Senin, 21 Januari 2008

Bogor dan Jakarta "Ribut" soal Peraturan Daerah Penyangga

Bogor, Kompas - Kabupaten Bogor yang memiliki wilayah strategis Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur) sebagai hinterland (daerah penyanga) bagi DKI Jakarta sebetulnya tidak memiliki Peraturan Daerah (Perda) Penyangga. Ancaman terjadinya kembali banjir bandang di Jakarta dan sekitarnya, seperti terjadi pada Januari-Februari 2002, seharusnya menjadi pelajaran penting bagi semua pihak untuk melakukan perencanaan secara komprehensif, bukan hanya tanggung jawab daerah penyangga.

Hal itu dikemukakan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bogor Yuyun Muslihat kepada wartawan, Senin (23/12) siang. Yuyun dimintai tanggapannya tentang pernyataan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, yang dilansir sejumlah media massa, yang menuding Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor telah mencabut Perda Penyangga.

Sejauh ini, sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 48 Tahun 1983 tentang penataan ruang kawasan Bopunjur, Pemkab Bogor sebetulnya tidak mempunyai Perda Kawasan Penyangga. "Kami hanya memiliki Perda Tata Ruang karena kawasan Bogor kerap dipandang sebagai daerah resapan air. Namun, terhadap Perda ini pun, Pemkab Bogor tidak pernah merencanakan pencabutannya," ujar Yuyun.

Pemkab Bogor, yang memiliki 122 situ sebagai tempat penampung air yang mengalir dari hulu sungai, memiliki tugas untuk memelihara situ-situ tersebut sebaik-baiknya. Selain itu, meski tidak memperoleh kontribusi dari daerah-daerah hilir seperti Jakarta, Pemkab Bogor pun telah berusaha menjadi daerah penyangga.

Caranya, pertama adalah membangun 3.000-5.000 sumur resapan di daerah Megamendung dan Cisarua. Proyek yang berlangsung sejak tahun 1999 tersebut menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kedua, program rehabilitasi lahan kritis di sepanjang aliran Sungai Ciliwung maupun Cisadane.

Selama ini, Rancangan Perda Provinsi Jawa Barat tentang Kawasan Lindung masih terus digodok. Sedangkan, Pemkab Bogor hanya berpegang pada Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang dan Keppres Nomor 114 Tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bopunjur. Di dalam UU tersebut disebutkan, kawasan penyangga itu meliputi kawasan lindung maupun budidaya.

Kepala Bidang Sarana Prasarana Badan Perencana Daerah (Bapeda) Kabupaten Bogor Gunawan menjelaskan, dulunya kawasan budidaya, produksi, dan konservasi juga merupakan bagian dari kawasan penyangga. Hutan produksi pun, dengan nomenklaturnya, merupakan bagian dari kawasan tersebut. Jadi, perda yang secara khusus memaparkan daerah penyangga tidak pernah ada dan tidak pernah dibuat oleh Pemkab Bogor.

Hulu dan hilir

Sementara itu, ahli hidrologi Institut Pertanian Bogor (IPB) Gatot Irianto PhD mengatakan, perubahan fungsi kawasan penyangga menjadi kawasan pengembangan akan sangat berdampak mengerikan bagi daerah-daerah hilir, seperti Jakarta.

Gatot menjelaskan, peralihan fungsi lahan pertanian ke lahan bukan pertanian akan meningkatkan percepatan dan koefisien aliran permukaan air dan menurunkan laju infiltrasi, sehingga sebagian besar air hujan ditransfer secara langsung, tanpa mampu diserap lagi oleh tanah dan tumbuh-tumbuhan.

Konsekuensinya, papar Gatot, pertama adalah kemampuan penyerapan air berkurang akibat laju infiltrasi tanah sehingga air hujan akan lebih banyak dan cepat menuju ke bagian hilir sungai. Secara ilmiah, ketika debit puncak semakin tinggi dengan waktu respons semakin singkat, maka tak ayal lagi akan terjadilah aliran air yang begitu besar, alias banjir.

Kedua, sistem recharging (penyimpanan) air tanah sangat rendah sehingga pasokan air di musim kemarau akan merosot. Akibatnya, risiko bahaya kekeringan akan semakin tinggi. "Lihat saja, daerah-daerah di kawasan hulu yang sebelumnya tidak pernah dilanda kekeringan, seperti Desa Kuta, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, belakangan ini justru mengalami kekeringan yang begitu hebat," ujar Gatot

"Gubernur Sutiyoso sebaiknya jangan hanya mengusulkan pembuatan situ raksasa di daerah-daerah penyangga tanpa memberikan kontribusi sedikit pun. Situ raksasa yang diharapkan dapat menampung sejumlah air dari kawasan hulu tentu juga sangat bermanfaat bagi kawasan daerah hilir sungai, seperti Jakarta. Jadi, bantuan finansial pembangunan sebagai sharing keuangan juga sangat dibutuhkan, khususnya oleh Pemerintah Kabupaten Bogor," katanya Dimuat pada Harian Kompas, Hari Selasa, 24 Desember 2002

PENDEKATAN MUTHAKIR DALAM ANTISIPASI BANJIR

Setelah berdebat panjang lebar dengan berbagai argumen untuk mencari penyebab terjadinya banjir dan genangan, kemudian dengan sekuat tenaga, waktu dan dana menolong korban, maka pertanyaan selanjutnya adalah mampukan kita mengatasi banjir dengan teknologi dan biaya sendiri? Apakah kita harus mendatangkan konsultan dan bantuan luar negeri seperti IMF untuk mengatasi banjir dan genangan? Secara pribadi saya katakan tidak, karena dari segi sumberdaya manusia, pengetahuan dan teknologi kita memiliki semuannya. Demikian juga dengan komitmen masyarakat kita untuk antisipasi banjir sangat tinggi, sehingga sebenarnya yang diperlukan adalah pemimpin yang kredibel untuk mengimplementasikan konsep penanggulangan banjir yang dirumuskan bersama. Masalah biaya, pemerintah tentu bisa meletakkan prioritas penanganan banjir ini sebagai hal yang utama, karena sudah menyangkut hajat hidup orang banyak. Bahkan lebih jauh dari itu, kemampuan antisipasi masalah banjir dan genangan sudah menyangkut kredibilitas pemerintah Indonesia di mata komunitas Internasional yang tinggal di Jakarta. Lengkaplah sudah predikat Jakarta sebagai ibukota negara yang tidak aman, macet dan tidak nyaman apabila banjir dan genangan kedepan tidak dapat diantisipasi dengan baik. Tidak mesti dengan biaya yang besar Masalah banjir sepintas terlihat begitu rumit, komplek yang penanganannya memerlukan tenaga, waktu dan biaya sangat besar. Bahkan bagi orang yang pesimis, penanggulangan banjir seolah-olah seperti menegakkan benang basah. Namun apabila dirunut lebih jauh, maka penyebab banjir sebenarnya berawal dari persoalan sederhana yaitu ketidaktertiban dan ketidaktaatan penyelenggara pemerintahan dan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan yang terakumulasi dalam waktu tertentu dan dampak maksimumnya baru dirasakan sekarang. Berdasarkan akar penyebab masalah tersebut, maka semestinya masalah banjir dan genangan dapat diatasi apabila ada komitmen bersama antara pemerintah dan masyarakat yang kuat. Dalam hal biaya penanggulangan, maka apabila direncanakan, dilaksanakan dan dipantau dengan transparan, peluang terjadinya pembengkakan biaya dapat dihindari. Apalagi saat ini masyarakat sudah menyadari bahwa persoalan banjir tidak dapat ditangani dengan cara-cara klasik parsial, tetapi memerlukan pendekatan yang menyeluruh dengan peran serta masyarakat yang tinggi. Sistem proyek dengan penggelembungan volume dan biaya yang sangat tidak transparan dalam mengatasi masalah banjir selama ini secara faktual terbukti tidak efektif dan bahkan seringkali tidak mengenai sasaran, karena diperlukan tenggang waktu untuk alokasi anggaran. Biaya yang sudah dialokasikan seringkali tidak tepat waktu, karena terjadi perubahan masalah yang sangat cepat. Peran serta masyarakat dalam penanggulangan banjir sangat diperlukan, dalam pembiayaan penanggulangan banjir. Untuk itu perlu dirumuskan bersama antara pemerintah, LSM, Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian dan masyarakat tentang rencana kegiatan, strategi implementasi dan pemantauannya. Diperlukan konsep pendekatan yang memadai agar permasalahan banjir dapat diantsipasi secara menyeluruh. Pendekatan System/Model Penanganan antsipasi banjir secara parsial kualitatif dan bersifat ad hoc yang dilakukan oleh pemerintah selama ini sudah seharusnya diakhiri dan diganti dengan pendekatan konseptual kuantitaif dengan parameter yang measurable didukung time frame yang jelas. Dengan demikian siapapun pemegang otoritas pemerintahan, masyarakat dapat memantau kinerjanya dalam penanggulangan banjir. Untuk itu pendekatan model, dengan menekankan hubungan hujan-limpasan (debit) perlu dilakukan, sehingga perubahan karakteristik banjir (debit maksimum, waktu respon) akibat perubahan input (curah hujan) dan sistem DAS (land use dan jaringan hidrologi) dapat dipantau lebih akurat. Model deterministik dengan pendekatan mekanisme fisik perlu digunakan dalam antsipasi banjir karena mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan model lainnya antara lain: (1) dapat menjelaskan secara kuantitatif hubungan sebab-akibat dengan proses fisik yang berlaku secara universal (2) hasilnya dapat diaplikasikan pada DAS lain dengan melakukan adaptasi parameter. Dengan demikian tidak diperlukan penelitian yang detail untuk penanganan banjir dan genangan di daerah lain. Khusus untuk banjir dan genangan Jakarta pendekatan sistem dapat dilakukan dengan membagi DAS menjadi 4 tipe penggunaan lahan utama yaitu: hutan, lahan sawah, lahan kering, dan lahan pemukiman. Pendayagunaan lahan hutan dapat dilakukan dengan menjaga kelestariannya. Sedangkan peningkatan daya tampung air sistem lahan sawah dan lahan kering dapat dilakukan melalui optimasi dimensi pematang sawah dan teras lahan kering. Apabila konsep ini diadopsi, maka banir di hilir akan dapat ditekan, karena sebagian besar aliran permukaan ditampung di tiga tempat yaitu lahan sawah, teras lahan kering dan saluran hidrologi (hydrological network) secara bertingkat, sehingga kapasitas tampung air DAS dapat ditingkatkan, dan hanya sebagian kecil saja air yang dialirkan ke hilir. Dengan demikian debit maksimum yang terjadi dapat diturunkan dan waktu respon dapat diperpanjang. Sedangkan sistem lahan pemukiman juga harus menampung aliran permukaan dari wilayahnya sendiri, sehingga volume genangan dan banjir di hilir lebih berkurang lagi. Implementasi konsep ini harus dipantau dari tataran masyarakat paling bawah, agar pendekatan sistem ini berhasil dengan baik. Model reservoir linier bertingkat (reservoir in cascade) dengan input curah hujan dan sistem DAS sangat powerfull untuk skenario antisipasi banjir dan genangan. Dengan model ini setiap perubahan masukan pada suatu sistem dapat dikuantifikasikan keluarannya, sehingga perubahan debit dan waktu respon DAS sebelum dan sesudah perlakuan dapat dibandingkan. Pendekatan mutakhir ini banyak diadopsi oleh negara-negara maju Eropa dan Amerika dalam menekan resiko banjir. Di Indonesia model ini sudah diuji kehandalannya dan dikembangkan sesuai dengan kondisi setempat oleh penulis dalam evaluasi pengaruh teras sawah terhadap modifikasi karakteristik debit DAS (debit maksimum dan waktu respon) di DAS Kali Garang, Semarang. Evaluasi dan Revisi Rencana Induk (Master Plan) Jakarta Dalam jangka panjang, penanganan banjir harus dilakukan secara melekat (built in) dengan rencana induk dan pelaksanaan pembangunan kota Jakarta. Untuk itu pada tahap awal perlu dilakukan evaluasi dan revisi dari rencana induk kota Jakarta untuk membandingkan antara rencana dan pelaksanaannya. Agar setiap pelaksana pembangunan dapat dipantau kinerjanya, maka dewan perwakilan rakyat bersama masyarakat perlu memanfaatkan rencana induk kota Jakarta sebagai alat evaluasi dan monitoring pelaksanaan pembangunan. Masalah implementasi peraturan perundangan tampaknya perlu mendapatkan perhatian khusus. Pemerintah bersama masyarakat harus secara konsekuen tanpa pilih kasih memberikan sangsi terhadap pelanggar di lapangan. Komitmen itu harus ditindaklanjuti, karena apabila masalah tersebut ditorerir, maka kasus banjir dan genangan Jakarta akan terulang lagi dengan intensitas dan frekuensi yang lebih dahsyat. Meskipun teknologi antisipasi banjir memerlukan pendekatan menyeluruh, penulis secara pribadi yakin kalau tenaga ahli Inonesia mampu menysun dan mengimplementasikannya. Tidak diperlukan konsultan asing untuk itu, yang diperlukan adalah kejujuran dan keterbukaan para pelaksana dan penegakan perundangan di lapangan. Selebihnya masyarakat akan dapat membantu apa yang diperlukan untuk antisipasi banjir dan genangan. Mengingat banjir menjadi salah satu masalah penting dalam pembangunan kota Jakarta, maka kedepan calon Gubernur, Walikota perlu menyajikan konsep pembangunan Jakarta sebelum dipilih oleh wakil rakyat. Untuk itu diperlukan pencerahan (lightening) para anggota dewan tentang pengetahuan masalah banjir sebelum melakukan uji kelayakan (proper test) calon Gubernur. Dengan demikian tidak ada lagi alasan seorang Gubernur untuk tidak dapat mengatasi masalah banjir dan genangan di masa mendatang.

Rabu, 02 Januari 2008

Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air

KUMPULAN ARTIKEL YANG MEMBAHAS PENGELOLAAN LAHAN DAN AIR SECARA KOMPREHENSIF

-------------

Masalah pengelolaan sumberdaya lahan dan air semakin mengemuka setelah investasi teknologi produksi untuk peningkatan produksi dan pendapatan mengalami pelandaian (levelling off). Ada beberapa kendala yang dihadapi dalam mengelola sumberdaya lahan dan air yang harus diperjuangkan secara konsisten yaitu: alokasi lahan pertanian yang jauh melebihi lahan untuk kehutanan, demikian pula alokasi air untuk pertanian yang semakin terjepit oleh kepentingan air minum dan industri. Apalagi dengan disyahkannya UU no 7 tahun 2004 tentang sumberdaya air, maka pasokan air untuk pertanian semakin mencemaskan. Analisis pasokan dan kebutuhan air antar sektor dan antar wilayah dikemukakan sebagai teladan dan bahan pemikiran untuk mengantisipasi terjadinya kelangkaan air (water scarcity) yang sudah terjadi di sebagian besar wilayah di Jawa. Pengalaman negara maju dalam alokasi air, konflik air dan pengelolaan DAS disajikan dalam buku ini sebagai ilustrasi betapa betapa pentingnya pengelolaan sumberdaya air dan lahan sebagai bagian integral yang tidak terpisahkan.

Penanggulangan banjir dan kekeringan berdasarkan pengalaman praktis di lahan kering melalui pengembangan panen hujan dan aliran permukaan dikemukaan di buku ini agar dapat dijadikan teladan bahwa pengelolaan lahan dan air yang optimal dapat memberikan nilai tambah dan efek ganda bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan indek pertanaman, diversifikasi jenis komoditas yang diusahakan, peningkatan produksi, kualitas dan kontinyuitas melalui peningkatan ketersediaan air menurut ruang dan waktu menunjukkan bahwa peningkatan kesejahteraan petani dapat dipercepat tanpa invetasi yang besar.