Transisi Musim Kemarau
Menurut indikator perubahan iklim,
terutama curah hujan, tahun 2007 Indonesia mengalami kemarau basah akibat
anomali iklim La Nina sehingga masih ada wilayah yang mengalami musim hujan.
Meski demikian, di wilayah
"endemik" kekeringan, seperti Gunung Kidul, Rembang, Demak, Pati,
terjadi exceptional phenomena pada transisi musim hujan ke kemarau yang
ditandai dengan berhentinya secara mendadak musim hujan, diikuti peningkatan
suhu luar biasa, sehingga menguras sumber air.
Pola transisi sebaliknya sebenarnya
pernah terjadi pada peralihan musim kemarau ke musim hujan, dicirikan kemarau
terik langsung berganti hujan lebat dalam kurun waktu lama. Kejadian Maret 2007
itu menyebabkan land slide dan land movement dengan korban jiwa dan harta yang
amat besar bahkan sempat mengguncang masyarakat Manggarai.
Terjadinya dua pola (pattern) dengan
ekstremitas berbeda pada tahun 2007, apa pun penyebabnya, mengindikasikan ada
return period berpeluang terjadi pada transisi musim kemarau ke musim hujan
berikut atau sebaliknya dengan frekuensi dan besaran lebih besar. Selain risiko
dan korbannya amat besar, pemulihan wilayah akibat fenomena alam ini amat lama.
Tanpa period of recovery menyebabkan buffering capacity masyarakat dan
lingkungan atas kekeringan dan kebanjiran kian lemah.
"More Crop per Drop"
Kekeringan sudah di ambang pintu, bahkan
sudah terasa dampaknya, dicerminkan dari mahal dan sulitnya akses air oleh
masyarakat. Mereka terpaksa berjalan jauh, bahkan harus mengebor sungai yang
mengering untuk memperoleh setetes air demi mempertahankan kehidupan.
Perubahan mendadak dari musim hujan ke
kemarau ekstrem—secara historis saat ini merupakan musim kemarau— amat
mengejutkan dan menyulitkan petani dalam pengamanan standing crop terutama di
daerah gadu illegal karena praktis tanpa antisipasi atas kekeringan.
Dalam kondisi pasokan air yang terus
menurun, Bank Dunia memanfaatkan momentum ini untuk mengampanyekan moto: more
crop per drop. Tujuannya agar semua sektor, termasuk pertanian sebagai pengguna
air terbesar, memanfaatkan tantangan ini untuk meningkatkan efisiensi
penggunaan air.
Pergeseran anomali iklim La Nina ke
kondisi kering ekstrem akibat menguatnya Indian ocean dipole mode dan
melemahnya La Nina harus bisa dideteksi lebih dini agar tidak terjadi kekacauan
awal musim, awal tanam, dan pola tanam. Argumennya, petani sebagai victim
lingkungan pasti tidak akan berdaya karena hanya mengandalkan conventional
survival struggling untuk adaptasi. Diperlukan peningkatan skill of forecast
tentang perubahan iklim, awal musim, dan jeluk (depth) hujan dan
karakteristiknya pada 3-4 bulan ke depan agar risiko dan dampak perubahan iklim
bisa dideteksi dan diantisipasi dini.
Selanjutnya, pola, distribusi spatial dan
temporal hujan pascaperubahan iklim harus disosialisasikan dan didiseminasikan
kepada semua pemangku kepentingan untuk penyusunan strategi adaptasi dan
mitigasinya. Badan Meteorologi dan Geofisika harus take a lead dan memberi
perhatian serius tentang transisi antarmusim kepada semua pemangku kepentingan,
terutama kepada petani sebagai pemilik suara dan pemegang kedaulatan terbesar
dalam penyediaan data dan informasi hujan.
Manfaat Musim Kemarau
Meski di daerah "endemik"
kekeringan terjadi pengurasan air akibat tingginya evaporasi, sentra produksi
pangan justru meraih manfaat positif musim kemarau. Indikatornya tercermin dari
peningkatan luas panen dan produktivitas padi yang mencapai lebih dari 70
persem dari target yang ditetapkan.
Distribusi hujan yang lebih lama akibat
kemarau basah melahirkan risiko banjir 2007 lebih kecil dengan periode tanam
lebih panjang dibanding 2006. Karena itu, petani di sentra produksi pangan
pantai utara Jawa minimal panen dua kali setahun. Di daerah golongan air 1 dan
2 (head), IP padinya diprakirakan mencapai 300 dengan produktivitas maksimal
karena kombinasi optimum fotosintesis dan ketersediaan air. Lahan rawa lebak di
sekitar khatulistiwa mendapat tambahan air hujan pada periode yang seharusnya
masuk musim kemarau, sehingga ada tambahan produksi pangan signifikan.
Masalahnya, bagaimana dengan daerah
endemik kekeringan yang masyarakatnya miskin dan terbatas sumber dayanya?
Pengamanan standing crops dan stop penanaman baru di wilayah endemik kekeringan
termasuk di daerah irigasi bagian hilir (tail). Diperlukan remarkable
breakthrough dalam penyediaan air dan penyelesaian masalah kekeringan daerah
endemik kekeringan. Melalui upscaling program water harvesting, penggunaan
bahan organik lokal, introduksi ternak dan komoditas hortikultura, penghijauan
kawasan pegunungan sebagai water tower di daerah tangkapan air dapat
dipercepat.
Menteri Pertanian memberi perhatian besar
dalam pemulihan lingkungan melalui rehabilitasi infrastruktur, public
awareness, dan capacity building. Melalui dana tugas pembantuan tahun 2006,
2007, dan 2008, Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air mendapat alokasi dana terbesar
untuk program rehabilitasi jaringan irigasi tingkat usaha tani dan jaringan
irigasi desa, embung, dam, parit, sumur resapan, pembangunan sumur air tanah
dan dalam, konservasi lahan, optimasi lahan, rehabilitasi lahan, pengembangan
kawasan pangan, peternakan, perkebunan dan hortikultura serta pemberdayaan
petani pemakai air langsung ke kabupaten/kota.
Melalui pola padat karya dan bantuan
langsung masyarakat, maka selain terjadi pemberdayaan kelompok tani dan
masyarakat, secara simultan terjadi pengembangan capacity building. Hasil
pantauan di lapangan menunjukkan, realisasi fisik, outcome dan beneficieries
kegiatannya selalu melebihi target yang ditetapkan (ada yang mencapai 150
persen). Melalui sinergi semua elemen masyarakat, cepat dan pasti pemutusan
rantai masalah kekeringan
(tulisan ini dimuat pada: Harian Umum Kompas – 23 Juli 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar