Banjir dan genangan yang terjadi di
sebagian wilayah Aceh, Sumatra Utara dan Riau dipastikan bukan merupakan banjir
dan genangan biasa, tetapi merupakan kejadian yang luar biasa.
Pantauan satelit menunjukkan bahwa banjir
terjadi akibat tingginya curah hujan yang terakumulasi dan tidak dapat drainase
sehingga menyebabkan terjadinya genangan. Paling tidak ada empat argumen
mengapa banjir dan genangan kali ini dikatakan luar biasa, yaitu waktunya,
besarannya, lokasinya, dan kerugiannya.
Banjir dan genangan yang terjadi pada
saat sebagian besar wilayah Indonesia masih 'musim kemarau' akibat mundurnya
awal musim hujan 2006/2007 dengan curah hujan di bawah normal, dapat
dikategorikan banjir di luar musim. Fakta ini didukung data bahwa awal musim
hujan di sebagian besar wilayah Indonesia mundur satu sampai dua bulan.
Berkaitan dengan karakteristik banjir dan
genangan, maka besaran banjir kali ini mengalami peningkatan besaran yang luar
biasa dalam hal debit puncak dan waktu menuju debit puncak dan durasi banjir
serta luas daerah genangan.
Kombinasi ketiga hal di atas menyebabkan
risiko banjir menjadi semakin meningkat, jenis dan jumlah korban semakin besar
dan meluas. Menyedihkan lagi, banjir dan genangan yang terjadi di Aceh, Sumut
dan Riau kali ini tidak hanya di wilayah yang secara tradisional konvensional
merupakan endemik banjir, tetapi juga pada wilayah yang secara historis tidak
pernah mengalami banjir.
Penilaian besarnya kerugian akibat banjir
dan genangan kali ini juga harus dibedakan dengan kejadian sebelumnya, karena
selain menimbulkan kerugian ekonomi langsung, banjir kali ini juga menyebabkan
sosial trauma dan political inconfident bagi
Pemerintah.
Terputusnya hubungan darat antara Medan
dan Banda Aceh merupakan fakta konkret betapa ancaman banjir sudah sangat
mencemaskan. Kejadian serupa dapat terjadi di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi
bahkan Papua sekalipun, dan kalau itu terjadi, maka itu merupakan malapetaka
bagi Indonesia.
Penanggulangan
Berdasarkan hasil pemantauan lapangan di
beberapa wilayah banjir di ketiga provinsi tersebut, paling tidak ada dua
persoalan fundamental yang mendesak untuk dilakukan assesment yaitu penyebab dan penanggulangannya. Pemerintah perlu
membentuk tim independen untuk menilai faktor dominan penyebab terjadinya
banjir secara kuantitatif.
Perubahan besaran, karakteristik banjir
yang demikian dramatis mengilustrasikan adanya perubahan fundamental dalam tata
kelola lingkungan nasional, regional dan lokal pada dekade terakhir ini.
Berdasarkan data dan informasi penyebab banjir dan kekeringan, maka dapat
dilakukan evaluasi kinerja sektoral secara fair dan transparan.
Model evaluasi ini penting karena
berdasarkan pengalaman, adanya banjir justru dijadikan entry point untuk mengusulkan proyek penanggulangan yang terbukti
tidak efektif dan tidak berkelanjutan. Semakin besar kerugian yang ditimbulkan,
maka semakin besar peluang proyek tersebut dapat diusulkan.
Diperlukan cara, metode, pendekatan dan
semangat baru dalam penanggulangan banjir dan genangan yang terjadi saat ini.
Argumennya, cara konvensional yang selama ini dilakukan terbukti tidak mampu
menyelesaikan masalah secara fundamental, bahkan sebaliknya banjir dan genangan
semakin besar dan tidak terkendali.
Kepercayaan rakyat terhadap Pemerintah
dapat merosot secara tajam apabila masalah banjir dan genangan tidak
terselesaikan. Diperlukan perubahan fundamental dalam hal kebijakan, jenis dan
besaran program serta model pelaksanaannya. Model partisipatif dari, oleh dan
untuk masyarakat merupakan pilihan yang menjanjikan dalam penanggulangan banjir
dan genangan.
Reduksi secara maksimal peran Pemerintah
sebagai eksekutor program adalah implementasi konkretnya. Argumennya,
masyarakat sebagai korban lebih paham apa yang harus diperbuat, termasuk
pembiayaannya dibandingkan Pemerintah.
Berdasarkan pengalaman padat karya
Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air Departemen Pertanian, model
partisipatif dapat meningkatkan nilai tambah fisik, sosial dan ekonomi naik
lebih dari 15% dibandingkan apabila dilakukan secara kontraktual.
Model Padat Karya
Model padat karya selain membuka peluang
setara bagi masyarakat dalam memperoleh akses kesempatan kerja, juga
meningkatkan rasa memiliki dan rasa tanggung jawab dalam penanggulangan banjir.
Perubahan rasa memiliki dan tanggung jawab akan memupuk modal sosial
masyarakat, sehingga penanggulangan banjir menjadi bagian integral kegiatan
masyarakat dan bukan menjadi tanggung jawab Pemerintah semata seperti yang
terjadi selama ini.
Perubahan pendekatan dari program besar
ke program berbasis kearifan lokal dengan pola padat karya ini memerlukan
kebesaran hati semua pihak yang selama ini menikmati kue secara oligopolistis.
Tanpa perubahan mendasar dalam penanggulangan banjir dan kekeringan, maka
belanja Pemerintah akan tersedot untuk penanganan bencana.
Posisi Pemerintah akan menjadi sangat
sulit apabila pembiayaan pembangunan habis terkuras pada rehabilitasi dan
rekonstruksi. Dalam rangka mereduksi terjadinya bias antara perencanaan dan
pelaksanaan program penanggulangan banjir, sudah saatnya Pemerintah memisahkan
secara tegas institusinya.
Dengan demikian tanggung jawab dan tugas
sektoral dapat dibagi secara jelas, termasuk apabila terjadi bencana banjir
seperti sekarang ini. Pendekatan tanggung jawab sektoral dalam wadah lintas
sektor ini berhasil diterapkan dengan baik di Prancis Tenggara. Saat terjadi
banjir bandang (flash flood) di
wilayah Pyrenee yang menelan korban jiwa dan harta, maka pejabat publik yang
terkait dengan terjadinya banjir dievaluasi secara transparan dan yang terbukti
melakukan kesalahan diajukan ke pengadilan.
Pendekatan ini menjadikan pengambil
kebijakan sangat cermat dan berhati-hati dalam memberikan perizinan termasuk
dalam hal alih fungsi untuk permukiman atau bangunan berpenutup permanen
lainnya. Kondisinya sangat kontras jika dibandingkan dengan Indonesia, karena
di tempat yang secara kasat mata terlarang untuk permukiman sekalipun dapat
dialih fungsikan sebagai tempat permukiman.
Ironisnya, pelaku pelanggarannya sebagian
besar adalah orang yang semestinya menjadi teladan dalam mengelola lingkungan.
Menyedihkan memang, tetapi itulah faktanya.
(Tulisan ini dimuat pada: Harian Umum Bisnis Indonesia – 10 Januari 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar