Jumat, 08 Agustus 2014

BANJIR DAN GENANGAN EKSEPSIONAL

Banjir dan genangan yang terjadi di sebagian wilayah Aceh, Sumatra Utara dan Riau dipastikan bukan merupakan banjir dan genangan biasa, tetapi merupakan kejadian yang luar biasa.
       Pantauan satelit menunjukkan bahwa banjir terjadi akibat tingginya curah hujan yang terakumulasi dan tidak dapat drainase sehingga menyebabkan terjadinya genangan. Paling tidak ada empat argumen mengapa banjir dan genangan kali ini dikatakan luar biasa, yaitu waktunya, besarannya, lokasinya, dan kerugiannya.
       Banjir dan genangan yang terjadi pada saat sebagian besar wilayah Indonesia masih 'musim kemarau' akibat mundurnya awal musim hujan 2006/2007 dengan curah hujan di bawah normal, dapat dikategorikan banjir di luar musim. Fakta ini didukung data bahwa awal musim hujan di sebagian besar wilayah Indonesia mundur satu sampai dua bulan.
       Berkaitan dengan karakteristik banjir dan genangan, maka besaran banjir kali ini mengalami peningkatan besaran yang luar biasa dalam hal debit puncak dan waktu menuju debit puncak dan durasi banjir serta luas daerah genangan.
       Kombinasi ketiga hal di atas menyebabkan risiko banjir menjadi semakin meningkat, jenis dan jumlah korban semakin besar dan meluas. Menyedihkan lagi, banjir dan genangan yang terjadi di Aceh, Sumut dan Riau kali ini tidak hanya di wilayah yang secara tradisional konvensional merupakan endemik banjir, tetapi juga pada wilayah yang secara historis tidak pernah mengalami banjir.
       Penilaian besarnya kerugian akibat banjir dan genangan kali ini juga harus dibedakan dengan kejadian sebelumnya, karena selain menimbulkan kerugian ekonomi langsung, banjir kali ini juga menyebabkan sosial trauma dan political inconfident bagi Pemerintah.
       Terputusnya hubungan darat antara Medan dan Banda Aceh merupakan fakta konkret betapa ancaman banjir sudah sangat mencemaskan. Kejadian serupa dapat terjadi di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi bahkan Papua sekalipun, dan kalau itu terjadi, maka itu merupakan malapetaka bagi Indonesia.

Penanggulangan
       Berdasarkan hasil pemantauan lapangan di beberapa wilayah banjir di ketiga provinsi tersebut, paling tidak ada dua persoalan fundamental yang mendesak untuk dilakukan assesment yaitu penyebab dan penanggulangannya. Pemerintah perlu membentuk tim independen untuk menilai faktor dominan penyebab terjadinya banjir secara kuantitatif.
       Perubahan besaran, karakteristik banjir yang demikian dramatis mengilustrasikan adanya perubahan fundamental dalam tata kelola lingkungan nasional, regional dan lokal pada dekade terakhir ini. Berdasarkan data dan informasi penyebab banjir dan kekeringan, maka dapat dilakukan evaluasi kinerja sektoral secara fair dan transparan.
       Model evaluasi ini penting karena berdasarkan pengalaman, adanya banjir justru dijadikan entry point untuk mengusulkan proyek penanggulangan yang terbukti tidak efektif dan tidak berkelanjutan. Semakin besar kerugian yang ditimbulkan, maka semakin besar peluang proyek tersebut dapat diusulkan.
       Diperlukan cara, metode, pendekatan dan semangat baru dalam penanggulangan banjir dan genangan yang terjadi saat ini. Argumennya, cara konvensional yang selama ini dilakukan terbukti tidak mampu menyelesaikan masalah secara fundamental, bahkan sebaliknya banjir dan genangan semakin besar dan tidak terkendali.
       Kepercayaan rakyat terhadap Pemerintah dapat merosot secara tajam apabila masalah banjir dan genangan tidak terselesaikan. Diperlukan perubahan fundamental dalam hal kebijakan, jenis dan besaran program serta model pelaksanaannya. Model partisipatif dari, oleh dan untuk masyarakat merupakan pilihan yang menjanjikan dalam penanggulangan banjir dan genangan.
       Reduksi secara maksimal peran Pemerintah sebagai eksekutor program adalah implementasi konkretnya. Argumennya, masyarakat sebagai korban lebih paham apa yang harus diperbuat, termasuk pembiayaannya dibandingkan Pemerintah.
       Berdasarkan pengalaman padat karya Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air Departemen Pertanian, model partisipatif dapat meningkatkan nilai tambah fisik, sosial dan ekonomi naik lebih dari 15% dibandingkan apabila dilakukan secara kontraktual.

Model Padat Karya
       Model padat karya selain membuka peluang setara bagi masyarakat dalam memperoleh akses kesempatan kerja, juga meningkatkan rasa memiliki dan rasa tanggung jawab dalam penanggulangan banjir. Perubahan rasa memiliki dan tanggung jawab akan memupuk modal sosial masyarakat, sehingga penanggulangan banjir menjadi bagian integral kegiatan masyarakat dan bukan menjadi tanggung jawab Pemerintah semata seperti yang terjadi selama ini.
       Perubahan pendekatan dari program besar ke program berbasis kearifan lokal dengan pola padat karya ini memerlukan kebesaran hati semua pihak yang selama ini menikmati kue secara oligopolistis. Tanpa perubahan mendasar dalam penanggulangan banjir dan kekeringan, maka belanja Pemerintah akan tersedot untuk penanganan bencana.
       Posisi Pemerintah akan menjadi sangat sulit apabila pembiayaan pembangunan habis terkuras pada rehabilitasi dan rekonstruksi. Dalam rangka mereduksi terjadinya bias antara perencanaan dan pelaksanaan program penanggulangan banjir, sudah saatnya Pemerintah memisahkan secara tegas institusinya.
       Dengan demikian tanggung jawab dan tugas sektoral dapat dibagi secara jelas, termasuk apabila terjadi bencana banjir seperti sekarang ini. Pendekatan tanggung jawab sektoral dalam wadah lintas sektor ini berhasil diterapkan dengan baik di Prancis Tenggara. Saat terjadi banjir bandang (flash flood) di wilayah Pyrenee yang menelan korban jiwa dan harta, maka pejabat publik yang terkait dengan terjadinya banjir dievaluasi secara transparan dan yang terbukti melakukan kesalahan diajukan ke pengadilan.
       Pendekatan ini menjadikan pengambil kebijakan sangat cermat dan berhati-hati dalam memberikan perizinan termasuk dalam hal alih fungsi untuk permukiman atau bangunan berpenutup permanen lainnya. Kondisinya sangat kontras jika dibandingkan dengan Indonesia, karena di tempat yang secara kasat mata terlarang untuk permukiman sekalipun dapat dialih fungsikan sebagai tempat permukiman.

       Ironisnya, pelaku pelanggarannya sebagian besar adalah orang yang semestinya menjadi teladan dalam mengelola lingkungan. Menyedihkan memang, tetapi itulah faktanya.

(Tulisan ini dimuat pada: Harian Umum Bisnis Indonesia – 10 Januari 2007)

Tidak ada komentar: