Jumat, 08 Agustus 2014

PEMANASAN GLOBAL DAN PERADABAN

Menurut laporan Panel Antar Pemerintah Perserikatan Bangsa Bangsa mengenai Perubahan Iklim atau IPCC, telah terjadi kenaikan suhu minimum dan maksimum bumi antara 0,5 - 1,5 derajat Celsius. Peningkatan lebih ekstrem bahkan terjadi di kota-kota besar padat penduduk, dengan polusi udara tinggi dan eksploitasi air tanah berlebihan. Kenaikan itu terjadi pada suhu minimum dan maksimum di siang maupun malam hari antara 0,5 sampai 2,0 derajat Celsius.

Penolakan Amerika Serikat dan Australia untuk meratifikasi Protokol Kyoto serta keengganan negara maju melakukan mitigasi dan adaptasi diprakirakan akan mempercepat kenaikan suhu udara. Apalagi faktanya, sampai pertemuan para pihak (Conference of Parties) ke-12, tidak ada tindakan signifikan dalam adaptasi dan mitigasi. Mereka lebih sibuk membahas mekanisme, prosedur, keuangan, dalam bentuk seminar, workshop dan simposium, seolah melupakan derita rakyat miskin yang sudah porak-peranda akibat ulah mereka.
Mengapa kenaikan suhu secara exceptional itu sangat mencemaskan dan membuat panik semua orang dibandingkan dengan kekeringan dan kebanjiran? Paling tidak ada tiga argumen yang dapat menjelaskan. Pertama, kenaikan suhu tidak tergantung dari musim dan bersifat lintas batas sehingga efek distruksinya besar. Kedua, durasinya lama dan polanya kontinu sehingga menguras totalitas energi. Ketiga, adaptasi kenaikan suhu harus dilakukan sesaat melalui penggunaan energi sehingga kontra terhadap mitigasi perubahan iklim. Berbeda dengan banjir dan kekeringan, sekalipun saat ini polanya acak tetapi magnitud banjir besar terjadi pada musim hujan, sedangkan magnitud kekeringan ekstrem terjadi pada puncak musim kemarau.

Adaptasi Kontra Mitigasi
Melambungnya harga bahan bakar minyak maupun minyak sawit mentah (CPO) yang melampaui batas psikologis, mengindikasikan peluang terjadinya bencana lingkungan yang lebih dahsyat lagi. Penggunaan listrik dan bahan bakar fosil yang exaggerated untuk adaptasi dan proses produksi akan meningkatkan produksi gas rumah kaca. Sedangkan penggunaan bahan baku biofuel untuk energi secara langsung memicu terjadinya trade off harga dan bahan pangan sehingga memperlemah perekonomian masyarakat.
Lonjakan permintaan dan konsumsi minyak berbahan baku fosil maupun biofuel merupakan peringatan langsung (direct warning) bahwa pemanasan global belum bisa diturunkan, tetapi sebaliknya terus meningkat. Dilema ini menyebabkan level of vulnerability meningkat, sementara spent of adaptation menurun, proporsi pendanaan untuk pangan meningkat sehingga mendorong pemiskinan berkelanjutan. Efek dominonya, sistem planet tidak efisien dan produktif, kontra mitigasi juga secara langsung dapat menurunkan kualitas generasi sehingga dalam kondisi ekstrem dapat menghancurkan generasi dan peradaban. 
Eksploitasi sumber air in situ dan ex situ sangat mencemaskan di kota besar dan padat industri. Akses dan kontrol aparat yang lemah terhadap pengambilan air tanah maupun air permukaan menyebabkan kandungan air tanah semakin anjlok sehingga kemampuan meredam suhu (buffering temperature) atas radiasi yang sampai ke permukaan tanah rendah.
Koefisien pantul (albedo) permukaan tanah yang tinggi lahan yang tertutup bangunan permanen menyebabkan energi matahari akan dikembalikan ke atmosfer sehingga menambah pemanasan udara. Pada fase ini tanah dan atmosfer mengalami pemanasan secara simultan. Itulah sebabnya ada pengaruh ganda terhadap peningkatan suhu atmosfer.

Berubah atau Binasa
Bertahan hidup atau binasa merupakan pilihan pahit yang harus dihadapi akibat pemanasan global sehingga berlaku pepatah if you don’t change you will die. Meninggalnya ribuan manusia akibat tingginya kalor (heat flux) di Perancis pada 2003, dan hancurnya ekosistem serta tenggelamnya sawah di pesisir, kota-kota besar di Jawa merupakan teladan betapa dahsyatnya dampak perubahan iklim. Tanpa tindakan nyata, cepat dan pasti peradaban akan hancur ditelan pemanasan global.
Jangankan kayu, besi dan batu sekalipun hancur apabila terjadi kenaikan suhu dan kelembaban secara kontinu. Penurunan tingkat kerentanan (level of vulnerability), peningkatan kualitas dan areal adaptasi kunci mempertahankan peradaban. Sumber daya manusia yang kreatif dan cerdas dalam menyediakan energi, pemanfaatan air dan penyediaan pangan adalah kata kuncinya.
WWF memberikan teladan konkret perubahan budaya dimulai dari desain arsitektur rumah yang respek terhadap sinar matahari dan sirkulasi udara untuk menghasilkan indeks kenyamanan (index of comfortability) penghuni dalam beraktivitas. Rumah tropis hemat energi dapat menurunkan konsumsi listrik sehingga sumbangan kenaikan emisi sebesar 19 persen dapat direduksi. Penurunan konsumsi listrik pendingin ruangan (38%), komputer (10%), penanak nasi (10%), mesin cuci (9%), setrika (9%), mesin air (6%), dan lampu (5%) harus secepatnya dilakukan.

Mitigasi, Adaptasi, dan Dana Segar

Indonesia dapat memperoleh dana segar non-loan melalui program adaptasi dan mitigasi memanfaatkan program Under Kyoto Protocol maupun Convention. Mitigasi gas metana dari kotoran ternak menghasilkan biogas, pengembangan kelapa sawit, karet, dan kakao pada lahan telantar dapat diperjualbelikan kemampuan menambat karbonnya, dapat menurunkan 225 ton   per hektar, dapat diperdagangkan sertifikatnya. Dengan luas kebun sawit 7 juta hektar, maka devisa segar non-loan dapat dihasilkan. Satu hal yang perlu dicatat, certificate emission reduction (CER) ini dapat diperdagangkan sehingga Indonesia harus berhati-hati dalam menentukan harga jualnya agar tidak dirugikan. Diperlukan sinergi nyata antara sektor terkait dalam pemasaran produk dan negosiasi harga dengan pihak ketiga agar perdagangan karbon dan emisi gas rumah kaca dapat dimanfaatkan untuk perbaikan lingkungan secara nyata. 

(Tulisan ini dimuat pada: Harian Umum Kompas, 16 Nopember 2007)


Tidak ada komentar: