Hasil pemantauan lapangan
menunjukkan bahwa, sampai dengan pertengahan Desember ini, sebagian besar
wilayah Indonesia utamanya bagian timur belum turun hujan. Diprakirakan lebih
dari 50 persen wilayah Indonesia saat ini mengalami curah hujan di bawah
normal. Argumen ini didukung fakta bahwa lahan pertanian di sebagian besar
wilayah Indonesia yang biasanya pada bulan Desember sudah memasuki masa tanam,
saat ini masih ada yang mengalami kekeringan.
Paling tidak ada tiga
pertanyaan fundamental berkaitan kondisi curah hujan di bawah normal: apa curah
hujan di bawah normal itu sendiri, apa saja faktor determinannya, bagaimana
dampak yang ditimbulkan serta bagaimana adaptasinya? Menurut Badan Meteorologi
dan Geofisika (BMG), curah hujan di bawah normal didefinisikan sebagai curah hujan
tahunan atau bulanan yang depth-nya
kurang dari 85 persen dari rata-rata normalnya.
World
Meteorological Organization mendefinisi-kan rata-rata
normal adalah curah hujan rata-rata bulanan atau tahunan dari seri data 30
tahun. Berdasarkan ilustrasi, tersebut, maka curah hujan di bawah normal kali ini
memang bukan hal biasa, melainkan sesuatu yang luar biasa, karena dampaknya
bersifat multisektor, berjangka panjang dengan biaya, tenaga, dan waktu
recovery. Berkaitan dengan terjadinya curah hujan di bawah normal, maka
diperlukan sikap dan posisi tegas petani dan Pemerintah untuk mencari model
adaptasinya.
Paling tidak ada dua faktor
determinan penyebab terjadinya curah hujan di bawah normal: terjadinya El Nino
dengan intensitas sedang dan adanya dampak Indian
Ocean Dipole Mode. Interaksi kedua faktor tersebut menyebabkan Indonesia
miskin pasokan uap air. Lebih menyedihkan lagi, kondisi curah hujan di bawah
normal ini diprakirakan sampai akhir Desember 2006. Rendahnya curah hujan ini
berdampak langsung terhadap menurunnya pasokan air waduk, karena sebagian besar
waduk di Indonesia mengandalkan pasokan airnya dari curah hujan dan aliran
permukaan, bukan dari aliran dasar yang stabil pasokannya.
Masa Tanam Mundur
Dampak langsung curah hujan
di bawah normal bagi sektor pertanian adalah mundurnya masa tanam, meningkatnya
luas daerah kekeringan, dan gagal panen. Mundurnya masa tanam adalah dampak
terberat yang harus dicarikan kompensasinya. Meningkatnya luas daerah kekeringan
dan gagal panen diprakirakan akan sangat kecil peluangnya, karena saat ini
pertanaman dilahan tadah hujan sudah panen. Dengan demikian, gagal panen pun relatif
sangat kecil peluangnya untuk terjadi.
Berkaitan dengan mundurnya
masa tanam, maka ada dua hal penting yang dapat dilakukan masyarakat bersama Pemerintah
yaitu: mengembangkan teknologi modifikasi cuaca (TMC) dan melaksanakan
diversifikasi komoditas. Saat ini Departemen Pekerjaan Umum bekerja sama dengan
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BBPT) melalui Unit Pelaksana Teknis hujan
buatan telah dan akan terus membuat hujan buatan untuk mengisi waduk-waduk
besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sementara Departemen
Pertanian sedang mempersiapkan TMC dengan BPPT untuk mengisi waduk Jatiluhur,
Saguling, dan Cirata di Jawa Barat. Pilihan lokasi dilakukan dengan
pertimbangan bahwa Jawa merupakan lumbung pangan nasional dengan luas sawah
berindeks pertanaman dan produktivitas tinggi.
Sementara Departemen
Pertanian sedang melakukan proses persiapan pelaksanaan, secara simultan
dilakukan pemantauan kondisi curah hujan di daerah tangkapan DAS Citarum. Hasil
pemantauan di DAS Citarum menunjukkan bahwa di bagian hulu dan tengah, curah
hujan mulai turun dengan intensitas dan durasi terus meningkat. Sementara di
bagian hilir curah hujannya masih di bawah normal. Indikatornya, tinggi muka
air ketiga waduk sudah mengalami peningkatan yang signifikan.
Berdasarkan ilustrasi
tersebut, maka perlu dipertimbangkan waktu yang tepat untuk pelaksanaan TMC,
apakah saat ini (menjelang musim hujan) atau di akhir musim hujan, sehingga
dapat menambah masa tanam untuk mengkompensasi mundurnya masa tanam.
Pelaksanaan TMC awal musim hujan akan mempercepat pengisian waduk, sehingga
dapat segera dilakukan percepatan tanam. Akan tetapi apabila curah hujan yang
turun berlebihan dapat menimbulkan banjir. Sebaliknya apabila TMC dilakukan
pada akhir musim hujan, maka pengisian waduk dapat dilakukan lebih lama,
sehingga masa tanam gadu dapat diperpanjang.
Pilihan kedua yang harus
dilakukan untuk mengantisipasi curah hujan dibawah normal adalah diversifikasi
komoditas dan peningkatan efisiensi penggunaan air. Curah hujan di bawah normal
merupakan entry point yang baik untuk
mendorong masyarakat agar lebih efisien dalam menggunakan air. Berkaitan
diversifikasi, maka saat ini Pemerintah melalui sinergi tiga departemen yaitu
Departemen Pertanian, PU, dan Dalam Negeri dengan difasilitasi Bappenas sedang
mengembangkan program diversifikasi yang didukung akses kredit, pengolahan dan
pemasaran hasil. Program ini tersebar di sentra produksi pangan nasional yang
nota bene saat ini mengalami curah hujan di bawah normal. Kondisi curah hujan
di bawah normal ini merupakan kondisi yang favorable
bagi program tersebut, karena petani dapat mengembangkan komoditas unggulan
bernilai ekonomi tanpa khawatir dengan pemasaran.
Basis program ini ada di
kabupaten sebagai pelaksana otonomi, sehingga keseriusan Pemerintah kabupaten
menjadi faktor penentu keberhasilan program tersebut. Tantangan sudah ada di
depan mata, kita tidak mungkin menghindar lagi. Keberhasilan kita mengelola
curah hujan di bawah normal tidak saja dapat meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan petani yang selama ini terus diperjuangkan, melainkan juga dapat
memberikan bukti nyata tentang isu miring mandegnya revitalisasi pertanian. Kita
harus selalu berpegang, bahwa Allah menurunkan masalah tentu dengan pilihan penyelesaiannya,
saatnya kita berbuat, bukan mencemooh tanpa melakukan tindakan nyata.
(Tulisan ini dimuat pada: Republika, 18 Desember 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar