Bengawan Solo kembali mengamuk, membalas dendam lama
atas eksploitasi, destruksi, dan keserakahan manusia. Jembatan dan akses jalan
putus. Permukiman, sawah, jalan di hulu (Sragen, Madiun) dan hilir (Lamongan,
Tuban, Bojonegoro) terendam banjir. Rakyat miskin kedinginan, lapar, stres,
bahkan terkubur hidup-hidup ditimbun tanah longsor. Tanaman puso, penyakit
mewabah, menyebabkan mereka yang sudah tidak berpunya semakin merana.
Tragisnya lagi, periode ulangnya setahun. Artinya, setiap tahun pemukim di Bengawan Solo harus mempertaruhkan nasib dan bahkan nyawa mereka dari amukan banjir. Kejadian banjir ini juga menunjukkan bahwa belum ada upaya rehabilitasi Bengawan Solo yang signifikan, sehingga yang dulunya merupakan pusat kerajaan di Jawa (Surakarta) dan Majapahit (Trowulan) kini menjadi tidak aman. Ironisnya, pihak yang seharusnya bertanggung jawab melempar tanggung jawab atas kejadian banjir dengan menyatakan bahwa banjir menjadi tanggung jawab bersama. Mengapa banjir Bengawan Solo dan lainnya semakin mencemaskan dan dipandang harus secepatnya diselesaikan: (i) banjir bergerak dari hilir menuju ke hulu, (ii) adanya ledakan volume air, lumpur, dan sampah yang terangkut banjir.
Tragisnya lagi, periode ulangnya setahun. Artinya, setiap tahun pemukim di Bengawan Solo harus mempertaruhkan nasib dan bahkan nyawa mereka dari amukan banjir. Kejadian banjir ini juga menunjukkan bahwa belum ada upaya rehabilitasi Bengawan Solo yang signifikan, sehingga yang dulunya merupakan pusat kerajaan di Jawa (Surakarta) dan Majapahit (Trowulan) kini menjadi tidak aman. Ironisnya, pihak yang seharusnya bertanggung jawab melempar tanggung jawab atas kejadian banjir dengan menyatakan bahwa banjir menjadi tanggung jawab bersama. Mengapa banjir Bengawan Solo dan lainnya semakin mencemaskan dan dipandang harus secepatnya diselesaikan: (i) banjir bergerak dari hilir menuju ke hulu, (ii) adanya ledakan volume air, lumpur, dan sampah yang terangkut banjir.
Propagasi
Ekspedisi Bengawan Solo Tim Kompas menunjukkan bahwa
lokasi banjir bergerak dari hilir (Tuban, Mojokerto) ke hulu sungai Bengawan
Solo (Wonogiri dan Sragen), sehingga secara apriori tidak ada wilayah yang aman
dari banjir di daerah aliran Bengawan Solo. Kalau kondisi ini terjadi di
sebagian besar daerah aliran sungai di Indonesia, secara keseluruhan wilayah
Indonesia merupakan ring of flood yang siap menerkam siapa saja, kapan saja,
sebagai korbannya. Melemahnya tanggung jawab sektoral dan lintas sektoral serta
masyarakat yang semakin apatis, apriori, dan selalu membebankan banjir kepada Pemerintah
merupakan penyebabnya. Banjir lebih banyak dibicarakan, diseminarkan, dan
dipublikasikan di media cetak maupun elektronik saat kejadian, diselesaikan
masalah tanggap darurat dan pascabanjirnya, tetapi tidak secara serius dan
signifikan ditangani masalah fundamentalnya. Hancurnya tutupan lahan
bervegetasi hutan berganti hutan jagung dan beton, perubahan iklim dengan musim
hujan cenderung semakin pendek dan intensitasnya semakin meningkat, menyebabkan
daya serap tanah terhadap air hujan sangat rendah, volume dan kecepatan runoff
meningkat tajam, menggerus tanah, sehingga lumpur dan tanah longsor terjadi di
mana-mana.
Meningkatnya volume air, lumpur, dan sampah di setiap
kejadian banjir merupakan fenomena baru yang mencemaskan. Pada 1980-an, banjir
terjadi akibat volume air yang melebihi kapasitas tampung sungai, periode
ulangnya 10 tahunan, bahkan 50 tahun, waktu menuju debit puncaknya lama,
sehingga ada waktu untuk evakuasi korbannya. Akhir 1980 sampai akhir 1990-an,
banjir tidak hanya akibat volume airnya yang tinggi, tetapi diikuti lumpur yang
semakin tinggi. Dampaknya, luapan air dan daya rusak banjir makin dahsyat
karena badan sungai terisi lumpur. "Proyek banjir dan banjir proyek"
menjadi modus berikutnya pascabanjir dengan menjual penderitaan masyarakat
akibat banjir.
Banjir berikutnya semakin dahsyat ketika Departemen
Teknis sebagai leading sector tidak mengambil tanggung jawab, tidak berdaya,
dan mengalihkan persoalan dengan menuding sektor pertanian sebagai penyumbang
utama lumpur akibat sistem budidaya tanaman pangan di daerah hulu tanpa
tindakan konservasi yang memadai. Departemen Kehutanan menjadi sasaran tembak
berikutnya, karena penghijauan dituding tidak berhasil. Kita lupa bahwa laju
destruksi lingkungan terbesar terjadi melalui pemberian izin mendirikan
bangunan yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Meningkatnya besaran volume
air dan lumpur ternyata diikuti volume sampah terangkut yang semakin tinggi
sehingga kapasitas tampung sungai cepat terlampaui. Perilaku sebagian besar
manusia yang memposisikan Bengawan Solo sebagai septic tank yang mudah dan murah menyebabkan semua jenis sampah ada
dalam banjir, mulai sampah organik sampai anorganik (besi, kaca, plastik).
Menggunungnya sampah yang terangkut di dalam sungai menyebabkan air sungai
langsung meluap--sekalipun hujan turun tidak terlalu besar dan durasinya
singkat.
Akumulasi banjir dengan volume air, lumpur, dan sampah
yang sangat tinggi akan mempunyai daya dobrak luar biasa terhadap tanggul
penahanan banjir Bengawan Solo. Apabila di suatu tempat lumpur dan sampah
membentuk reservoir artifisial, jika jebol dapat menyebabkan banjir bandang
yang dahsyat (flash flood). Estimasi
di lapangan, peningkatan volume air, lumpur, dan sampah dalam aliran banjir
berturut-turut dapat mencapai 30 persen, 15 persen, dan 10 persen menyebabkan
risiko banjir meningkat secara progresif minimal 55 persen. Apa yang mendesak
dilakukan agar banjir tidak menghancurkan peradaban manusia seperti yang
terjadi pada masa kerajaan Indonesia di masa silam?
Tiga Pilar Utama
Pemerintah bersama masyarakat harus melakukan perubahan
kebijakan, strategi, dan upaya penanggulangan banjir dengan terjadinya
akumulasi peningkatan volume air, lumpur, dan sampah yang terus meningkat. Ada
tiga pilar yang harus dibangun dalam penanggulangan banjir. Pilar pertama,
menurunkan volume aliran permukaan dan mendayagunakannya untuk meningkatkan
pendapatan masyarakat secepatnya. Upaya ini harus dilakukan di lapangan sebelum
berbicara masalah lumpur dan sampah. Indonesia harus mampu memasukkan kembali (recharging) aliran permukaan sampai 80
persen dari total aliran permukaan, agar cadangan air tanah terisi kembali dan
volume banjir dapat direduksi secara nyata. Agar aliran permukaan dan lumpur
dapat berkurang secara signifikan, tindakan menahan runoff dengan tanaman hidup
(vegetatif) yang produktif, seperti tanaman tahunan buah-buahan, dan
mengembangkan perangkap lumpur (sediment
trap) untuk menyuburkan tanah di hulu, tengah, dan hilir, harus dilakukan
secepatnya. Pilar kedua yang harus dilakukan adalah penurunan laju sedimentasi
secara vegetatif. Redefinisi atas hutan sebagai tanaman tahunan produktif
dan/atau berbuah, yang ditopang sediment
trap yang memadai, perlu diintroduksi agar penanggulangan banjir dan
peningkatan pendapatan masyarakat dapat diimplementasikan secara simultan.
Sumber sampah yang semakin meningkat jenis dan jumlahnya
ditambah bahan beracun berbahaya semakin mempercepat kehancuran ekosistem
Bengawan Solo, sehingga dipastikan peradaban dan masa depan manusia semakin
tidak menentu, apabila tidak ada perombakan total dalam penanggulangan banjir.
Untuk itu, pilar ketiga yang harus dibangun adalah mengubah sampah sebagai
bahan pencemar menjadi bahan penghasil uang. Perubahan yang paling mendasar
dapat dilakukan melalui pemisahan jenis sampah dan menyediakan daur ulangnya
pada skala rumah tangga atau unit kelompok terkecil masyarakat. Selain akan
mempermudah penanganannya, tidak memerlukan areal tempat pembuangan akhir
sampah yang luas, mahal, dan sulit mencari lokasinya, sampah dapat memberikan
nilai tambah ekonomi masyarakat secara langsung. Saatnya kita berbuat, kalau
kita tidak menginginkan bencana banjir dengan volume air, lumpur, dan sampah
yang semakin dahsyat. Tidak ada pilihan bagi kita semua selain bertindak. Lebih
baik terlambat daripada tidak.
(di muat di Harian Umum Tempo, 13 Februari 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar