Jumat, 08 Agustus 2014

MERATAPI NASIB PETANI

     Banjir terus berulang dan diprakirakan masih akan muncul karena berdasarkan ramalan lembaga penelitian iklim internasional dan Badan Meteorologi dan Geofisika pada 2008 "la nina" dengan intensitas sedang berpeluang besar untuk terjadi.
       Belum mengering banjir di Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Grobogan, Juwana dan Pati, petani sudah menerima kiriman air bah lagi, sehingga mereka hidup dalam rendaman air dalam waktu yang lebih lama. Curah hujan diprakirakan masih sangat tinggi terutama di sentra produksi pangan, mulai pantai utara Jawa baik Jawa Barat, Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Padahal saat ini mulai memasuki periode puncak panen raya. Banyak tanaman padi siap panen terendam banjir dan lumpur. Banyak butir padi yang hampa, warnanya hitam, yang terpaksa dipanen lebih muda, sehingga kualitas dan produktivitas panen jauh di bawah standar yang diharapkan.
       Panen padi melimpah, sinar matahari sangat terbatas, dan ketersediaan pengeringan jauh dari memadai yang mengakibatkan kualitas gabah petani anjlok, sehingga harga pokok pembelian Pemerintah menjadi santapan empuk tengkulak. Nasib petani sekali lagi harus menderita, karena selain terkena banjir harga gabah anjlok tidak tertahankan. Tetapi, di lain pihak harga bahan pangan, seperti: terigu, minyak goreng, dan bahan bakar minyak terus melonjak.
       Bagi petani, kondisi serba sulit itu sangat ironis dan menyakitkan, tetapi itulah faktanya. Saat petani terpuruk tidak banyak pihak yang merasa terpanggil dan bertanggung jawab untuk menyelamatkan nasib dan masa depan mereka. Bekerja normatif, menunggu perkembangan, bahkan ada "oknum" yang justru memanfaatkan keterpurukan petani untuk memetik keuntungan sesaat yang sesat. Tidak ada tempat untuk mengadu, petani tidak mempunyai tempat menggantungkan asa.
       Anehnya, semua merasa bekerja, berjuang, dan mengabdi selalu dengan dan atas nama petani. Pertanyaan fundamentalnya adalah petani yang mana, dalam hal apa, dan seberapa besar kontribusinya bagi perbaikan hidup petani?
       Posisi petani saat ini memang serba sangat susah. Produksi kedelai anjlok. Petani dituduh tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Padahal saat harga bagus hasil kedelai petani dalam negeri seringkali terpinggirkan karena Pemerintah membuka keran impor dan menggelontor kedelai impor dengan semua argumen pembenarnya.
       Demikian pula ketika harga minyak sawit dunia meledak, petani sawit tidak menjadi penerima manfaat terbesar. Industri sawit dan pedagang minyak sawit yang mengeruk keuntungan. Petani sawit hanya menerima sebagian kecil nilai tambahnya, padahal merekalah yang bermandi peluh untuk menghasilkan tandan buah segar sawit. Demikian pula ketika Pemerintah menerapkan pajak ekspor minyak sawit untuk menekan volume ekspor agar terjadi stabilisasi harga minyak goreng di dalam negeri, tanggung jawab itu dibebankan kepada petani, sehingga mengurangi margin keuntungan petani.
       Saat memasuki panen raya padi harga gabah biasanya dibanting spekulan dengan berbagai cara dan intrik. Ironisnya kondisi ini terus berlangsung dan berulang tanpa penyelesaian fundamental. Anjloknya harga gabah di Kabupaten Banyuasin, Sumatra Selatan, pada awal Februari lalu menunjukkan betapa kejam dan sadisnya tengkulak mengisap saripati hasil keringat petani dengan "menggoreng" harga gabah kering panen (GKP) hingga anjlok menjadi Rp 1.600/kilogram, jauh lebih rendah dari harga pokok pembelian Pemerintah (HPP) Rp 2.000/kilogram. Ironisnya, saat itu tidak ada institusi Pemerintah yang bertanggung jawab terhadap stabilisasi harga padi yang proaktif dan sensitif membaca kerugian dan penderitaan petani. Mereka turun melakukan pembelian setelah panen raya berakhir, sehingga sekali lagi, nasib petani dikorbankan.
       Anehnya, begitu harga beras merangkak naik, banyak pihak merasa harus bergerak cepat, mulai dari Kantor Menko Perekonomian, Departemen Perdagangan, Bulog yang langsung membahas secara intensif bagaimana mengamankan harga beras dalam negeri. Memang itu tidak salah, karena bagaimanapun Pemerintah harus menjaga stabilitas ekonomi, sosial dan politik. Tetapi, menjadi sangat aneh pada saat harga gabah anjlok. Pertanyaannya, mengapa hal serupa tidak dilakukan secara proporsional saat harga gabah anjlok? Pantaskah masyarakat mempertanyakan, Pemerintah itu berpihak kepada siapa? Pertanyaan kritis ini mengemuka karena hampir di semua kesempatan nasib petani lebih sering dikorbankan.

Partai Petani
       Pemberdayaan petani dalam arti yang sesungguhnya merupakan kunci penyelesaian fundamental atas masalah pertanian, yang selama ini tidak pernah tuntas ditangani. Sekalipun banyak organisasi yang mengatasnamankan petani dengan klaim anggota jutaan orang, namun faktanya organisasi itu lebih didominasi personel bukan petani. Bahkan orang yang tidak pernah menjadi petani, sehingga tidak pernah merasakan betapa sulit dan menderitanya petani.
       Sebagian besar organisasi petani merupakan perkumpulan elite, yang mencoba memanfaatkan kepolosan, keluguan serta massa petani yang sangat besar. Jangan harap nasib petani dapat tertolong. Petani harus berprinsip dan memegang teguh filosofi kuno yang sampai kapan pun tetap berlaku yaitu: hanya petani sendirilah yang dapat menolong dirinya.
       Berdasarkan uraian tersebut, meskipun sudah terlambat untuk bertarung langsung, namun pilihan yang harus dilakukan untuk menolong nasib petani hanya satu, mendirikan partai petani sekarang juga. Sudah lama petani program yang didesain untuk meningkatkan kesejahteraan petani seringkali disalahgunakan untuk menyejahterakan yang mengurus petani. Melalui kepengurusan yang solid dan transparan partai petani dipastikan menjadi alat efektif untuk memperjuangkan kepentingan, nasib dan masa depan petani. Selain mengetahui masalah yang sebenarnya terjadi, petani dapat mencari formula penyelesaian yang relalistis sesuai dengan kondisi di lapangan.
       Sebagai embrio awalnya mahasiswa fakultas pertanian bersama lembaga swadaya masyarakat yang bekerja bersama dengan petani dapat menginisiasi pembentukan partai petani. Sekalipun saat ini sudah terlambat untuk mengikuti pemilihan umum, tetapi dipastikan keberadaannya akan menjadi incaran partai besar. Pasti semua partai akan berebut massa riil petani di lapangan, bukan massa yang tidak jelas pola dan karakteristiknya. Saat itulah petani dapat memperjuangkan nasib langsung tanpa lewat perantara atau pihak ketiga yang seringkali memanfaatkan suara petani untuk kepentingan sendiri. Posisi tawar kuat yang diperoleh petani selanjutnya dapat digunakan untuk konsolidasi membangun partai petani yang kuat untuk periode pemilihan umum berikutnya.
       Bangkitnya petani untuk menyelesaikan persoalan dan menentukan nasib sendiri diprakirakan akan menjadi solusi menyeluruh atas kemandekan pembangunan di berbagai strata selama ini. Sikap apriori dan apatis petani terhadap program pemulihan kualitas lingkungan, pengelolaan tata ruang, serta partisipasi pembangunan dalam arti luas merupakan refleksi atas reaksi petani yang selama ini lebih banyak dirugikan oleh perilaku "oknum" Pemerintah di lapangan.
       Untuk itulah Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air Departemen Pertanian mengambil terobosan dalam melaksanakan pembangunan melalui pola bantuan sosial. Menggunakan cara transfer uang langsung ke kelompok masyarakat diharapkan losses dana pembangunan akibat pajak, keuntungan perusahaan, dan kebocoran lainnya dapat diminimalkan dan dialihkan untuk program yang bermanfaat langsung di masyarakat.

       Berpijak atas keberhasilan Departemen Pertanian memperluas berbagai programnya melalui model bantuan sosial ke kelompok masyarakat. Perubahan pola pemberian bantuan anggaran ini akan lebih cepat terlihat dampaknya apabila semua sektor terkait dapat mengaplikasikan pola yang sama sesuai dengan kondisi masyarakat dan jenis pekerjaannya. Presiden dapat memperluas model pembangunan melalui pola bantuan langsung ini agar percepatan pelaksanaan pembangunan dapat ditingkatkan dan ratapan petani serta rakyat miskin dapat segera dihentikan.

(di muat di Harian Umum Suara Pembaharuan – 14 Maret 2008)

Tidak ada komentar: