Jumat, 08 Agustus 2014

KOPENHAGEN MAKIN PANAS

Ada tiga argumen mengapa Pertemuan Para Pihak (COP) ke-15 di Kopenhagen makin memanas. Pertama, politik buying time Amerika Serikat dalam target penurunan emisi dan tenggat waktunya; kedua, efek bola salju pemanasan global telah merusak lingkungan sehingga terjadi pemanasan global lebih dahsyat; ketiga, perekonomian dunia yang masih suram sehingga agenda lingkungan bukan menjadi prioritas utama.
Terbukti, pertemuan Barcelona Climate Change Talk November 2009 belum menyepakati target penurunan emisi jangka menengah bagi negara maju serta pendanaan yang memungkinkan negara berkembang membatasi pertumbuhan emisi dan beradaptasi terhadap perubahan iklim. Negara industri maju juga belum sepakat tentang transfer teknologi, besarnya, dan mekanisme pendanaan dengan segala argumen pembenarnya.
Puso lahan sawah Indonesia akibat kekeringan meningkat dari 0,004-0,41 persen menjadi 0,04-1,87 persen, sementara akibat kebanjiran puso meningkat dari 0,24-0,73 persen menjadi 8,7-13,8 persen menunjukkan bahwa dampak perubahan iklim sangat dahsyat, apalagi jika kenaikan suhu 4 derajat celsius terjadi. Dipastikan akan ada perubahan cuaca ekstrem menjadi iklim ekstrem dengan korban berjatuhan makin besar. Pertanyaannya: benarkah perubahan iklim yang berkepanjangan akan memicu munculnya iklim ekstrem?
Munculnya Iklim Ekstrem
Iklim ekstrem merupakan besaran peubah iklim yang jauh melebihi nilai normalnya dan terjadi pada durasi, pola, dan periode ulang tertentu sehingga dampaknya sangat dahsyat. Peubah iklim ekstrem yang awalnya terjadi sangat jarang berubah semakin sering dengan besaran semakin mengarah ke luar biasa (exceptional). Besaran itu, antara lain, suhu udara, curah hujan, evaporasi, kelembaban udara, dan kecepatan angin. Banjir, kekeringan, longsor, rob, siklon, gelombang laut ekserpsional yang meningkat intensitas, frekuensi dan durasinya menunjukkan bahwa dampak iklim ekstrem sudah terjadi dan semakin mencemaskan.
Dampaknya destruksi sistemik dan masif atas hutan, lahan, sungai, dan lingkungan semakin masif sehingga fungsi infiltrasi, penyimpan, regulasi, dan redistribusi air daerah aliran sungai mencapai titik nadir. Implikasinya, ketersediaan air dan kemampuan produksi pangan anjlok sehingga produksi pangan dunia dipastikan terguncang dan pemenuhan kebutuhan 6 miliar penduduk dunia semakin tidak menentu.
Tanpa upaya luar biasa yang konsisten dari negara-negara industri maju penghasil utama emisi gas rumah kaca dunia, dipastikan hancurnya peradaban manusia tinggal menunggu waktu. Bahkan, kiamat fisik seperti yang diramalkan terjadi tahun 2012 atau setelah itu tinggal menunggu waktu. Argumen ini didasarkan fakta bahwa komitmen negara berkembang, seperti Indonesia, yang bersedia menurunkan emisinya 26 persen pada tahun 2020 dan China belum mampu mengetuk hati nurani dan pikiran para pemimpin Amerika Serikat untuk meratifikasi Protokol Kyoto yang pada tahun 2012 akan berakhir. Kalau COP-15 di Kopenhagen tidak mampu menghasilkan keputusan tentang target penurunan emisi dan tenggat waktunya, serta skenario penurunan emisi pasca-Protokol Kyoto, maka nasib dan masa depan planet Bumi di ambang kehancuran.
Memaksa Amerika
Tanpa peran aktif Amerika Serikat, terbukti Protokol Kyoto hanya menjadi macan kertas sekalipun sudah entry into in force. Sudah 15 kali pertemuan para pihak dilakukan, ditambah pertemuan pendahuluannya, berapa miliar dollar dana dikucurkan, tenaga dicurahkan, perubahan iklim makin mencemaskan. Dunia berharap ratifikasi Protokol Kyoto terjadi ketika Presiden Barack Obama terpilih, seperti halnya ketika Perdana Menteri Australia Kevin Rudd terpilih. Namun, faktanya sampai saat ini belum ada sinyal perubahan sikap Amerika Serikat dalam penurunan emisi.
Berdasarkan kondisi atmosfer pertemuan para pihak sebelumnya dan perkembangan terkini di Kopenhagen, implementasi Protokol Kyoto dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim hanya terjadi jika dunia berhasilmemaksa Amerika Serikat meratifikasi secepatnya. Apabila tidak, maka pertemuan para pihak: (i) tidak akan menyepakati target dan tenggat penurunan emisi karena pertimbangan ekonomi dan politik; (ii) hanya menjadi ajang bisnis dan perdagangan yang eksploitatif terhadap negara berkembang. Negara-negara Annex 1 sekutu Amerika (Australia dan Inggris), Negara G-77 dan China, negara-negara kepulauan, dan NGO harus bersatu padu untuk memaksa Amerika Serikat secara politik, diplomatik, maupun demonstratif agar secepatnya menetapkan target penurunan emisi minimal 40 persen pada tahun 2020, termasuk transfer teknologi dan pendanaannya.
Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk melindungi lahan sawah dari alih fungsi dan perubahan iklim serta Permentan No 14/2009 tentang pedoman pemanfaatan lahan gambut untuk kelapa sawit untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Semua ini tidak berarti jika perubahan iklim global terus terjadi. Karena itu, prinsip collective power of responsibility dalam memecahkan masalah perubahan iklim harus diimplementasikan secepatnya.

Prinsip common objective but different responsibility perlu dikawal pelaksanaannya oleh setiap warga planet Bumi. Indonesia juga harus memanfaatkan local genius, budaya dan teknologi serta sumber daya setempat untuk adaptasi perubahan iklim agar tidak menjadi korbannya.

(di muat di Harian Umum Kompas, 12 Desember 2009)

Tidak ada komentar: