Ada
tiga argumen mengapa Pertemuan Para Pihak (COP) ke-15 di Kopenhagen makin
memanas. Pertama, politik buying time
Amerika Serikat dalam target penurunan emisi dan tenggat waktunya; kedua, efek bola
salju pemanasan global telah merusak lingkungan sehingga terjadi pemanasan
global lebih dahsyat; ketiga, perekonomian dunia yang masih suram sehingga
agenda lingkungan bukan menjadi prioritas utama.
Terbukti,
pertemuan Barcelona Climate Change Talk November 2009 belum menyepakati target
penurunan emisi jangka menengah bagi negara maju serta pendanaan yang
memungkinkan negara berkembang membatasi pertumbuhan emisi dan beradaptasi
terhadap perubahan iklim. Negara industri maju juga belum sepakat tentang
transfer teknologi, besarnya, dan mekanisme pendanaan dengan segala argumen
pembenarnya.
Puso
lahan sawah Indonesia akibat kekeringan meningkat dari 0,004-0,41 persen
menjadi 0,04-1,87 persen, sementara akibat kebanjiran puso meningkat dari
0,24-0,73 persen menjadi 8,7-13,8 persen menunjukkan bahwa dampak perubahan
iklim sangat dahsyat, apalagi jika kenaikan suhu 4 derajat celsius terjadi.
Dipastikan akan ada perubahan cuaca ekstrem menjadi iklim ekstrem dengan korban
berjatuhan makin besar. Pertanyaannya: benarkah perubahan iklim yang
berkepanjangan akan memicu munculnya iklim ekstrem?
Munculnya Iklim Ekstrem
Iklim
ekstrem merupakan besaran peubah iklim yang jauh melebihi nilai normalnya dan
terjadi pada durasi, pola, dan periode ulang tertentu sehingga dampaknya sangat
dahsyat. Peubah iklim ekstrem yang awalnya terjadi sangat jarang berubah
semakin sering dengan besaran semakin mengarah ke luar biasa (exceptional). Besaran itu, antara lain,
suhu udara, curah hujan, evaporasi, kelembaban udara, dan kecepatan angin.
Banjir, kekeringan, longsor, rob, siklon, gelombang laut ekserpsional yang
meningkat intensitas, frekuensi dan durasinya menunjukkan bahwa dampak iklim
ekstrem sudah terjadi dan semakin mencemaskan.
Dampaknya
destruksi sistemik dan masif atas hutan, lahan, sungai, dan lingkungan semakin
masif sehingga fungsi infiltrasi, penyimpan, regulasi, dan redistribusi air
daerah aliran sungai mencapai titik nadir. Implikasinya, ketersediaan air dan
kemampuan produksi pangan anjlok sehingga produksi pangan dunia dipastikan
terguncang dan pemenuhan kebutuhan 6 miliar penduduk dunia semakin tidak
menentu.
Tanpa
upaya luar biasa yang konsisten dari negara-negara industri maju penghasil
utama emisi gas rumah kaca dunia, dipastikan hancurnya peradaban manusia tinggal
menunggu waktu. Bahkan, kiamat fisik seperti yang diramalkan terjadi tahun 2012
atau setelah itu tinggal menunggu waktu. Argumen ini didasarkan fakta bahwa
komitmen negara berkembang, seperti Indonesia, yang bersedia menurunkan
emisinya 26 persen pada tahun 2020 dan China belum mampu mengetuk hati nurani
dan pikiran para pemimpin Amerika Serikat untuk meratifikasi Protokol Kyoto
yang pada tahun 2012 akan berakhir. Kalau COP-15 di Kopenhagen tidak mampu
menghasilkan keputusan tentang target penurunan emisi dan tenggat waktunya,
serta skenario penurunan emisi pasca-Protokol Kyoto, maka nasib dan masa depan
planet Bumi di ambang kehancuran.
Memaksa Amerika
Tanpa
peran aktif Amerika Serikat, terbukti Protokol Kyoto hanya menjadi macan kertas
sekalipun sudah entry into in force.
Sudah 15 kali pertemuan para pihak dilakukan, ditambah pertemuan
pendahuluannya, berapa miliar dollar dana dikucurkan, tenaga dicurahkan,
perubahan iklim makin mencemaskan. Dunia berharap ratifikasi Protokol Kyoto
terjadi ketika Presiden Barack Obama terpilih, seperti halnya ketika Perdana
Menteri Australia Kevin Rudd terpilih. Namun, faktanya sampai saat ini belum
ada sinyal perubahan sikap Amerika Serikat dalam penurunan emisi.
Berdasarkan
kondisi atmosfer pertemuan para pihak sebelumnya dan perkembangan terkini di
Kopenhagen, implementasi Protokol Kyoto dalam mitigasi dan adaptasi perubahan
iklim hanya terjadi jika dunia berhasilmemaksa Amerika Serikat meratifikasi
secepatnya. Apabila tidak, maka pertemuan para pihak: (i) tidak akan menyepakati
target dan tenggat penurunan emisi karena pertimbangan ekonomi dan politik;
(ii) hanya menjadi ajang bisnis dan perdagangan yang eksploitatif terhadap
negara berkembang. Negara-negara Annex 1 sekutu Amerika (Australia dan
Inggris), Negara G-77 dan China, negara-negara kepulauan, dan NGO harus bersatu
padu untuk memaksa Amerika Serikat secara politik, diplomatik, maupun
demonstratif agar secepatnya menetapkan target penurunan emisi minimal 40
persen pada tahun 2020, termasuk transfer teknologi dan pendanaannya.
Indonesia
telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk melindungi lahan sawah dari alih fungsi
dan perubahan iklim serta Permentan No 14/2009 tentang pedoman pemanfaatan lahan
gambut untuk kelapa sawit untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Semua
ini tidak berarti jika perubahan iklim global terus terjadi. Karena itu,
prinsip collective power of responsibility dalam memecahkan masalah perubahan
iklim harus diimplementasikan secepatnya.
Prinsip
common objective but different
responsibility perlu dikawal pelaksanaannya oleh setiap warga planet Bumi.
Indonesia juga harus memanfaatkan local genius, budaya dan teknologi serta
sumber daya setempat untuk adaptasi perubahan iklim agar tidak menjadi
korbannya.
(di muat di Harian Umum Kompas, 12 Desember 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar