Mengapa
El Nino begitu mencemaskan sehingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono perlu
khusus menggelar rapat koordinasi terbatas?
Ada
dua argumen yang mendasari. Pertama, sistem produksi pangan amat sensitif
terhadap El Nino dan pasokan air hujan. Kedua, komitmen kuat Pemerintah
mempertahankan swasembada pangan menuju ekspor pangan berkelanjutan.
Trauma
dampak negatif anomali iklim El Nino memaksa Indonesia mengimpor beras dalam
jumlah amat signifikan.
Hal ini dijadikan pelajaran Pemerintah dalam menghadapi El Nino. Ketergantungan sistem produksi pangan nasional terhadap pasokan air hujan yang kian tinggi (mencapai 80 persen) memosisikan ketahanan pangan nasional amat fragile jika terjadi El Nino kuat. Sentra produksi pangan utama Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, dan NTT perlu melakukan antisipasi dini sehingga prediksi Januari defisit 1,35 juta ton dan Februari 2,5 juta ton tidak terjadi, bahkan sebaliknya terjadi surplus.
Hal ini dijadikan pelajaran Pemerintah dalam menghadapi El Nino. Ketergantungan sistem produksi pangan nasional terhadap pasokan air hujan yang kian tinggi (mencapai 80 persen) memosisikan ketahanan pangan nasional amat fragile jika terjadi El Nino kuat. Sentra produksi pangan utama Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, dan NTT perlu melakukan antisipasi dini sehingga prediksi Januari defisit 1,35 juta ton dan Februari 2,5 juta ton tidak terjadi, bahkan sebaliknya terjadi surplus.
Pertanyaannya,
bagaimana neraca ketahanan pangan nasional; bagaimana jalan menuju swasembada
dan ekspor pangan secara berkelanjutan?
Neraca Ketahanan Pangan
Saat
ini, neraca ketahanan pangan, terutama beras, bertumpu pada luas panen padi
nasional 12,67 juta hektar dengan rata-rata produktivitas 4,93 ton/ha dan
indeks pertanaman 163. Melalui peningkatan produksi rata-rata 5,0 persen per
tahun, Indonesia mampu memenuhi kebutuhan beras dengan pertumbuhan penduduk
1,33 persen/tahun dan mengekspor 100.000 ton beras.
Apabila
El Nino lemah sampai sedang terjadi Desember-Februari, sistem produksi lahan
sawah akan terganggu, kecuali rawa yang tumbuh positif. Antisipasinya, pertama
menanam varietas super genjah (umur 80 hari), seperti Inpara 2, Inpari 9, dan
Indragiri, sehingga ancaman penurunan hasil 50 persen dari potensi kekeringan
198.000 (produktivitas 3,5 ton/hektar) dapat diselamatkan (347.000 ton). Kedua,
menambah luas tanam di lahan rawa tahun 2010 seluas 129.000- 250.000 dengan IP
200 dan produktivitas 3,0 ton/hektar, dihasilkan 975.000 ton, sehingga total
lahan rawa menyumbang 1,12 juta ton saat El Nino. Jika penanaman padi super
genjah Silugonggo, Dodokan, dan Inpari 1 di lahan sawah dapat dilakukan, IP
lahan tadah hujan, irigasi setengah teknis, irigasi pedesaan, dan lahan tadah
hujan dapat ditingkatkan 50 persen dengan produktivitas 5,0 ton/hektar sehingga
dipastikan ada peningkatan produksi padi minimal 10 persen meski terjadi El
Nino.
Untuk
mencapai ketahanan pangan lestari, luas panen jagung 4,097 juta ha
(produktivitas 4,15 ton/ha), kedelai 701.000 ha (1,32 ton/ha), ubi kayu 12,99
juta ha (18,24 ton/ha), kacang tanah629.000 ha (1,21 ton/ha), dan ubi jalar
181.000 ha (10,75 ton/ha) harus ditingkatkan produktivitas dan luas tanamnya
minimal 10 persen/tahun melalui pola tanam berbasis varietas super genjah.
Badan
litbang pertanian telah melepas berbagai varietas super genjah hibrida maupun
nonhibrida produktivitas tinggi dengan kebutuhan air rendah. Jagung umur 80
hari, produktivitas 10 ton/hektar, kedelai umur 75 hari produktivitas 3
ton/hektar, ubi kayu umur 8 bulan dengan produktivitas 40 ton/hektar, kentang
produktivitas 35 ton/hektar. Benih, bibit, pupuk, dan mesin pertanian,
pascapanen dan pengolahan hasil, yang mendukung ketahanan pangan lestari, ada
di Pekan Agroinovasi III Badan Litbang Pertanian, 11-15 Agustus 2009 di
Cimanggu, Bogor.
Kebijakan Pangan Lestari
Diperlukan
dua pilar kebijakan Pemerintah untuk menggapai ketahanan pangan lestari.
Pertama, dukungan industri pascapanen dan pengolahan hasil. Kedua, pasar yang
berkeadilan.
Produk
pertanian yang mudah rusak dan daya simpan terbatas perlu diselamatkan. Sayang
pembangunan industri nasional tidak sepenuhnya mendukung pascapanen dan
pengolahan hasil pertanian skala usaha kecil dan menengah sehingga industri
pengolahan hasil berskala raksasa dengan modal kuat yang dominan tumbuh.
Dampaknya, eksploitasi perusahaan besar terhadap petani sulit dihindari.
Padahal, pascapanen dan pengolahan hasil merupakan penghasil nilai tambah
ekonomi dan pembuka lapangan kerja terbesar di sektor pertanian.
Pasar
komoditas pangan yang cenderung oligopolistik-terutama komoditas pangan yang
harganya tidak disangga Pemerintah-menyebabkan pengembangan harga komoditas
nonpadi penuh ketidakpastian. Dominasi tengkulak dalam menetapkan harga
komoditas nonpadi saat panen raya memosisikan petani tidak optimal menikmati
usahanya. Hal ini dapat melemahkan motivasi petani untuk memproduksi pangan
dalam jumlah besar karena semua risiko ditanggung sendiri.
Ini
ilustrasi nyata. Pemerintah meminta petani Tanjung Jabung Barat, Provinsi
Jambi, meningkatkan luas tanam dan produktivitas kedelai saat harga kedelai di
dalam negeri dan pasar internasional melonjak. Mereka sanggup dan bersedia asal
ada kepastian siapa yang membeli dan harga jualnya saat panen raya? Saat itu
tidak seorang pun aparat Pemerintah berani menjawab.
Dipastikan,
jika produk komoditas pangan wajar, lahan marjinal akan dibudidayakan. Jika
tidak, petani kembali terpaksa harus memberikan pengabdiannya demi kepentingan
nasional meski harus bertarung menghadapi kerasnya perdagangan komoditas
pangan.
(di muat di Harian
Umum Kompas, 11 Agustus 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar