Pembangunan Jalan Tol (GATRA/Wisnu Prabowo) Tanpa
bermaksud apriori, Pertemuan Para Pihak/Conference of Parties/COP Ke-13 bagi
peratifikasi Protokol Kyoto (tanpa Amerika) maupun peserta konvensi (dengan
Amerika) tentang perubahan iklim untuk penurunan dan stabiliasi emisi gas rumah
kaca akan sulit dicapai. Argumennya, sekalipun mengikat secara hukum (legally
binding), karena sifatnya voluntary basis dan saling menguntungkan, maka sangat
sulit menagih komitmen kewajibannya para pihak. Tanpa sanksi yang jelas dan
tegas bagi peratifikasi Protokol Kyoto maupun konvensi memosisikan penurunan
emisi melalui joint implementation scheme, clean development mechanim, emission
trading, dan mekanisme lainnya hanya menjadi wacana.
Penolakan emiter
terbesar Amerika Serikat dengan 36,1% total emisi dunia pada 1990 untuk
meratifikasi Protokol Kyoto tanpa redistribusi ke negara ANNEX 1 menyebabkan
target penurunan emisi yang menjadi tanggung jawab negeri adidaya itu tidak
terjadi. Posisi emisi gas rumah kaca pada saat ini, yang mencapai 20% di atas
emisi tahun 1990, menyebabkan stabilisasi gas rumah kaca ke masa dasar menjadi
sangat berat.
Bahkan boleh
dikata tidak mungkin dilakukan, karena membutuhkan investasi teknologi dan
biaya sangat besar. Tidak tercapainya stabilisasi gas rumah kaca pada periode
komitmen pertama (2008-2012) menyebabkan kenaikan suhu permukaan bumi 2 derajat
celsius dipercepat. Akibatnya, bumi pun makin panas, dan bencana lingkungan
tinggal menunggu eksplosinya.
Pembangunan yang
tidak sensitif terhadap climate change dengan lebih mengutamakan pertumbuhan
sesaat yang tidak berkesinambungan menyebabkan reduksi emisi dan stabilisasi
gas rumah kaca tak dapat dilakukan. Pilihan membangun jalan tol sebagai moda
transportasi utama yang memerlukan pembebasan tanah sangat mahal, merusak
lingkungan, mengalih-fungsikan lahan sawah, boros bahan bakar minyak
dibandingkan dengan moda transportasi kereta api yang murah, efisien, dan ramah
lingkungan karena jalurnya sudah tersedia merupakan teladan rendahnya sensitivitas dalam
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Lambatnya
implementasi program penanaman tanah kosong untuk hutan (afforestation), penghutanan kembali (reforestation), dan pengurangan emisi kegiatan deforestasi me-nyebabkan
sumber emisi terus bertambah tanpa diikuti peningkatan wadah penyerap yang
signifikan. Kebijakan subsidi terhadap energi yang tidak ramah lingkungan,
seperti batu bara, tanpa memperhitungkan kebersihan dan keberlanjutan energi
menyebabkan energi terbarukan tidak mendapat tempat yang proporsional untuk
berkembang, sehingga peningkatan emisi dan pemanasan atmosfer semakin tidak
terkendali.
Belum tersedianya
mekanisme pendanaan yang jelas dan harga karbon yang rendah menyebabkan perdagangan
karbon dan mekanisme pembangunan bersih belum dapat diimplementasi-kan secara
optimal. Negara pemilik hutan tropis sebagai penambat karbon menginginkan harga
yang proporsional dengan pengorbanan yang dilakukan. Pada saat ini, harga 1 ton
CO2 berkisar US$ 5. Padahal, menurut kalkulasi, harga wajarnya US$ 10-US$ 20.
Sehingga antara calon penambat karbon dan pembeli Certified Emission Reduction (CER) saling menunggu untuk
mendapatkan harga terbaik.
Posisi wait and
see ini terjadi karena CER merupakan surat berharga yang dapat diperdagangkan,
sehingga terbuka peluang untuk mendapatkan keuntungan sesuai dengan mekanisme
pasar. Karena itu, diperlukan kebijakan tegas dan transparan dalam penurunan
dan stabiliasi emisi lintas sektor, lintas provinsi, kabupaten/kota yang
konsisten pada saat memulai pemilihan moda transportasi, penggunaan bahan
bakar, dan penghapusan subsidi energi fosil agar adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim dapat dipercepat.
Kegagalan
penurunan emisi gas rumah kaca peratifikasi Kyoto Protokol dan strategi pem-bangunan
yang tidak sensitive climate change
memosisikan bumi terus memanas. Akibat lain, antisipasi perubahan iklim pun
berada di simpang jalan. Negara-negara kepulauan (island countries) maupun negara-negara lintang rendah
(khatulistiwa) merupakan korban/victim per-tamanya. Indonesia adalah contoh
kongkret dampak buruk itu.
Peningkatan suhu
permukaan bumi dan laut yang ekstrem akibat pemanasan global akan
menenggelamkan pulau-pulau kecil Indonesia yang jumlahnya ribuan, menaikkan
intensitas dan besaran gelombang, mengacaukan musim, menurunkan produksi ikan,
sehingga sangat mengganggu sistem dan kemampuan produksi pangan nasional.
Abrasi pantai,
ancaman pada permukiman pesisir, tingginya banjir, dan kekeringan merupakan
dampak pemanasan global dengan petani dan rakyat miskin sebagai korban.
Ketidakadilan asasi ekonomi dan lingkungan ini, apa pun alasannya, harus
dihentikan secepatnya, karena negara-negara korban pemanasan global terampas
hak hidup dan kehidupannya. Negara GG 77 plus Cina dan negara negara non-ANNEX
1 harus melakukan tekanan politik serta menagih komitmen negara emiter ANNEX 1
agar secepatnya mengimplemen-tasikan komitmen dan kewajibannya dalam menurunkan
emisi.
COP Ke-13 di
Bali, yang direncanakan berlangsung pada 3-14 Desember 2007, harus mampu
menghasilkan: (1) peta dan skema baru penurunan emisi dengan mengintegrasikan
kepentingan Amerika Serikat serta (2) jenis dan mekanisme pendanaan yang
transparan. Pengenaan pajak emisi (emission
tax) terhadap produsen mesin pengguna bahan bakar fosil dan penghasil bahan
bakar fosil untuk pendanaan mekanisme pembangunan bersih dan subsidi langsung
korban pemanasan global perlu diintroduksi. Komitmen Amerika untuk mendukung Indonesia
sebagai pelaksana COP Ke-13 dapat dimanfaatkan untuk mendorong kesepakatan
penurunan emisi agar hajat besar dengan dana APBN Rp 114 milyar itu dapat
memberi manfaat langsung bagi pemilik kedaulatan negeri.
(Tulisan ini dimuat pada: Majalah Gatra, 3 September 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar