyelenggaraan negara ini.
(Tulisan ini dimuat pada: Harian Umum Kompas – 26 September 2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar