Jumat, 08 Agustus 2014

LINGKUNGAN HIDUP

Transisi Musim Kemarau
   
        Menurut indikator perubahan iklim, terutama curah hujan, tahun 2007 Indonesia mengalami kemarau basah akibat anomali iklim La Nina sehingga masih ada wilayah yang mengalami musim hujan.
       Meski demikian, di wilayah "endemik" kekeringan, seperti Gunung Kidul, Rembang, Demak, Pati, terjadi exceptional phenomena pada transisi musim hujan ke kemarau yang ditandai dengan berhentinya secara mendadak musim hujan, diikuti peningkatan suhu luar biasa, sehingga menguras sumber air.
       Pola transisi sebaliknya sebenarnya pernah terjadi pada peralihan musim kemarau ke musim hujan, dicirikan kemarau terik langsung berganti hujan lebat dalam kurun waktu lama. Kejadian Maret 2007 itu menyebabkan land slide dan land movement dengan korban jiwa dan harta yang amat besar bahkan sempat mengguncang masyarakat Manggarai.
       Terjadinya dua pola (pattern) dengan ekstremitas berbeda pada tahun 2007, apa pun penyebabnya, mengindikasikan ada return period berpeluang terjadi pada transisi musim kemarau ke musim hujan berikut atau sebaliknya dengan frekuensi dan besaran lebih besar. Selain risiko dan korbannya amat besar, pemulihan wilayah akibat fenomena alam ini amat lama. Tanpa period of recovery menyebabkan buffering capacity masyarakat dan lingkungan atas kekeringan dan kebanjiran kian lemah.

"More Crop per Drop"
       Kekeringan sudah di ambang pintu, bahkan sudah terasa dampaknya, dicerminkan dari mahal dan sulitnya akses air oleh masyarakat. Mereka terpaksa berjalan jauh, bahkan harus mengebor sungai yang mengering untuk memperoleh setetes air demi mempertahankan kehidupan.
       Perubahan mendadak dari musim hujan ke kemarau ekstrem—secara historis saat ini merupakan musim kemarau— amat mengejutkan dan menyulitkan petani dalam pengamanan standing crop terutama di daerah gadu illegal karena praktis tanpa antisipasi atas kekeringan.
       Dalam kondisi pasokan air yang terus menurun, Bank Dunia memanfaatkan momentum ini untuk mengampanyekan moto: more crop per drop. Tujuannya agar semua sektor, termasuk pertanian sebagai pengguna air terbesar, memanfaatkan tantangan ini untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air.
       Pergeseran anomali iklim La Nina ke kondisi kering ekstrem akibat menguatnya Indian ocean dipole mode dan melemahnya La Nina harus bisa dideteksi lebih dini agar tidak terjadi kekacauan awal musim, awal tanam, dan pola tanam. Argumennya, petani sebagai victim lingkungan pasti tidak akan berdaya karena hanya mengandalkan conventional survival struggling untuk adaptasi. Diperlukan peningkatan skill of forecast tentang perubahan iklim, awal musim, dan jeluk (depth) hujan dan karakteristiknya pada 3-4 bulan ke depan agar risiko dan dampak perubahan iklim bisa dideteksi dan diantisipasi dini.
       Selanjutnya, pola, distribusi spatial dan temporal hujan pascaperubahan iklim harus disosialisasikan dan didiseminasikan kepada semua pemangku kepentingan untuk penyusunan strategi adaptasi dan mitigasinya. Badan Meteorologi dan Geofisika harus take a lead dan memberi perhatian serius tentang transisi antarmusim kepada semua pemangku kepentingan, terutama kepada petani sebagai pemilik suara dan pemegang kedaulatan terbesar dalam penyediaan data dan informasi hujan.

Manfaat Musim Kemarau
       Meski di daerah "endemik" kekeringan terjadi pengurasan air akibat tingginya evaporasi, sentra produksi pangan justru meraih manfaat positif musim kemarau. Indikatornya tercermin dari peningkatan luas panen dan produktivitas padi yang mencapai lebih dari 70 persem dari target yang ditetapkan.
       Distribusi hujan yang lebih lama akibat kemarau basah melahirkan risiko banjir 2007 lebih kecil dengan periode tanam lebih panjang dibanding 2006. Karena itu, petani di sentra produksi pangan pantai utara Jawa minimal panen dua kali setahun. Di daerah golongan air 1 dan 2 (head), IP padinya diprakirakan mencapai 300 dengan produktivitas maksimal karena kombinasi optimum fotosintesis dan ketersediaan air. Lahan rawa lebak di sekitar khatulistiwa mendapat tambahan air hujan pada periode yang seharusnya masuk musim kemarau, sehingga ada tambahan produksi pangan signifikan.
       Masalahnya, bagaimana dengan daerah endemik kekeringan yang masyarakatnya miskin dan terbatas sumber dayanya? Pengamanan standing crops dan stop penanaman baru di wilayah endemik kekeringan termasuk di daerah irigasi bagian hilir (tail). Diperlukan remarkable breakthrough dalam penyediaan air dan penyelesaian masalah kekeringan daerah endemik kekeringan. Melalui upscaling program water harvesting, penggunaan bahan organik lokal, introduksi ternak dan komoditas hortikultura, penghijauan kawasan pegunungan sebagai water tower di daerah tangkapan air dapat dipercepat.
       Menteri Pertanian memberi perhatian besar dalam pemulihan lingkungan melalui rehabilitasi infrastruktur, public awareness, dan capacity building. Melalui dana tugas pembantuan tahun 2006, 2007, dan 2008, Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air mendapat alokasi dana terbesar untuk program rehabilitasi jaringan irigasi tingkat usaha tani dan jaringan irigasi desa, embung, dam, parit, sumur resapan, pembangunan sumur air tanah dan dalam, konservasi lahan, optimasi lahan, rehabilitasi lahan, pengembangan kawasan pangan, peternakan, perkebunan dan hortikultura serta pemberdayaan petani pemakai air langsung ke kabupaten/kota.

       Melalui pola padat karya dan bantuan langsung masyarakat, maka selain terjadi pemberdayaan kelompok tani dan masyarakat, secara simultan terjadi pengembangan capacity building. Hasil pantauan di lapangan menunjukkan, realisasi fisik, outcome dan beneficieries kegiatannya selalu melebihi target yang ditetapkan (ada yang mencapai 150 persen). Melalui sinergi semua elemen masyarakat, cepat dan pasti pemutusan rantai masalah kekeringan 


(tulisan ini dimuat pada: Harian Umum Kompas – 23 Juli 2007)

Tidak ada komentar: