Jumat, 08 Agustus 2014

BANJIR, SIAPA PUNYA?

Areal banjir baru terus tumbuh dan berkembang, bahkan kian tidak terkendali. Maka, menjadi aneh jika ada wilayah Indonesia aman terhadap banjir.
       Dampak banjir menguras habis energi, tenaga, waktu, serta dana masyarakat dan Pemerintah untuk membentuk tanggap darurat maupun penanganan pascabanjir. Diperkirakan, stimulus ekonomi Rp 51 triliun yang dirancang Pemerintah untuk meredam dampak krisis keuangan global akan tereduksi, bahkan tersedot akibat banjir.
       Mengapa komitmen, kesadaran, dan kemauan kita untuk menyelamatkan peradaban manusia, termasuk peradaban ekonomi, sosial, dan budaya belum tumbuh signifikan, bahkan sebaliknya justru kian mencemaskan? Pertanyaan berikut, banjir itu milik siapa, bagaimana mengatasinya?


Belajar dari Surplus Beras

       Sejujurnya, banjir lebih banyak berdampak negatif terhadap orang miskin. Tidak mengherankan jika kepemilikan banjir sering dihubungkan dengan orang miskin, papa, dan tidak berpunya. Meski orang kaya juga terkena dampak banjir, baik langsung maupun tidak langsung, orang miskinlah yang paling banyak menderita. Mengapa? Karena mereka tidak mempunyai pilihan kecuali pasrah menerima nasib. Radikalisme, eksploitasi ekonomi, politik, dan sosial atas lingkungan secara langsung dilakukan orang miskin, tetapi kita tidak bisa menutup mata, sebagian besar orang kaya menjadi auktor intelektualis atau sutradara dalam perusakan lingkungan.
       Belajar dari pencapaian surplus beras tahun 2008 sehingga memosisikan Indonesia sebagai negara eksportir beras baru yang diakui dunia, maka format koordinasi, sinergi, dan kolaborasi dalam program peningkatan produksi beras nasional dapat diaplikasikan dalam penanggulangan banjir.
       Pemerintah dapat menetapkan Departemen Pekerjaan Umum sebagai focal point yang paling bertanggung jawab atas terjadinya banjir sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 2004. Selanjutnya, Pemerintah dapat menetapkan target kuantitatifnya, misalnya volume aliran permukaan yang harus ditampung minimal 50 persen-60 persen.
       Selanjutnya, Departemen PU menyusun desain rinci dan kebutuhan dukungan sektor terkait, seperti Departemen Kehutanan, Pertanian, Dalam Negeri, TNI dan Polri, serta Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dengan target yang diinginkan serta langkah operasionalisasinya. Kita tidak bisa mengatakan lagi, banjir menjadi tanggung jawab bersama tanpa ada yang menjadi leading sector-nya. Pendekatan ini juga dapat memecahkan keraguan tentang siapa, kapan, dari mana, dan bagaimana penanggulangan banjir dimulai.
       Untuk itu, besaran banjir perlu dijadikan indikator keberhasilan pembangunan, seperti indikator makro-ekonomi, penegakan hukum, atau pertanian, agar semua pihak dapat menilai kinerja pembangunan secara adil dan transparan. Mengingat banjir bersifat lintas sektor, maka dapat dijadikan indikator seberapa optimal koordinasi dapat diimplementasikan di lapangan.

Instrumen Kebijakan
       Harus ada upaya nyata untuk mengurangi pertumbuhan impermeabilisasi lahan dan alih fungsi lahan serta mendorong water harvesting yang terukur dan terkontrol dengan sanksi tegas. Untuk itu, focal point perlu menetapkan indikator keberhasilannya yang terukur.
       Target pembangunan embung, dam parit, sumur resapan, dan waduk harus dihitung akurat agar secara bertahap dan pasti masalah banjir dapat dieliminasi. Paris yang 200 tahun lalu pernah kebanjiran, terbukti bisa diatasi, padahal populasi dan pembangunan permukiman serta fasilitas umum lainnya terus tumbuh. Kontrol dan sanksi yang tegas serta transparan di segala strata mutlak diperlukan agar instrumen kebijakan menjadi efektif dan operasional di lapangan.
       Semua pihak harus bekerja keras dan menaruh perhatian khusus agar Indonesia dan daerah wisata utama Indonesia, seperti Bali, tidak terkena travel warning akibat tidak aman terhadap banjir. Banyak nilai tambah langsung dan tidak langsung yang diperoleh jika kita berhasil mengatasi banjir.
       Banjir bukan menjadi milik si miskin lagi, sinergi dan pertumbuhan ekonomi tidak tergerus distruksi banjir, bahkan sebaliknya menguat dan secara simultan budaya radikal, distruktif, eksploitatif terhadap lingkungan yang selama ini berkembang dapat dieliminasi di lapangan.

       Tidak ada kata terlambat, semua pihak harus bergerak, now or never. Jika penanggulangan banjir berhasil dilakukan, generasi mendatang akan mencatat kita dalam tinta emas sejarah.

(di muat di Harian Umum Kompas – 16 Januari 2009)

Tidak ada komentar: