Kekeringan dan Longsor
Melilit Manggarai
Mungkin masyarakat tidak banyak tahu.
Sebelum longsor, Kabupaten Manggarai, NTT, telah didera kekeringan yang
menyebabkan tanaman jagung gagal panen.
Fakta ini menunjukkan, waktu transisi
bencana kian singkat, polanya terus berulang, dan frekuensinya semakin tinggi.
Penyebab utamanya adalah kinerja
pemulihan lingkungan amat memprihatinkan. Indikatornya, pascakekeringan muncul
kerawanan pangan atau kelaparan, lalu saat musim hujan terjadi banjir diikuti
bencana longsor dan merebaknya penyakit.
Bencana yang datang berurutan menyebabkan
tidak tersedia waktu recovery sehingga rakyat kian miskin dan menderita.
Padahal, jika ditilik dari segi jenis, jumlah, dan sebaran alokasi biaya
pemulihan lingkungan, besarannya memadai.
Paling tidak ada enam sumber pendanaan
dalam rangka pemulihan lingkungan, yaitu dana pusat (APBN), dana provinsi
(dekonsentrasi, APBD Tingkat I), maupun dana kabupaten/kota (dana alokasi
khusus, tugas pembantuan dan APBD Tingkat II), yang besarnya meningkat tajam.
Pertanyaannya, mengapa performance
indicators lingkungan terus memburuk dan Pemerintah bersama masyarakat
cenderung memilih penanganan pascabencana dibanding melakukan deteksi dan
antisipasi dini?
Tingginya besaran belanja Pemerintah
(government expenditure) untuk biaya emergency korban lingkungan mendorong
terjadinya pemiskinan sistemik secara berkelanjutan karena energi dan pikiran Pemerintah
terkuras habis untuk penanganan bencana.
Itu sebabnya, mengapa tingkat
keberhasilan program pengentasan kemiskinan kita rendah dan Indonesia terus
terpuruk bahkan tertinggal dibanding negara-negara ASEAN.
Daya Dukung Lingkungan
Salah satu dampak kekeringan, banjir, dan
longsor adalah penurunan jenis dan kualitas tutupan lahan serta pemiskinan
masyarakat. Rendahnya produktivitas tanaman dan ternak yang diusahakan serta
tingginya input produksi menyebabkan nilai pendapatan usaha tani terus menurun.
Wilayah kering dengan tingkat erosi, longsor, dan banjirnya tinggi seperti
Manggarai, tingkat kesuburan dan produktivitas tanahnya menurun cepat.
Konsekuensinya, rakyatnya semakin miskin, hidupnya kian sulit bahkan untuk
memenuhi kebutuhan minimum sekalipun.
Yang menyedihkan, pascakekeringan dan
longsor biasanya diikuti rawan pangan dan rentan penyakit. Biaya dan waktu
recovery akibat pemiskinan masyarakat absolut ini amat besar dan lama, apalagi
jika ditangani secara business as usual.
Pemulihan kandungan bahan organik tanah
dan peningkatan ketersediaan air merupakan agenda utama dan pertama yang harus
dilakukan untuk pengentasan daerah rawan kekeringan, banjir, longsor, dan rawan
pangan yang terus mengalami pemiskinan.
Water harvesting dan composting of
organic matter merupakan solusi praktisnya. Argumennya, secara operasional
bahan mentahnya tersedia melimpah, teknologinya amat sederhana, dan manfaatnya
langsung dirasakan petani.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan
Air, Departemen Pertanian, telah dua tahun memfasilitasi program itu melalui Pemerintah
kabupaten di seluruh Indonesia. Program pembuatan embung, dam parit, usaha tani
konservasi, pembuatan pupuk organik berbahan baku sampah dilakukan agar
produktivitas lahan meningkat dan pemiskinan permanen bisa dihentikan.
Manfaat hidrologi, agronomi, ekonomi dan
sosial secara simultan dapat dirasakan melalui peningkatan: pasokan air, indeks
pertanaman, produktivitas, pendapatan petani serta kesadaran sosial dan
lingkungannya. Melalui pengembangan cash crops, padi, ternak, dan tanaman
tahunan, peningkatan pendapatan jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang
dapat diwujudkan.
Peran Pimpinan Daerah
Kelangkaan air sudah terjadi, bencana
kekeringan, banjir, dan tanah longsor di mana-mana dengan mayoritas korbannya
masyarakat miskin. Kerusakan lingkungan bergeser secara permanen dari kritis
menjadi berisiko tinggi (high risk) sehingga apa pun yang diusahakan di atasnya,
biaya dan risikonya amat besar.
Pemerintahan SBY-JK harus menyadari
sepenuhnya dan memanfaatkan sisa mandat Pemerintahannya melalui perubahan
mendasar beleid pembangunan dari berorientasi fisik, boros devisa, rawan
korupsi, dan hanya untuk si kaya, ke pemulihan lingkungan yang pro poor, pro
job, dan pro development seperti janji kampanyenya.
Meski pahit bagi para pemodal politik
SBY-JK, keputusan ini harus secepatnya diambil karena masyarakat miskin hanya
berpikir dan bekerja untuk makan hari ini dan bukan untuk memulihkan lingkungan
masa depan. Teladan gubernur, bupati, dan wali kota merupakan kunci sukses
penyelesaian masalah kekeringan, rawan pangan, banjir dan longsor. Untuk itu,
berhentilah berwacana, mulailah bekerja nyata agar pemulihan lingkungan dapat
dipercepat dan derita masyarakat miskin dapat diakhiri secepatnya.
(Tulisan ini dimuat pada: Harian Umum Kompas – 21 Maret 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar