Jumat, 08 Agustus 2014

MASALAH PENEBANGAN LIAR DI DAERAH KONFLIK

Benarkah illegal logging tidak bisa diatasi? Akankah kali ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono benar-benar tidak akan kompromi dengan masalah penebangan liar di daerah konflik, seperti Papua dan Aceh dan bukan sekadar sebagai lip service?
Pertanyaan tersebut terus mengemuka karena sebagian besar masyarakat saat ini cenderung apatis, apriori, skeptis, dan masa bodoh karena penebangan liar terus meluas dan terkesan tidak tersentuh aparat. Pembabat hutan di daerah konflik yang semakin merajalela, pengawasan masyarakat dan aparat sangat terbatas sehingga diperkirakan areal hutan di daerah konflik akan tinggal statusnya tidak ada buktinya.
Berdasarkan pemantauan lapangan, ada indikasi bahwa saat ini intensitas, frekuensi, dan luas wilayah illegal logging terkesan "menurun" akibat operasi yang digelar Pemerintah. Sayangnya, penurunan ini menurut Yin et al (2003) dalam teorinya tentang: A Flexible Sigmoid Function of Determinate Growth, sifatnya hanya sementara menuju fase natural diminishing logging rate sebagai bagian strategi tiarap penjarah hutan sampai operasi penebangan liar mendingin.
Setelah Pemerintah kehabisan bekal, energi, amunisi, dan tekanan publik menurun, pelaku akan keluar dari periode dormancy-nya beralih memasuki periode pertumbuhan yang dipercepat (accelerate logging growth rate) sehingga pembabatan hutan menjadi lebih dahsyat. Penyebabnya karena Pemerintah tidak menyelesaikan akar masalah penebangan liar secara fundamental, tetapi lebih pada penyelesaian ad hock seperti pemadam kebakaran.
Akar masalah
Akar masalah illegal logging menurut Smith et al (2003) terjadi karena korupsi sistemis yang kolutif, baik secara horizontal maupun vertikal sehingga menyebar (widespread), persisten, mengakar, menahun, dan sulit diberantas karena hampir semua lini menikmati dan memperoleh manfaat hasil jarahan.
Perdagangan global kayu ilegal menjadi "multimillion trade" sehingga banyak pihak mengais bisnis rezeki haram yang sebenarnya merupakan kejahatan kriminal terhadap hutan (forest crime). Pemerintahan yang fragmented pasca kejatuhan rezim Orde Baru memperburuk keadaan karena setiap elite politik dan penguasa ekonomi mencari sumber pendanaan untuk merebut kekuasaan yang lebih besar dan hutan menjadi salah satu sumber dana potensial rebutan elite politik dan ekonomi.
Mereka menggunakan pengaruh dan dananya untuk memanipulasi kebijakan dengan memanfaatkan kekacauan Pemerintahan (chaotic government situation) untuk mengambil untung (profit taking) sebesar besarnya.
Pengusaha hutan yang oportunis merasa diuntungkan dalam jangka pendek dengan murahnya biaya produksi dan proses administrasinya sederhana sehingga secara bisnis menjadi sangat menguntungkan meskipun dalam jangka panjang menghancurkan recovery hutan alam, keragaman hayati (biodiversity distruction), dan keberlanjutan usaha perkayuan itu sendiri. Dampak sosial yang sangat mengerikan dan sering kali muncul akibat illegal logging adalah intimidasi dan kekerasan (intimidation and violence) terhadap masyarakat lokal oleh oknum aparat.
Secara spesifik, korupsi yang kolutif akan mendistruksi hutan secara sistemis karena corruption or abuse of public office for private gain exacerbates illegal logging by allowing it to occur in the first place and letting it to go unchecked and unpunished.
Artinya, korupsi "mengizinkan illegal logging" terjadi di suatu tempat dan membiarkan meluas tanpa kontrol dan hukuman. Bank Dunia menyatakan, Pemerintahan yang membiarkan illegal logging akan terkorosi, rapuh, dan hancur akibat kerusakan hutan meluas dan kronis.
Fakta empiris korosinya antara lain: terjadinya banjir dan kekeringan di mana-mana, kapan saja dengan kerugian yang sangat besar, bahkan ada yang mengatakan malaikat pun tidak akan mampu mengatasinya.
Penebangan Liar
Ada dua skenario besar yang harus dilakukan dalam menggempur para pelaku penebangan liar: (1) pemantauan alih fungsi hutan secara on line (2) pengembangan konsep reduced rate and impact logging.
Pemantauan on line sangat diperlukan agar masyarakat dapat memantau sepak terjang pembabat hutan sehingga ada tekanan publik terhadap aparat karena kerja dan kinerjanya diawasi masyarakat. Sementara itu masyarakat dan LSM dapat memanfaatkan informasi on line untuk memantau penebangan liar di lapangan sekaligus menekan pengambil kebijakan dan aparat hukum untuk menghentikan pembabatan hutan yang ilegal.
Berkaitan dengan upaya menekan laju dan dampak penebangan liar (reduced rate and impact logging) ada empat hal yang perlu dilakukan Pemerintah bersama masyarakat: (1) penguatan NGO’S dan media, (2) penciptaan sumber pendapatan baru dan peningkatan nilai tambah dengan memperpanjang rantai proses untuk komoditas kayu dan nonkayu (creating non timber income for local community) (3) mendorong desentralisasi dan reformasi pemilikan lahan untuk meningkatkan insentif masyarakat setempat (4) mengembangkan program pemulihan hutan melalui pemberdayaan publik.
Pemberdayaan publik dalam akses, kontrol, dan partisipasi dalam pengelolaan hutan merupakan strategi dan pendekatan yang perlu diintensifkan dalam mengatasi penebangan liar akibat korupsi yang kolutif. Selain murah dan mudah, pengawasan masyarakat akan menjadikan hutan sebagai bagian hidup dan kehidupan masyarakat.
Pendekatan pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal dapat dijadikan teladan untuk pengembangan reduced impact logging. Sayangnya, upaya yang dilakukan Pemerintah lebih bersifat parsial dan pemadam kebakaran sehingga para perambah hutan sangat mudah membaca untuk menghindari aparat tanpa khawatir tertangkap karena semua level sudah dikuasai.
Secara faktual, penebangan liar pasti diketahui masyarakat luas dan oknum petugas keamanan., karena pola (pattern), struktur (structure), dan lintasan (trajectory) relatif sama. Kalau ada argumen Pemerintah setempat atau petugas keamanan tidak mengetahui, rasanya sangat sulit untuk dipahami.
Mengapa demikian, karena berdasarkan pemantauan beberapa lembaga swadaya masyarakat, umumnya marak dan meluasnya penebangan liar biasanya berkolusi dengan oknum petugas sehingga masyarakat tidak berdaya, itu yang perlu dikaji lebih jauh.
Perambahan hutan semakin menyedihkan terutama di daerah konflik karena wilayah seperti Aceh dan Papua, jenis, kualitas dan potensi kayunya masih tinggi, sementara kontrol aparat Pemerintah dan masyarakat sangat terbatas.
Hasil penelitian kerja sama Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi dan Pusat Data Inderaja LAPAN dalam pemantauan tutupan lahan dengan citra Satelit Landsat di daerah konflik yang sulit dijangkau tahun 2003 menunjukkan bahwa di DAS Singkil, DAS Krueng Aceh, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terkenal dengan kayu singkil, potensi produksi hutannya merosot drastis.
Ditinjau luas wilayah hutannya, secara kuantitas penurunan luas hutan relatif sangat rendah selama lima tahun terakhir. Namun, apabila dikaji secara kualitas dengan parameter indeks vegetasi (normal difference vegetation index) dan indeks kebasahan lahan (wetness index), kondisinya berubah sangat drastis baik nilainya maupun sebarannya.
Dampaknya, meskipun jenis tutupan lahannya relatif tetap, tetapi karena kerapatannya menurun, terjadi penurunan kemampuan lahan memegang air (water holding capacity) secara signifikan baik secara spasial dan temporal.
Apalagi daerah aliran sungai yang di dalamnya terdapat kota besar seperti Krueng Aceh, dengan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi pesat, penjarahan hutan akan terus terjadi, sekalipun areal tersebut merupakan wilayah konflik (Gambar 1). Terlihat bahwa areal hutan ditunjukkan oleh warna hijau pada citra satelit, sementara lahan yang kualitas penutupnya jarang berwarna kuning (vegetasinya jarang), sedangkan lahan yang tidak bervegetasi berwarna merah.
Adanya konflik seperti di Aceh dan Papua justru dimanfaatkan untuk membabat hutan semaksimal mungkin bagi kepentingan kelompok yang sifatnya sesaat. Meningkatnya luas dan besaran (magnitude) banjir dan kekeringan serta dahsyatnya dampak tsunami di Aceh adalah teladan konkret dampak penurunan kualitas tutupan lahan yang tidak terbantahkan.
Sayangnya, penurunan kualitas tutupan lahan yang tinggi ini tidak dieksplorasi pengambil kebijakan karena mereka berlindung dari luas tutupan lahan yang relatif tetap.
Danau Sentani di Papua, Danau Tempe dan Sidenreng di Sulawesi Selatan mengalami sedimentasi waduk akibat penebangan liar yang sudah tidak dapat dikontrol lagi. Memang, secara kuantitas, jenis penggunaan lahannya tetap, tetapi secara kualitas terjadi penurunan yang luar biasa.
Diperkirakan hampir semua badan air (water body) yang ada di Indonesia terancam mengalami pendangkalan. Pemerintah Provinsi/Kabupaten/ Kota umumnya kurang peduli karena tidak menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) dan justru sebaliknya.
Padahal, di negara maju seperti Perancis, Thailand, China, dan Australia, tubuh air selalu dilindungi hutan alam dan buatan yang bagus sehingga selain dapat menghasilkan air juga dapat digunakan untuk pariwisata, listrik, dan perikanan darat. Kapan Indonesia yang memiliki sumber daya alam yang luar biasa dapat melakukan hal serupa, mari kita tunggu jawabnya.

(Tulisan ini dimuat pada: Harian Umum Kompas – 21 April 2005)

Tidak ada komentar: