Sejak pertengahan Desember 2009, harga
beras merambat naik secara konsisten dan diprediksi masih terjadi sampai akhir
Januari. Pertanyaan besar mengemuka: benarkah fenomena ini merupakan fenomena
biasa atau merupakan respons pasar atas pasokan beras yang menurun, karena
panen raya baru terjadi satu sampai dua bulan mendatang. Ketika harga beras naik
sampai dengan awal tahun baru Januari 2010, Pemerintah dan masyarakat masih
bisa memaklumi karena ada dampak dari perayaan hari besar keagamaan dan tahun
baru 2010. Kondisi ini masih dianggap sebagai fenomena biasa dan terjadi secara
reguler. Namun, situasinya menjadi berbeda ketika harga beras terus merambat
naik bahkan mulai melampaui ambang batas psikologis.
Berdasarkan fakta tersebut, pertanyaan lebih detail mengemuka, yaitu (i) di mana dan ke mana hasil produksi padi yang menurut angka ramalan (ARAM) III mencapai 63.84 juta ton naik 5.83 persen (ii) mengapa kenaikan harga beras mengkhawatirkan berbagai pihak, termasuk Pemerintah (iii) bagaimana pemecahannya agar efek dominonya dapat diantisipasi dan risikonya dapat diminimalkan.
Berdasarkan fakta tersebut, pertanyaan lebih detail mengemuka, yaitu (i) di mana dan ke mana hasil produksi padi yang menurut angka ramalan (ARAM) III mencapai 63.84 juta ton naik 5.83 persen (ii) mengapa kenaikan harga beras mengkhawatirkan berbagai pihak, termasuk Pemerintah (iii) bagaimana pemecahannya agar efek dominonya dapat diantisipasi dan risikonya dapat diminimalkan.
Swasembada atau Ditimbun
Kita harus percaya sepenuhnya bahwa
ARAM III Badan Pusat Statistik (BPS) benar adanya. Argumen ini didasarkan pada
fakta hasil pemantauanlapangan pasokan beras di pasar induk beras Cipinang,
yakni pasokanberas dari daerah mengalir lancar dalam kuantitas normal.
Berdasarkan fakta dan ilustrasi
tersebut, pertanyaan selanjutnya adalah ke mana beras itu berada? Paling tidak
ada dua kemungkinan: disimpan masyarakat atau ditimbun tengkulak. Kemungkinan
pertama sejalan dengan hasil pemantauan lapangan. Terjadinya banjir secara
sistemis dari wilayah Sumatra, Kalimantan, dan Jawa membawa dua implikasi
dahsyat terhadap pasokan beras. Banjir bandang dan genangan yang diikuti
longsor lalu puting beliung, dipastikan akan merendam padi sehingga menyebabkan
volume panen berkurang, kualitasnya menurun, dan biaya panen lebih besar,
keuntungan berkurang. Lebih jauh, banjir dan genangan juga merusak jalan dan
memacetkan arus transportasi sehingga waktu tempuh kepasar induk lebih lama,
biaya angkut beras menjadi lebih mahal, dan kompensasinya harga beras harus
disesuaikan. Terjadinya puting beliung di berbagai tempat dan longsor
dipastikan berdampak terhadap peningkatan biaya angkut dan waktu tempuh beras,
dari sentra produksi ke pasar induk beras. Menyikapi kondisi bencana alam yang
semakin tinggi intensitasnya, masyarakat yang rawan banjir dan bencana lainnya
biasanya secarapsikologis akan melakukan pengamanan cadangan pangan. Sehingga,
panen yang didapatkan sebagian besar disimpan untuk kebutuhan sendiri dan hanya
sedikit yang dijual ke pasar. Implikasinya harga beras akan sedikit mengalami
koreksi. Sentimen pasar ini menular ke berbagai wilayah sehingga harga beras
konsisten merangkak naik.
Kemungkinan kedua, pedagang beras dan
tengkulak memilih mengambil posisi wait
and see, karena Pemerintah baru saja mengumumkan kenaikan harga pokok (HPP)
pembelian gabah Pemerintah. Gabah kering panen/GKP naik 10 persen dari harga
sebelumnya Rp 2.500 per kilogram. Menurut pemantauan lapangan di sebagian besar
sentra produksi, harga GKP sudah melebihi HPP yang baru sehingga fenomena
kenaikan harga beras masih dianggap biasa, dan diprediksi tidak akan
berlangsung lama apalagi permanen.
Setelah jelas harga pupuk, harga gabah
di lapangan terjadi keseimbangan dan awal panen raya bulan Februari atau Maret
dimulai, diprediksi kenaikan harga beras kecil kemungkinannya terjadi. Ketika
segala sesuatunya jelas kalkulasinya, spekulan akan melepas cadangan berasnya.
Argumennya, cadangan beras Bulog saat
ini yang mencapai 1.6 juta ton terlalu tangguh untuk dipermainkan para
spekulan. Apalagi, dalam satu sampai dua bulan mendatang akan dimulai panen
raya sehingga pilihan menyimpan beras dalam jumlah banyak, membutuhkan biaya
besar dan sangat tidak menguntungkan. Mengapa kenaikan harga beras yang
melampaui batas psikologis perlu mendapatkan perhatian khusus?
Pro Kontra
Ada dua pendapat yang berbeda dalam
menyikapi kenaikkan harga beras: (i) kenaikan harga beras yang melebihi ambang
batas psikologi akan memacu inflasi, dan menyebabkan pemiskinan sistemis
masyarakat miskin kota (ii) kenaikkan harga beras apabila dinikmati langsung
oleh petani dan buruh tani justru harus didukung, karena dapat meningkatkan
pendapatan petanidan buruh tani yang selama ini sulit terjadi secara
signifikan.
Kenaikan harga beras yang mencapai Rp
500 sampai dengan Rp 1.000 per kilogram saat ini yang dianggap lampu kuning,
sebenarnya perlu disikapi
secara arif dan bijaksana. Artinya,
harus dilihat lebih mendalam kasusper kasus apa yang terjadi. Gubernur, bupati,
wali kota, camat, sampai lurah perlu melihat kondisi nyata di lapangan sebagai
bagian dalam pelaksanaan otonomi daerah. Bisa saja fenomena naiknya harga beras
ini di setiap daerah berbeda faktor determinannya. Misalnya, antara sentra produksi
dan non-sentra produksi, daerah endemis banjir dan non-endemis banjir. Dengan
demikian, penanganan yang dilakukan lebih akurat dan tidak dipukul rata. Untuk
meredam dampak pemiskinan masyarakat kotaakibat kenaikan harga beras, Pemerintah
perlu memfokuskan penangana masyarakat miskin perkotaan dengan menaikkan daya
belinya.
Ironis kalau kenaikan harga beras yang
dinikmati langsung petani harus ditekan melalui operasi pasar. Artinya, petani
yang sudah miskin dan marginal harus menyubsidi orang kaya, termasuk menyangga
warga miskin kota yang secara umum akses terhadap sumber dayanya jauh lebih
baik dibandingkan petani. Tugas menyangga masyarakat miskin kota bukan selayaknya
ditanggung apalagi dibebankan ke petani, melainkan perlu ditangani secara
terpisah.
Pemerintah akan lebih akurat apabila
memisahkan pendekatan penanganan warga miskin kota dan pengelolaan pendapatan/ kesejahteraan
petani, melalui pengaturan harga pokok pembelian Pemerintah baik gabah maupun beras.
Optimalisasi program pemberdayaan masyarakat kota harus lebih banyak dilakukan,
bukan sebaliknya menekan harga beras. Pengamanan jangka panjang Pemerintah
bersama masyarakat perlu menggenjot produksi secara signifikan, dan
meredistribusi serta melakukan penguatan cadangan beras dan pangan lainnya
sampai tingkat keluarga dan komunitas yang dikelola berdasarkan lokal genius
secara berkelanjutan. Pemerintah dapat berperan dalam memfasilitasi dan
melakukan pemantauan secara regional, untuk menyusun strategi antisipasi dan
pengelolaan cadangan pangan nasional.
(di muat di Harian
Umum Republika, 19 Januari 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar