Banjir
terus berulang dan diprakirakan masih akan muncul karena berdasarkan ramalan
lembaga penelitian iklim internasional dan Badan Meteorologi dan Geofisika pada
2008 "la nina" dengan intensitas sedang berpeluang besar untuk
terjadi.
Belum mengering banjir di Bojonegoro,
Tuban, Lamongan, Grobogan, Juwana dan Pati, petani sudah menerima kiriman air
bah lagi, sehingga mereka hidup dalam rendaman air dalam waktu yang lebih lama.
Curah hujan diprakirakan masih sangat tinggi terutama di sentra produksi
pangan, mulai pantai utara Jawa baik Jawa Barat, Jawa Tengah maupun Jawa Timur.
Padahal saat ini mulai memasuki periode puncak panen raya. Banyak tanaman padi
siap panen terendam banjir dan lumpur. Banyak butir padi yang hampa, warnanya
hitam, yang terpaksa dipanen lebih muda, sehingga kualitas dan produktivitas
panen jauh di bawah standar yang diharapkan.
Panen padi melimpah, sinar matahari
sangat terbatas, dan ketersediaan pengeringan jauh dari memadai yang
mengakibatkan kualitas gabah petani anjlok, sehingga harga pokok pembelian Pemerintah
menjadi santapan empuk tengkulak. Nasib petani sekali lagi harus menderita,
karena selain terkena banjir harga gabah anjlok tidak tertahankan. Tetapi, di
lain pihak harga bahan pangan, seperti: terigu, minyak goreng, dan bahan bakar
minyak terus melonjak.
Bagi petani, kondisi serba sulit itu
sangat ironis dan menyakitkan, tetapi itulah faktanya. Saat petani terpuruk
tidak banyak pihak yang merasa terpanggil dan bertanggung jawab untuk
menyelamatkan nasib dan masa depan mereka. Bekerja normatif, menunggu
perkembangan, bahkan ada "oknum" yang justru memanfaatkan
keterpurukan petani untuk memetik keuntungan sesaat yang sesat. Tidak ada
tempat untuk mengadu, petani tidak mempunyai tempat menggantungkan asa.
Anehnya, semua merasa bekerja, berjuang,
dan mengabdi selalu dengan dan atas nama petani. Pertanyaan fundamentalnya
adalah petani yang mana, dalam hal apa, dan seberapa besar kontribusinya bagi
perbaikan hidup petani?
Posisi petani saat ini memang serba
sangat susah. Produksi kedelai anjlok. Petani dituduh tidak mampu memenuhi kebutuhan
dalam negeri. Padahal saat harga bagus hasil kedelai petani dalam negeri
seringkali terpinggirkan karena Pemerintah membuka keran impor dan menggelontor
kedelai impor dengan semua argumen pembenarnya.
Demikian pula ketika harga minyak sawit
dunia meledak, petani sawit tidak menjadi penerima manfaat terbesar. Industri
sawit dan pedagang minyak sawit yang mengeruk keuntungan. Petani sawit hanya
menerima sebagian kecil nilai tambahnya, padahal merekalah yang bermandi peluh
untuk menghasilkan tandan buah segar sawit. Demikian pula ketika Pemerintah
menerapkan pajak ekspor minyak sawit untuk menekan volume ekspor agar terjadi
stabilisasi harga minyak goreng di dalam negeri, tanggung jawab itu dibebankan
kepada petani, sehingga mengurangi margin keuntungan petani.
Saat memasuki panen raya padi harga gabah
biasanya dibanting spekulan dengan berbagai cara dan intrik. Ironisnya kondisi
ini terus berlangsung dan berulang tanpa penyelesaian fundamental. Anjloknya
harga gabah di Kabupaten Banyuasin, Sumatra Selatan, pada awal Februari lalu
menunjukkan betapa kejam dan sadisnya tengkulak mengisap saripati hasil
keringat petani dengan "menggoreng" harga gabah kering panen (GKP)
hingga anjlok menjadi Rp 1.600/kilogram, jauh lebih rendah dari harga pokok pembelian
Pemerintah (HPP) Rp 2.000/kilogram. Ironisnya, saat itu tidak ada institusi Pemerintah
yang bertanggung jawab terhadap stabilisasi harga padi yang proaktif dan
sensitif membaca kerugian dan penderitaan petani. Mereka turun melakukan
pembelian setelah panen raya berakhir, sehingga sekali lagi, nasib petani
dikorbankan.
Anehnya, begitu harga beras merangkak
naik, banyak pihak merasa harus bergerak cepat, mulai dari Kantor Menko
Perekonomian, Departemen Perdagangan, Bulog yang langsung membahas secara
intensif bagaimana mengamankan harga beras dalam negeri. Memang itu tidak
salah, karena bagaimanapun Pemerintah harus menjaga stabilitas ekonomi, sosial
dan politik. Tetapi, menjadi sangat aneh pada saat harga gabah anjlok.
Pertanyaannya, mengapa hal serupa tidak dilakukan secara proporsional saat
harga gabah anjlok? Pantaskah masyarakat mempertanyakan, Pemerintah itu
berpihak kepada siapa? Pertanyaan kritis ini mengemuka karena hampir di semua
kesempatan nasib petani lebih sering dikorbankan.
Partai Petani
Pemberdayaan petani dalam arti yang
sesungguhnya merupakan kunci penyelesaian fundamental atas masalah pertanian,
yang selama ini tidak pernah tuntas ditangani. Sekalipun banyak organisasi yang
mengatasnamankan petani dengan klaim anggota jutaan orang, namun faktanya
organisasi itu lebih didominasi personel bukan petani. Bahkan orang yang tidak
pernah menjadi petani, sehingga tidak pernah merasakan betapa sulit dan
menderitanya petani.
Sebagian besar organisasi petani
merupakan perkumpulan elite, yang
mencoba memanfaatkan kepolosan, keluguan serta massa petani yang sangat besar.
Jangan harap nasib petani dapat tertolong. Petani harus berprinsip dan memegang
teguh filosofi kuno yang sampai kapan pun tetap berlaku yaitu: hanya petani
sendirilah yang dapat menolong dirinya.
Berdasarkan uraian tersebut, meskipun
sudah terlambat untuk bertarung langsung, namun pilihan yang harus dilakukan
untuk menolong nasib petani hanya satu, mendirikan partai petani sekarang juga.
Sudah lama petani program yang didesain untuk meningkatkan kesejahteraan petani
seringkali disalahgunakan untuk menyejahterakan yang mengurus petani. Melalui
kepengurusan yang solid dan transparan partai petani dipastikan menjadi alat
efektif untuk memperjuangkan kepentingan, nasib dan masa depan petani. Selain
mengetahui masalah yang sebenarnya terjadi, petani dapat mencari formula
penyelesaian yang relalistis sesuai dengan kondisi di lapangan.
Sebagai embrio awalnya mahasiswa fakultas
pertanian bersama lembaga swadaya masyarakat yang bekerja bersama dengan petani
dapat menginisiasi pembentukan partai petani. Sekalipun saat ini sudah
terlambat untuk mengikuti pemilihan umum, tetapi dipastikan keberadaannya akan
menjadi incaran partai besar. Pasti semua partai akan berebut massa riil petani
di lapangan, bukan massa yang tidak jelas pola dan karakteristiknya. Saat
itulah petani dapat memperjuangkan nasib langsung tanpa lewat perantara atau
pihak ketiga yang seringkali memanfaatkan suara petani untuk kepentingan
sendiri. Posisi tawar kuat yang diperoleh petani selanjutnya dapat digunakan
untuk konsolidasi membangun partai petani yang kuat untuk periode pemilihan
umum berikutnya.
Bangkitnya petani untuk menyelesaikan
persoalan dan menentukan nasib sendiri diprakirakan akan menjadi solusi
menyeluruh atas kemandekan pembangunan di berbagai strata selama ini. Sikap
apriori dan apatis petani terhadap program pemulihan kualitas lingkungan,
pengelolaan tata ruang, serta partisipasi pembangunan dalam arti luas merupakan
refleksi atas reaksi petani yang selama ini lebih banyak dirugikan oleh
perilaku "oknum" Pemerintah di lapangan.
Untuk itulah Direktorat Jenderal
Pengelolaan Lahan dan Air Departemen Pertanian mengambil terobosan dalam
melaksanakan pembangunan melalui pola bantuan sosial. Menggunakan cara transfer
uang langsung ke kelompok masyarakat diharapkan losses dana pembangunan akibat
pajak, keuntungan perusahaan, dan kebocoran lainnya dapat diminimalkan dan
dialihkan untuk program yang bermanfaat langsung di masyarakat.
Berpijak atas keberhasilan Departemen
Pertanian memperluas berbagai programnya melalui model bantuan sosial ke
kelompok masyarakat. Perubahan pola pemberian bantuan anggaran ini akan lebih
cepat terlihat dampaknya apabila semua sektor terkait dapat mengaplikasikan
pola yang sama sesuai dengan kondisi masyarakat dan jenis pekerjaannya.
Presiden dapat memperluas model pembangunan melalui pola bantuan langsung ini
agar percepatan pelaksanaan pembangunan dapat ditingkatkan dan ratapan petani
serta rakyat miskin dapat segera dihentikan.
(di muat di Harian Umum Suara Pembaharuan – 14
Maret 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar