Mengapa masalah kekeringan tetap menjadi fenomena
periodik (periodical phenomena)
dengan magnitude semakin besar seolah
tanpa penyelesaian?
Apa yang sebenarnya terjadi? Benarkah kekeringan justru
dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu dalam mendulang proyek?
Analisis sistem dari fenomena periodik kekeringan di
lokasi yang persis sama, yaitu Indramayu, menunjukkan bahwa penyelesaian
masalah kekeringan selama ini dilakukan secara business as usual. Tidak menyentuh persoalan fundamentalnya. Diperlukan
analisis lapangan yang mendalam tentang hubungan sebab-akibat kekeringan di
wilayah endemik kekeringan sebagai dasar penyusunan strategi adaptasi
kekeringan, agar agriculturerisk dapat diminimalkan. Bahkan sebaliknya,
produktivitas dan pendapatan petani dapat ditingkatkan.
Pemantauan langsung di sentra endemik kekeringan
Kabupaten Indramayu yang merupakan bagian paling ujung timur daerah oncoran
Perum Jasa Tirta (PJT) II, menunjukkan bahwa transek Kecamatan Anjatan (daerah
hulu), Bongas dan Gabus (daerah tengah), Kandang Haur (daerah hilir), merupakan
wilayah yang memiliki intensitas konflik air paling tinggi dengan risiko kekeringan
paling besar dan berat. Kandang Haur merupakan kecamatan dengan jangkauan
paling jauh, luas kekeringan paling besar, dengan kekeringan paling berat.
Tak Terkontrol
Tak terkontrol/Illegal
pumping yang tidak terkontrol di daerah hulu Anjatan saat giliran air jatuh
ke daerah tengah Bongas, Gabus, dan daerah hilir Kandang Haur, merupakan
penyebab utama terjadinya kekeringan. Debit air 18 meter kubik per detik yang
dipasok PJT II, secara teoretis mencukupi untuk mengairi tanaman padi 20 ribu
hektare dengan asumsi kebutuhan airnya 0,7 liter per detik. Tapi faktanya,
pasokan air menurun drastic saat giliran daerah tengah dan hilir akibat illegal
pumping, sehingga tidak mampu mengairi seluruh areal pertanaman.
Dengan kondisi tanah sawah kering dan dasar sungai yang
retak tidak berair, maka kebutuhan air irigasi lebih banyak. Karena harus
menjenuhi tanah yang dilaluinya, sehingga waktu tempuh air ke petakan lebih
lama.
Pola giliran air yang tidak proporsional yaitu tiga hari
daerah hulu, tiga hari daerah tengah, serta empat hari di daerah hilir, praktis
membuat Kandang Haur mendapatkan waktu oncoran kurang tiga hari, karena diperlukan
waktu lebih satu hari untuk mengalirkan air sampai ke hilir.
Illegal pumping
lebih jauh akan mendisorganisasi pola dan waktu tanam serta penggolangan air
yang telah disepakati dalam bentuk surat keputusan gubernur. Ego dan
keserakahan oknum petani di bagian hulu akan merugikan sawah di hilir yang
secara agregat luasnya jauh lebih besar dibanding areal panen yang dihasilkan
dari illegal pumping.
Mundur
Mundurnya waktu tanam akibat terjadinya tiga periode
banjir bandang berurutan sampai Februari 2006, merupakan penyebab kekeringan
kedua.
Dampaknya, waktu panen musim hujan (rendengan) baru
terjadi pertengahan Juni 2006. Pergeseran waktu panen rendengan secara serentak
akan menyebabkan terjadinya akumulasi tanam musim kemarau (gadu) mundur sampai
akhir Juni, bahkan sampai dengan awal Juli. Petani menganggap panen gadu
merupakan target yang harus dicapai, karena produksinya tinggi, kualitas dan
harganya sangat bagus dengan biaya produksi rendah, dan intensitas serangan
hamanya relatif rendah.
Dampaknya, saat ini ditemukan sekitar 11.300 hektare
tanaman padi berumur tujuh hingga 40 hari di Kecamatan Kandang Haur, Gabus, dan
Bongas yang harus mendapatkan pengairan segera.
Sebenarnya kondisi kekeringan yang terjadi saat ini
masih relatively tolerable, karena
belum ada kerusakan berarti yang mengarah ke puso, kecuali pada beberapa areal
persemaian. Justru sebaliknya, kekeringan pada fase pertumbuhan vegetatif
sampai kondisi sebelum titik layu permanen (permanent
wilting point) kemudian mendapatkan irigasi (intermittent irrigation). Ini akan menghasilkan laju pertumbuhan
akar dan tanaman lebih baik dibandingkan digenangi terus menerus (permanent flooding).
Pengeringan akan menyebabkan terjadinya penguapan gas
beracun pengganggu pertumbuhan akar tanaman dan mikroba tanah yang selama ini
tertahan dalam tanah akibat penggenangan terus-menerus. Argumen ini didukung hasil
penelitian Jepang yang menunjukkan bahwa pengeringan sesaat yang diikuti
pemberian irigasi gilir-giring akan menjadikan komposisi air, tanah, dan udara
berada dalam proporsi idealnya dan menstimulasi hormone pertumbuhan akar,
sehingga serapan hara lebih efisien. Model pengelolaan air ini dapat menghemat
jutaan kubik air, sehingga layanan irigasi dapat diperluas ke Cirebon bahkan
Jawa Tengah seperti scenario awal Prof Bloominstein dalam pembangunan waduk
Juanda.
Pemberdayaan Kelompok
Pemantauan terakhir di lapangan menunjukkan bahwa pasokan
air dari PJTII sudah ditingkatkan menjadi 22 meter kubik per detik, sehingga
cukup untuk mengairi seluruh pertanaman yang ada. Saat ini yang diperlukan adalah
penentuan prioritas pemberiaan irigasi dan pemberdayaan kelompok.
Berkaitan dengan prioritas, semua pemangku kepentingan
sepakat bahwa pengamanan/standing crops
mendapatkan prioritas utama.
Untuk mereduksi secara signifikan illegal pumping, maka pemberdayaan kelompok perlu terus
diefektifkan agar kelompoklah yang mengatur anggotanya bila melakukan
pelanggaran pengambilan air yang bukan haknya.
Program pemberdayaan kelompok ini diinisiasi Direktorat
Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air Departemen Pertanian melalui program padat karya.
Di antaranya rehabilitasi jaringan irigasi desa (JID) dan jaringan irigasi
tingkat usaha tani (JITUT).
Tahun 2007, Departemen Pertanian akan mengidentifikasi
kelompok tani existing dan
memfasilitasi pembentukan kelompok tani 'baru' yang selama ini tercerai berai.
Diharapkan kelompok tani menjadi basis utama dalam pelaksanaan pembangunan
pertanian termasuk dalam pemberian bantuan, sehingga mereka menjadi tuan yang
berdaya di negeri sendiri.
(Tulisan ini dimuat pada: Harian Umum Republika, 13 Juli 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar