Jumat, 08 Agustus 2014

BENCANA ALAM NTT

Kekeringan dan Longsor Melilit Manggarai

       Mungkin masyarakat tidak banyak tahu. Sebelum longsor, Kabupaten Manggarai, NTT, telah didera kekeringan yang menyebabkan tanaman jagung gagal panen.
       Fakta ini menunjukkan, waktu transisi bencana kian singkat, polanya terus berulang, dan frekuensinya semakin tinggi.
       Penyebab utamanya adalah kinerja pemulihan lingkungan amat memprihatinkan. Indikatornya, pascakekeringan muncul kerawanan pangan atau kelaparan, lalu saat musim hujan terjadi banjir diikuti bencana longsor dan merebaknya penyakit.
       Bencana yang datang berurutan menyebabkan tidak tersedia waktu recovery sehingga rakyat kian miskin dan menderita. Padahal, jika ditilik dari segi jenis, jumlah, dan sebaran alokasi biaya pemulihan lingkungan, besarannya memadai.
       Paling tidak ada enam sumber pendanaan dalam rangka pemulihan lingkungan, yaitu dana pusat (APBN), dana provinsi (dekonsentrasi, APBD Tingkat I), maupun dana kabupaten/kota (dana alokasi khusus, tugas pembantuan dan APBD Tingkat II), yang besarnya meningkat tajam.
       Pertanyaannya, mengapa performance indicators lingkungan terus memburuk dan Pemerintah bersama masyarakat cenderung memilih penanganan pascabencana dibanding melakukan deteksi dan antisipasi dini?
       Tingginya besaran belanja Pemerintah (government expenditure) untuk biaya emergency korban lingkungan mendorong terjadinya pemiskinan sistemik secara berkelanjutan karena energi dan pikiran Pemerintah terkuras habis untuk penanganan bencana.
       Itu sebabnya, mengapa tingkat keberhasilan program pengentasan kemiskinan kita rendah dan Indonesia terus terpuruk bahkan tertinggal dibanding negara-negara ASEAN.

Daya Dukung Lingkungan
       Salah satu dampak kekeringan, banjir, dan longsor adalah penurunan jenis dan kualitas tutupan lahan serta pemiskinan masyarakat. Rendahnya produktivitas tanaman dan ternak yang diusahakan serta tingginya input produksi menyebabkan nilai pendapatan usaha tani terus menurun. Wilayah kering dengan tingkat erosi, longsor, dan banjirnya tinggi seperti Manggarai, tingkat kesuburan dan produktivitas tanahnya menurun cepat. Konsekuensinya, rakyatnya semakin miskin, hidupnya kian sulit bahkan untuk memenuhi kebutuhan minimum sekalipun.
       Yang menyedihkan, pascakekeringan dan longsor biasanya diikuti rawan pangan dan rentan penyakit. Biaya dan waktu recovery akibat pemiskinan masyarakat absolut ini amat besar dan lama, apalagi jika ditangani secara business as usual.
       Pemulihan kandungan bahan organik tanah dan peningkatan ketersediaan air merupakan agenda utama dan pertama yang harus dilakukan untuk pengentasan daerah rawan kekeringan, banjir, longsor, dan rawan pangan yang terus mengalami pemiskinan.
       Water harvesting dan composting of organic matter merupakan solusi praktisnya. Argumennya, secara operasional bahan mentahnya tersedia melimpah, teknologinya amat sederhana, dan manfaatnya langsung dirasakan petani.
       Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian, telah dua tahun memfasilitasi program itu melalui Pemerintah kabupaten di seluruh Indonesia. Program pembuatan embung, dam parit, usaha tani konservasi, pembuatan pupuk organik berbahan baku sampah dilakukan agar produktivitas lahan meningkat dan pemiskinan permanen bisa dihentikan.
       Manfaat hidrologi, agronomi, ekonomi dan sosial secara simultan dapat dirasakan melalui peningkatan: pasokan air, indeks pertanaman, produktivitas, pendapatan petani serta kesadaran sosial dan lingkungannya. Melalui pengembangan cash crops, padi, ternak, dan tanaman tahunan, peningkatan pendapatan jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang dapat diwujudkan.

Peran Pimpinan Daerah
       Kelangkaan air sudah terjadi, bencana kekeringan, banjir, dan tanah longsor di mana-mana dengan mayoritas korbannya masyarakat miskin. Kerusakan lingkungan bergeser secara permanen dari kritis menjadi berisiko tinggi (high risk) sehingga apa pun yang diusahakan di atasnya, biaya dan risikonya amat besar.
       Pemerintahan SBY-JK harus menyadari sepenuhnya dan memanfaatkan sisa mandat Pemerintahannya melalui perubahan mendasar beleid pembangunan dari berorientasi fisik, boros devisa, rawan korupsi, dan hanya untuk si kaya, ke pemulihan lingkungan yang pro poor, pro job, dan pro development seperti janji kampanyenya.

       Meski pahit bagi para pemodal politik SBY-JK, keputusan ini harus secepatnya diambil karena masyarakat miskin hanya berpikir dan bekerja untuk makan hari ini dan bukan untuk memulihkan lingkungan masa depan. Teladan gubernur, bupati, dan wali kota merupakan kunci sukses penyelesaian masalah kekeringan, rawan pangan, banjir dan longsor. Untuk itu, berhentilah berwacana, mulailah bekerja nyata agar pemulihan lingkungan dapat dipercepat dan derita masyarakat miskin dapat diakhiri secepatnya.

(Tulisan ini dimuat pada: Harian Umum Kompas – 21 Maret 2007)

Tidak ada komentar: