Jumat, 08 Agustus 2014

MENSIASATI CURAH HUJAN DI BAWAH NORMAL

Hasil pemantauan lapangan menunjukkan bahwa, sampai dengan pertengahan Desember ini, sebagian besar wilayah Indonesia utamanya bagian timur belum turun hujan. Diprakirakan lebih dari 50 persen wilayah Indonesia saat ini mengalami curah hujan di bawah normal. Argumen ini didukung fakta bahwa lahan pertanian di sebagian besar wilayah Indonesia yang biasanya pada bulan Desember sudah memasuki masa tanam, saat ini masih ada yang mengalami kekeringan.
Paling tidak ada tiga pertanyaan fundamental berkaitan kondisi curah hujan di bawah normal: apa curah hujan di bawah normal itu sendiri, apa saja faktor determinannya, bagaimana dampak yang ditimbulkan serta bagaimana adaptasinya? Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), curah hujan di bawah normal didefinisikan sebagai curah hujan tahunan atau bulanan yang depth-nya kurang dari 85 persen dari rata-rata normalnya.
World Meteorological Organization mendefinisi-kan rata-rata normal adalah curah hujan rata-rata bulanan atau tahunan dari seri data 30 tahun. Berdasarkan ilustrasi, tersebut, maka curah hujan di bawah normal kali ini memang bukan hal biasa, melainkan sesuatu yang luar biasa, karena dampaknya bersifat multisektor, berjangka panjang dengan biaya, tenaga, dan waktu recovery. Berkaitan dengan terjadinya curah hujan di bawah normal, maka diperlukan sikap dan posisi tegas petani dan Pemerintah untuk mencari model adaptasinya.
Paling tidak ada dua faktor determinan penyebab terjadinya curah hujan di bawah normal: terjadinya El Nino dengan intensitas sedang dan adanya dampak Indian Ocean Dipole Mode. Interaksi kedua faktor tersebut menyebabkan Indonesia miskin pasokan uap air. Lebih menyedihkan lagi, kondisi curah hujan di bawah normal ini diprakirakan sampai akhir Desember 2006. Rendahnya curah hujan ini berdampak langsung terhadap menurunnya pasokan air waduk, karena sebagian besar waduk di Indonesia mengandalkan pasokan airnya dari curah hujan dan aliran permukaan, bukan dari aliran dasar yang stabil pasokannya.
Masa Tanam Mundur
Dampak langsung curah hujan di bawah normal bagi sektor pertanian adalah mundurnya masa tanam, meningkatnya luas daerah kekeringan, dan gagal panen. Mundurnya masa tanam adalah dampak terberat yang harus dicarikan kompensasinya. Meningkatnya luas daerah kekeringan dan gagal panen diprakirakan akan sangat kecil peluangnya, karena saat ini pertanaman dilahan tadah hujan sudah panen. Dengan demikian, gagal panen pun relatif sangat kecil peluangnya untuk terjadi.
Berkaitan dengan mundurnya masa tanam, maka ada dua hal penting yang dapat dilakukan masyarakat bersama Pemerintah yaitu: mengembangkan teknologi modifikasi cuaca (TMC) dan melaksanakan diversifikasi komoditas. Saat ini Departemen Pekerjaan Umum bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BBPT) melalui Unit Pelaksana Teknis hujan buatan telah dan akan terus membuat hujan buatan untuk mengisi waduk-waduk besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sementara Departemen Pertanian sedang mempersiapkan TMC dengan BPPT untuk mengisi waduk Jatiluhur, Saguling, dan Cirata di Jawa Barat. Pilihan lokasi dilakukan dengan pertimbangan bahwa Jawa merupakan lumbung pangan nasional dengan luas sawah berindeks pertanaman dan produktivitas tinggi.
Sementara Departemen Pertanian sedang melakukan proses persiapan pelaksanaan, secara simultan dilakukan pemantauan kondisi curah hujan di daerah tangkapan DAS Citarum. Hasil pemantauan di DAS Citarum menunjukkan bahwa di bagian hulu dan tengah, curah hujan mulai turun dengan intensitas dan durasi terus meningkat. Sementara di bagian hilir curah hujannya masih di bawah normal. Indikatornya, tinggi muka air ketiga waduk sudah mengalami peningkatan yang signifikan.
Berdasarkan ilustrasi tersebut, maka perlu dipertimbangkan waktu yang tepat untuk pelaksanaan TMC, apakah saat ini (menjelang musim hujan) atau di akhir musim hujan, sehingga dapat menambah masa tanam untuk mengkompensasi mundurnya masa tanam. Pelaksanaan TMC awal musim hujan akan mempercepat pengisian waduk, sehingga dapat segera dilakukan percepatan tanam. Akan tetapi apabila curah hujan yang turun berlebihan dapat menimbulkan banjir. Sebaliknya apabila TMC dilakukan pada akhir musim hujan, maka pengisian waduk dapat dilakukan lebih lama, sehingga masa tanam gadu dapat diperpanjang.
Pilihan kedua yang harus dilakukan untuk mengantisipasi curah hujan dibawah normal adalah diversifikasi komoditas dan peningkatan efisiensi penggunaan air. Curah hujan di bawah normal merupakan entry point yang baik untuk mendorong masyarakat agar lebih efisien dalam menggunakan air. Berkaitan diversifikasi, maka saat ini Pemerintah melalui sinergi tiga departemen yaitu Departemen Pertanian, PU, dan Dalam Negeri dengan difasilitasi Bappenas sedang mengembangkan program diversifikasi yang didukung akses kredit, pengolahan dan pemasaran hasil. Program ini tersebar di sentra produksi pangan nasional yang nota bene saat ini mengalami curah hujan di bawah normal. Kondisi curah hujan di bawah normal ini merupakan kondisi yang favorable bagi program tersebut, karena petani dapat mengembangkan komoditas unggulan bernilai ekonomi tanpa khawatir dengan pemasaran.

Basis program ini ada di kabupaten sebagai pelaksana otonomi, sehingga keseriusan Pemerintah kabupaten menjadi faktor penentu keberhasilan program tersebut. Tantangan sudah ada di depan mata, kita tidak mungkin menghindar lagi. Keberhasilan kita mengelola curah hujan di bawah normal tidak saja dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani yang selama ini terus diperjuangkan, melainkan juga dapat memberikan bukti nyata tentang isu miring mandegnya revitalisasi pertanian. Kita harus selalu berpegang, bahwa Allah menurunkan masalah tentu dengan pilihan penyelesaiannya, saatnya kita berbuat, bukan mencemooh tanpa melakukan tindakan nyata.

(Tulisan ini dimuat pada: Republika,  18 Desember 2006)

Tidak ada komentar: