Areal
banjir baru terus tumbuh dan berkembang, bahkan kian tidak terkendali. Maka,
menjadi aneh jika ada wilayah Indonesia aman terhadap banjir.
Dampak banjir menguras habis energi,
tenaga, waktu, serta dana masyarakat dan Pemerintah untuk membentuk tanggap
darurat maupun penanganan pascabanjir. Diperkirakan, stimulus ekonomi Rp 51
triliun yang dirancang Pemerintah untuk meredam dampak krisis keuangan global
akan tereduksi, bahkan tersedot akibat banjir.
Mengapa komitmen, kesadaran, dan kemauan
kita untuk menyelamatkan peradaban manusia, termasuk peradaban ekonomi, sosial,
dan budaya belum tumbuh signifikan, bahkan sebaliknya justru kian mencemaskan?
Pertanyaan berikut, banjir itu milik siapa, bagaimana mengatasinya?
Belajar dari Surplus Beras
Sejujurnya, banjir lebih banyak berdampak
negatif terhadap orang miskin. Tidak mengherankan jika kepemilikan banjir
sering dihubungkan dengan orang miskin, papa, dan tidak berpunya. Meski orang
kaya juga terkena dampak banjir, baik langsung maupun tidak langsung, orang
miskinlah yang paling banyak menderita. Mengapa? Karena mereka tidak mempunyai
pilihan kecuali pasrah menerima nasib. Radikalisme, eksploitasi ekonomi,
politik, dan sosial atas lingkungan secara langsung dilakukan orang miskin,
tetapi kita tidak bisa menutup mata, sebagian besar orang kaya menjadi auktor
intelektualis atau sutradara dalam perusakan lingkungan.
Belajar dari pencapaian surplus beras
tahun 2008 sehingga memosisikan Indonesia sebagai negara eksportir beras baru
yang diakui dunia, maka format koordinasi, sinergi, dan kolaborasi dalam
program peningkatan produksi beras nasional dapat diaplikasikan dalam
penanggulangan banjir.
Pemerintah dapat menetapkan Departemen
Pekerjaan Umum sebagai focal point yang paling bertanggung jawab atas
terjadinya banjir sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 2004. Selanjutnya, Pemerintah
dapat menetapkan target kuantitatifnya, misalnya volume aliran permukaan yang
harus ditampung minimal 50 persen-60 persen.
Selanjutnya, Departemen PU menyusun desain
rinci dan kebutuhan dukungan sektor terkait, seperti Departemen Kehutanan,
Pertanian, Dalam Negeri, TNI dan Polri, serta Pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota dengan target yang diinginkan serta langkah operasionalisasinya.
Kita tidak bisa mengatakan lagi, banjir menjadi tanggung jawab bersama tanpa
ada yang menjadi leading sector-nya. Pendekatan ini juga dapat memecahkan
keraguan tentang siapa, kapan, dari mana, dan bagaimana penanggulangan banjir
dimulai.
Untuk itu, besaran banjir perlu dijadikan
indikator keberhasilan pembangunan, seperti indikator makro-ekonomi, penegakan
hukum, atau pertanian, agar semua pihak dapat menilai kinerja pembangunan
secara adil dan transparan. Mengingat banjir bersifat lintas sektor, maka dapat
dijadikan indikator seberapa optimal koordinasi dapat diimplementasikan di
lapangan.
Instrumen Kebijakan
Harus ada upaya nyata untuk mengurangi
pertumbuhan impermeabilisasi lahan dan alih fungsi lahan serta mendorong water
harvesting yang terukur dan terkontrol dengan sanksi tegas. Untuk itu, focal point perlu menetapkan indikator
keberhasilannya yang terukur.
Target pembangunan embung, dam parit,
sumur resapan, dan waduk harus dihitung akurat agar secara bertahap dan pasti
masalah banjir dapat dieliminasi. Paris yang 200 tahun lalu pernah kebanjiran,
terbukti bisa diatasi, padahal populasi dan pembangunan permukiman serta
fasilitas umum lainnya terus tumbuh. Kontrol dan sanksi yang tegas serta
transparan di segala strata mutlak diperlukan agar instrumen kebijakan menjadi
efektif dan operasional di lapangan.
Semua pihak harus bekerja keras dan
menaruh perhatian khusus agar Indonesia dan daerah wisata utama Indonesia,
seperti Bali, tidak terkena travel warning akibat tidak aman terhadap banjir.
Banyak nilai tambah langsung dan tidak langsung yang diperoleh jika kita
berhasil mengatasi banjir.
Banjir bukan menjadi milik si miskin
lagi, sinergi dan pertumbuhan ekonomi tidak tergerus distruksi banjir, bahkan
sebaliknya menguat dan secara simultan budaya radikal, distruktif, eksploitatif
terhadap lingkungan yang selama ini berkembang dapat dieliminasi di lapangan.
Tidak ada kata terlambat, semua pihak
harus bergerak, now or never. Jika
penanggulangan banjir berhasil dilakukan, generasi mendatang akan mencatat kita
dalam tinta emas sejarah.
(di muat di Harian Umum Kompas – 16 Januari 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar