Hikmah apa yang berada di balik kontroversi dan polemik Super
Toy HL-2?
Paling tidak ada dua manfaat yang bisa
dipetik. Pertama, masyarakat dididik bagaimana menghasilkan varietas unggul
dengan risiko finansial dan sosial yang harus ditanggung inventor. Kedua,
kearifan lokal masyarakat Indonesia dalam merakit varietas baru dengan bahan
induk (tetua) yang amat menakjubkan.
Masyarakat bisa mengetahui betapa panjang
dan lama sebuah varietas padi unggul dihasilkan, termasuk biaya, tenaga, dan
waktu. Sebagai gambaran, satu varietas baru dihasilkan dari screening
terstruktur 40-50 galur (calon varietas) sehingga seorang pemulia padi (perakit
varietas baru) harus menyiapkan kombinasi persilangan yang banyak untuk diuji
di lapangan. Diperlukan koleksi plasma nutfah (bank gen) yang memadai agar
pemulia padi dapat mengintegrasikan sifat-sifat unggul untuk mengatasi berbagai
masalah budidaya.
Ketahanan terhadap cekaman lingkungan
(kekeringan, kebanjiran), daya hasil yang tinggi, umur pendek, tahan hama dan
penyakit utama (penggerek batang, wereng batang coklat), rasa pulen, kandungan
vitamin tinggi, dan banyak lagi.
Menariknya, Super Toy HL-2 dihasilkan
oleh seorang petani lulusan STM, padahal tugas itu biasanya dilakukan oleh
pemulia (breeder) dengan pendidikan
S-2 bahkan S-3.
Lokal Genius Varietas Unggul
Penggunaan tetua tanaman padi lokal oleh
Tauyung Supriyadi dalam pengembangan Super Toy HL-2 dimaksudkan agar kearifan
lokal (local wisdom) yang ada pada
varietas unggul lokal, seperti Rojolele, Pandan Wangi, dan varietas lain dapat
diintegrasikan untuk menghasilkan galur unggul baru (calon varietas).
Harapannya, integrasi beberapa kearifan lokal dapat menghasilkan genius lokal
(local genius) sehingga spektrum adaptasi agroekosistemnya lebih luas.
Galur hasil silangan varietas Rojolele,
Pandan Wangi, dan silangan lain kemudian diuji daya adaptasi dan daya hasilnya
di lapangan sampai sifat unggul yang dihasilkan stabil kinerjanya. Berdasarkan
pengalaman, diperlukan 4-6 tahun sebuah galur untuk mencapai stabilitas
produktivitas dan daya adaptasinya. Untuk padi irigasi harus diuji di 12 lokasi
berbeda agroekosistem.
Setelah stabil, lalu dilakukan uji
multilokasi minimal di dua musim: musim hujan dan kemarau. Setelah mantap,
pemulia bisa mengusulkan calon varietas dengan deskripsi tanamannya kepada
Badan Benih Nasional (BBN) untuk dilepas.
Deskripsi, antara lain, memuat sifat
unggul calon varietas baru, misalnya produktivitas, ketahanan terhadap hama dan
penyakit, rasa, kandungan vitamin, ciri-ciri morfologi.
Selanjutnya BBN meminta Tim Pelepasan
Varietas untuk menilai dokumen yang diusulkan pemilik calon varietas. Jika
memenuhi syarat, seperti ditetapkan dalam pelepasan varietas, Kepala BBN
membuat rekomendasi kepada Menteri Pertanian untuk dapat melepas varietas itu
kepada masyarakat. Prosedur ini untuk melindungi petani dari pemalsuan sehingga
benih yang ditanam benar-benar sesuai deskripsinya.
Pemuliaan Partisipatif
Kemampuan masyarakat dalam menghasilkan
varietas unggul baru harus diapresiasi karena merupakan kekayaan intelektual
tidak ternilai. Kearifan lokal dan local genius ini merupakan benteng
pertahanan kemandirian produksi benih dan pangan yang kini sedang digempur oleh
perusahaan multinasional (MNC).
Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Departemen Pertanian telah dan terus mendorong kearifan lokal dan
genius lokal dalam program pemuliaan partisipatif (participatory breeding) baik untuk komoditas tanaman pangan,
hortikultura, sayuran, buah-buahan, peternakan, dan perkebunan.
Selain dapat meningkatkan produktivitas
tanaman dan ternak secara nasional, hal itu juga dapat meningkatkan mutu
genetik komoditas pertanian. Melalui program pemuliaan partisipatif dengan
melibatkan petani secara in situ, Indonesia secara build in melakukan natural
protection atas serbuan benih dan bibit impor MNC, bahkan belakangan kian
mencemaskan dominasinya.
Peningkatan ketergantungan atas benih
produksi MNC akan memosisikan membawa Indonesia kian terjebak masalah pangan.
Mengingat bidang garapan pemuliaan partisipatif amat luas, diperlukan sumber
daya manusia, dana, dan waktu besar. Kita memerlukan banyak Tauyung agar sumber
daya genetika nasional bisa dieksplorasi maksimal guna mencapai swasembada
pangan bahkan ekspor pangan.
Satu hal yang belum dapat dilakukan Pemerintah
hingga kini adalah pemberian penghargaan terhadap pemulia. Ketimpangan ini
pernah dikemukakan seorang profesor yang kebetulan pemulia dengan membandingkan
penghargaan yang diterima atlet olahraga dengan gemerlap hadiah seusai tampil
sebagai juara.
Sementara itu, seorang pemulia berjuang
7-8 tahun dan belum tentu menghasilkan varietas unggul baru. Kalaupun berhasil,
begitu varietas unggul dilepas, peneliti tidak mendapat penghargaan selayaknya.
Inilah gambaran nasib pemulia yang kurang beruntung di negeri agraris yang
banyak menggunakan jasanya.
(di muat di Harian Umum Kompas – 15 September
2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar