Menurut laporan Panel Antar Pemerintah Perserikatan
Bangsa Bangsa mengenai Perubahan Iklim atau IPCC, telah terjadi kenaikan suhu
minimum dan maksimum bumi antara 0,5 - 1,5 derajat Celsius. Peningkatan lebih
ekstrem bahkan terjadi di kota-kota besar padat penduduk, dengan polusi udara
tinggi dan eksploitasi air tanah berlebihan. Kenaikan itu terjadi pada suhu
minimum dan maksimum di siang maupun malam hari antara 0,5 sampai 2,0 derajat
Celsius.
Penolakan Amerika Serikat dan Australia untuk
meratifikasi Protokol Kyoto serta keengganan negara maju melakukan mitigasi dan
adaptasi diprakirakan akan mempercepat kenaikan suhu udara. Apalagi faktanya,
sampai pertemuan para pihak (Conference
of Parties) ke-12, tidak ada tindakan signifikan dalam adaptasi dan
mitigasi. Mereka lebih sibuk membahas mekanisme, prosedur, keuangan, dalam
bentuk seminar, workshop dan simposium, seolah melupakan derita rakyat miskin
yang sudah porak-peranda akibat ulah mereka.
Mengapa kenaikan suhu secara exceptional itu sangat mencemaskan dan membuat panik semua orang
dibandingkan dengan kekeringan dan kebanjiran? Paling tidak ada tiga argumen
yang dapat menjelaskan. Pertama, kenaikan suhu tidak tergantung dari musim dan
bersifat lintas batas sehingga efek distruksinya besar. Kedua, durasinya lama
dan polanya kontinu sehingga menguras totalitas energi. Ketiga, adaptasi
kenaikan suhu harus dilakukan sesaat melalui penggunaan energi sehingga kontra
terhadap mitigasi perubahan iklim. Berbeda dengan banjir dan kekeringan,
sekalipun saat ini polanya acak tetapi magnitud banjir besar terjadi pada musim
hujan, sedangkan magnitud kekeringan ekstrem terjadi pada puncak musim kemarau.
Adaptasi Kontra Mitigasi
Melambungnya harga bahan bakar minyak maupun minyak
sawit mentah (CPO) yang melampaui batas psikologis, mengindikasikan peluang terjadinya
bencana lingkungan yang lebih dahsyat lagi. Penggunaan listrik dan bahan bakar
fosil yang exaggerated untuk adaptasi dan proses produksi akan meningkatkan
produksi gas rumah kaca. Sedangkan penggunaan bahan baku biofuel untuk energi
secara langsung memicu terjadinya trade
off harga dan bahan pangan sehingga memperlemah perekonomian masyarakat.
Lonjakan permintaan dan konsumsi minyak berbahan baku
fosil maupun biofuel merupakan peringatan langsung (direct warning) bahwa pemanasan global belum bisa diturunkan,
tetapi sebaliknya terus meningkat. Dilema ini menyebabkan level of vulnerability meningkat, sementara spent of adaptation
menurun, proporsi pendanaan untuk pangan meningkat sehingga mendorong
pemiskinan berkelanjutan. Efek dominonya, sistem planet tidak efisien dan
produktif, kontra mitigasi juga secara langsung dapat menurunkan kualitas
generasi sehingga dalam kondisi ekstrem dapat menghancurkan generasi dan
peradaban.
Eksploitasi sumber air in situ dan ex situ sangat mencemaskan di kota besar dan padat industri. Akses
dan kontrol aparat yang lemah terhadap pengambilan air tanah maupun air
permukaan menyebabkan kandungan air tanah semakin anjlok sehingga kemampuan
meredam suhu (buffering temperature)
atas radiasi yang sampai ke permukaan tanah rendah.
Koefisien pantul (albedo)
permukaan tanah yang tinggi lahan yang tertutup bangunan permanen menyebabkan
energi matahari akan dikembalikan ke atmosfer sehingga menambah pemanasan
udara. Pada fase ini tanah dan atmosfer mengalami pemanasan secara simultan.
Itulah sebabnya ada pengaruh ganda terhadap peningkatan suhu atmosfer.
Berubah atau Binasa
Bertahan hidup atau binasa merupakan pilihan pahit yang
harus dihadapi akibat pemanasan global sehingga berlaku pepatah if you don’t change you will die. Meninggalnya
ribuan manusia akibat tingginya kalor (heat
flux) di Perancis pada 2003, dan hancurnya ekosistem serta tenggelamnya
sawah di pesisir, kota-kota besar di Jawa merupakan teladan betapa dahsyatnya
dampak perubahan iklim. Tanpa tindakan nyata, cepat dan pasti peradaban akan
hancur ditelan pemanasan global.
Jangankan kayu, besi dan batu sekalipun hancur apabila
terjadi kenaikan suhu dan kelembaban secara kontinu. Penurunan tingkat
kerentanan (level of vulnerability),
peningkatan kualitas dan areal adaptasi kunci mempertahankan peradaban. Sumber
daya manusia yang kreatif dan cerdas dalam menyediakan energi, pemanfaatan air
dan penyediaan pangan adalah kata kuncinya.
WWF memberikan teladan konkret perubahan budaya dimulai
dari desain arsitektur rumah yang respek terhadap sinar matahari dan sirkulasi
udara untuk menghasilkan indeks kenyamanan (index
of comfortability) penghuni dalam beraktivitas. Rumah tropis hemat energi
dapat menurunkan konsumsi listrik sehingga sumbangan kenaikan emisi sebesar 19
persen dapat direduksi. Penurunan konsumsi listrik pendingin ruangan (38%),
komputer (10%), penanak nasi (10%), mesin cuci (9%), setrika (9%), mesin air
(6%), dan lampu (5%) harus secepatnya dilakukan.
Mitigasi, Adaptasi, dan Dana
Segar
Indonesia dapat memperoleh dana segar non-loan melalui
program adaptasi dan mitigasi memanfaatkan program Under Kyoto Protocol maupun
Convention. Mitigasi gas metana dari kotoran ternak menghasilkan biogas,
pengembangan kelapa sawit, karet, dan kakao pada lahan telantar dapat
diperjualbelikan kemampuan menambat karbonnya, dapat menurunkan 225 ton per
hektar, dapat diperdagangkan sertifikatnya. Dengan luas kebun sawit 7 juta
hektar, maka devisa segar non-loan
dapat dihasilkan. Satu hal yang perlu dicatat, certificate emission reduction
(CER) ini dapat diperdagangkan sehingga Indonesia harus berhati-hati dalam
menentukan harga jualnya agar tidak dirugikan. Diperlukan sinergi nyata antara
sektor terkait dalam pemasaran produk dan negosiasi harga dengan pihak ketiga
agar perdagangan karbon dan emisi gas rumah kaca dapat dimanfaatkan untuk
perbaikan lingkungan secara nyata.
(Tulisan ini dimuat pada: Harian Umum Kompas, 16 Nopember 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar