Benarkah illegal logging tidak bisa diatasi?
Akankah kali ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono benar-benar tidak akan
kompromi dengan masalah penebangan liar di daerah konflik, seperti Papua dan
Aceh dan bukan sekadar sebagai lip
service?
Pertanyaan tersebut terus mengemuka karena
sebagian besar masyarakat saat ini cenderung apatis, apriori, skeptis, dan masa
bodoh karena penebangan liar terus meluas dan terkesan tidak tersentuh aparat.
Pembabat hutan di daerah konflik yang semakin merajalela, pengawasan masyarakat
dan aparat sangat terbatas sehingga diperkirakan areal hutan di daerah konflik
akan tinggal statusnya tidak ada buktinya.
Berdasarkan pemantauan lapangan, ada
indikasi bahwa saat ini intensitas, frekuensi, dan luas wilayah illegal logging terkesan
"menurun" akibat operasi yang digelar Pemerintah. Sayangnya,
penurunan ini menurut Yin et al (2003) dalam teorinya tentang: A Flexible Sigmoid Function of Determinate
Growth, sifatnya hanya sementara menuju fase
natural diminishing logging rate sebagai bagian strategi tiarap penjarah
hutan sampai operasi penebangan liar mendingin.
Setelah Pemerintah kehabisan bekal, energi,
amunisi, dan tekanan publik menurun, pelaku akan keluar dari periode
dormancy-nya beralih memasuki periode pertumbuhan yang dipercepat (accelerate logging growth rate) sehingga
pembabatan hutan menjadi lebih dahsyat. Penyebabnya karena Pemerintah tidak
menyelesaikan akar masalah penebangan liar secara fundamental, tetapi lebih
pada penyelesaian ad hock seperti
pemadam kebakaran.
Akar masalah
Akar masalah illegal logging menurut Smith et al (2003) terjadi karena korupsi
sistemis yang kolutif, baik secara horizontal maupun vertikal sehingga menyebar
(widespread), persisten, mengakar,
menahun, dan sulit diberantas karena hampir semua lini menikmati dan memperoleh
manfaat hasil jarahan.
Perdagangan global kayu ilegal menjadi
"multimillion trade"
sehingga banyak pihak mengais bisnis rezeki haram yang sebenarnya merupakan
kejahatan kriminal terhadap hutan (forest
crime). Pemerintahan yang fragmented
pasca kejatuhan rezim Orde Baru memperburuk keadaan karena setiap elite politik
dan penguasa ekonomi mencari sumber pendanaan untuk merebut kekuasaan yang
lebih besar dan hutan menjadi salah satu sumber dana potensial rebutan elite
politik dan ekonomi.
Mereka menggunakan pengaruh dan dananya
untuk memanipulasi kebijakan dengan memanfaatkan kekacauan Pemerintahan (chaotic government situation) untuk
mengambil untung (profit taking)
sebesar besarnya.
Pengusaha hutan yang oportunis merasa
diuntungkan dalam jangka pendek dengan murahnya biaya produksi dan proses
administrasinya sederhana sehingga secara bisnis menjadi sangat menguntungkan
meskipun dalam jangka panjang menghancurkan recovery
hutan alam, keragaman hayati (biodiversity
distruction), dan keberlanjutan usaha perkayuan itu sendiri. Dampak sosial
yang sangat mengerikan dan sering kali muncul akibat illegal logging adalah
intimidasi dan kekerasan (intimidation
and violence) terhadap masyarakat lokal oleh oknum aparat.
Secara spesifik, korupsi yang kolutif akan
mendistruksi hutan secara sistemis karena corruption
or abuse of public office for private gain exacerbates illegal logging by
allowing it to occur in the first place and letting it to go unchecked and
unpunished.
Artinya, korupsi "mengizinkan illegal
logging" terjadi di suatu tempat dan membiarkan meluas tanpa kontrol dan
hukuman. Bank Dunia menyatakan, Pemerintahan yang membiarkan illegal logging
akan terkorosi, rapuh, dan hancur akibat kerusakan hutan meluas dan kronis.
Fakta empiris korosinya antara lain:
terjadinya banjir dan kekeringan di mana-mana, kapan saja dengan kerugian yang
sangat besar, bahkan ada yang mengatakan malaikat pun tidak akan mampu
mengatasinya.
Penebangan Liar
Ada dua skenario besar yang harus dilakukan dalam
menggempur para pelaku penebangan liar: (1) pemantauan alih fungsi hutan secara
on line (2) pengembangan konsep reduced rate and impact logging.
Pemantauan on line
sangat diperlukan agar masyarakat dapat memantau sepak terjang pembabat hutan
sehingga ada tekanan publik terhadap aparat karena kerja dan kinerjanya diawasi
masyarakat. Sementara itu masyarakat dan LSM dapat memanfaatkan informasi on line untuk memantau penebangan liar
di lapangan sekaligus menekan pengambil kebijakan dan aparat hukum untuk
menghentikan pembabatan hutan yang ilegal.
Berkaitan dengan upaya menekan laju dan dampak
penebangan liar (reduced rate and impact
logging) ada empat hal yang perlu dilakukan Pemerintah bersama masyarakat:
(1) penguatan NGO’S dan media, (2) penciptaan sumber pendapatan baru dan
peningkatan nilai tambah dengan memperpanjang rantai proses untuk komoditas
kayu dan nonkayu (creating non timber
income for local community) (3) mendorong desentralisasi dan reformasi
pemilikan lahan untuk meningkatkan insentif masyarakat setempat (4)
mengembangkan program pemulihan hutan melalui pemberdayaan publik.
Pemberdayaan publik dalam akses, kontrol, dan
partisipasi dalam pengelolaan hutan merupakan strategi dan pendekatan yang
perlu diintensifkan dalam mengatasi penebangan liar akibat korupsi yang
kolutif. Selain murah dan mudah, pengawasan masyarakat akan menjadikan hutan
sebagai bagian hidup dan kehidupan masyarakat.
Pendekatan pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal dapat
dijadikan teladan untuk pengembangan reduced
impact logging. Sayangnya, upaya yang dilakukan Pemerintah lebih bersifat
parsial dan pemadam kebakaran sehingga para perambah hutan sangat mudah membaca
untuk menghindari aparat tanpa khawatir tertangkap karena semua level sudah
dikuasai.
Secara faktual, penebangan liar pasti diketahui
masyarakat luas dan oknum petugas keamanan., karena pola (pattern), struktur (structure),
dan lintasan (trajectory) relatif
sama. Kalau ada argumen Pemerintah setempat atau petugas keamanan tidak
mengetahui, rasanya sangat sulit untuk dipahami.
Mengapa demikian, karena berdasarkan pemantauan beberapa
lembaga swadaya masyarakat, umumnya marak dan meluasnya penebangan liar
biasanya berkolusi dengan oknum petugas sehingga masyarakat tidak berdaya, itu
yang perlu dikaji lebih jauh.
Perambahan hutan semakin menyedihkan terutama di daerah
konflik karena wilayah seperti Aceh dan Papua, jenis, kualitas dan potensi
kayunya masih tinggi, sementara kontrol aparat Pemerintah dan masyarakat sangat
terbatas.
Hasil penelitian kerja sama Balai Penelitian Agroklimat
dan Hidrologi dan Pusat Data Inderaja LAPAN dalam pemantauan tutupan lahan
dengan citra Satelit Landsat di daerah konflik yang sulit dijangkau tahun 2003
menunjukkan bahwa di DAS Singkil, DAS Krueng Aceh, Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam yang terkenal dengan kayu singkil, potensi produksi hutannya merosot
drastis.
Ditinjau luas wilayah hutannya, secara kuantitas
penurunan luas hutan relatif sangat rendah selama lima tahun terakhir. Namun,
apabila dikaji secara kualitas dengan parameter indeks vegetasi (normal difference vegetation index) dan
indeks kebasahan lahan (wetness index),
kondisinya berubah sangat drastis baik nilainya maupun sebarannya.
Dampaknya, meskipun jenis tutupan lahannya relatif
tetap, tetapi karena kerapatannya menurun, terjadi penurunan kemampuan lahan
memegang air (water holding capacity)
secara signifikan baik secara spasial dan temporal.
Apalagi daerah aliran sungai yang di dalamnya terdapat
kota besar seperti Krueng Aceh, dengan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi
pesat, penjarahan hutan akan terus terjadi, sekalipun areal tersebut merupakan
wilayah konflik (Gambar 1). Terlihat bahwa areal hutan ditunjukkan oleh warna
hijau pada citra satelit, sementara lahan yang kualitas penutupnya jarang
berwarna kuning (vegetasinya jarang), sedangkan lahan yang tidak bervegetasi
berwarna merah.
Adanya konflik seperti di Aceh dan Papua justru
dimanfaatkan untuk membabat hutan semaksimal mungkin bagi kepentingan kelompok
yang sifatnya sesaat. Meningkatnya luas dan besaran (magnitude) banjir dan kekeringan serta dahsyatnya dampak tsunami di
Aceh adalah teladan konkret dampak penurunan kualitas tutupan lahan yang tidak
terbantahkan.
Sayangnya, penurunan kualitas tutupan lahan yang tinggi
ini tidak dieksplorasi pengambil kebijakan karena mereka berlindung dari luas
tutupan lahan yang relatif tetap.
Danau Sentani di Papua, Danau Tempe dan Sidenreng di
Sulawesi Selatan mengalami sedimentasi waduk akibat penebangan liar yang sudah
tidak dapat dikontrol lagi. Memang, secara kuantitas, jenis penggunaan lahannya
tetap, tetapi secara kualitas terjadi penurunan yang luar biasa.
Diperkirakan hampir semua badan air (water body) yang ada di Indonesia terancam
mengalami pendangkalan. Pemerintah Provinsi/Kabupaten/ Kota umumnya kurang
peduli karena tidak menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) dan justru
sebaliknya.
Padahal,
di negara maju seperti Perancis, Thailand, China, dan Australia, tubuh air
selalu dilindungi hutan alam dan buatan yang bagus sehingga selain dapat
menghasilkan air juga dapat digunakan untuk pariwisata, listrik, dan perikanan
darat. Kapan Indonesia yang memiliki sumber daya alam yang luar biasa dapat
melakukan hal serupa, mari kita tunggu jawabnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar