Jumat, 08 Agustus 2014

DAMPAK PRIVASI AIR MINUM

MESKI masih ada pro dan kontra, cepat dan pasti, RUU privatisasi penyediaan air minum segera disahkan menjadi UU dalam rapat paripurna DPR hari ini, 19 Februari 2004. Pemerintah bersama DPR memosisikan "swasta" sejajar koperasi, BUMN, dan BUMD dalam sistem penyediaan air minum.
Perubahan regulasi ini akan membentuk pola, sistem konfigurasi, dan kompetisi baru dalam penyediaan air minum, baik dalam hal investor, sistem, maupun konsekuensi ekonomi-sosial-politik. Itulah mengapa banyak lembaga swadaya masyarakat resisten terhadap pengesahan RUU sumber daya air yang disiapkan Pemerintah. Pertanyaan esensialnya, apa dampak negatif privatisasi penyediaan air minum dalam jangka panjang? Terjadinya dependensi, eksploitasi tarif, dan keterpurukan ekonomi adalah jawabannya.

Dependensi, Eksploitasi Tarif dan Keterpurukan
Indonesia harus belajar dan tak boleh mengulang pengalaman buruk privatisasi penyediaan air minum negara maju di Eropa, seperti Perancis. Dengan spirit peningkatan kualitas air minum dan layanannya, Uni Eropa (EU) menerapkan standar kualitas air minum lebih tinggi daripada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Akibatnya, sebagian besar peralatan water treatment harus diganti sehingga memerlukan investasi amat besar.
Dampaknya, hampir seluruh Munisipal kota-kota besar di Perancis tidak mampu melakukan investasi peralatan secara swadana sehingga terjadi privatisasi yang ditandai masuknya swasta raksasa air sebagai investornya. Mengingat investasinya padat modal dan teknologi, hanya swasta besar saja yang mampu berinvestasi. Yang lain menjadi penonton atau maksimal jadi subkontraktor. Pada tahap ini mulai terjadi dependensi, monopoli, atau oligopoli penyediaan air minum dan penetapan harga. Potret itu dapat disaksikan pada tubuh PDAM DKI Jaya yang bermitra dengan raksasa air Perancis dan Inggris.
Terjadinya dependensi ekonomi, teknologi, dan kemampuan sumber daya manusia mendorong terjadinya eksploitasi tarif yang terus meningkat dengan layanan amat marjinal, perluasan jaringan distribusi yang minimum serta sulit dikontrol. Janji awal investor yang menyatakan, air keran PDAM DKI nanti dapat langsung diminum seperti di negara maju di Eropa, Australia, atau Jepang, hingga kini belum terbukti. Fakta membuktikan, privatisasi penyediaan air minum di DKI Jaya menimbulkan konflik berkepanjangan antara investor dan serikat pekerja PDAM DKI. Potensi konflik horizontal dan vertikal akan meningkat intensitas, frekuensi, dan durasinya dengan peningkatan jumlah investor asing yang cenderung kapitalistis dan eksploitatif.
Dengan jumlah investor air minum dunia yang tidak banyak, privatisasi penyediaan air minum melalui undang-undang merupakan legalisasi formal material sekaligus entry point pembagian wilayah dan konsesus penyediaan air minum. Implikasinya, raksasa air bisa mengontrol Pemerintah maupun masyarakat sebagai konsumen air minum. Dalam bahasa amat ekstrim, investor air dapat melakukan sabotase dalam berbagai bentuk mulai yang paling ringan sampai yang paling berat bila negosiasi dengan klien tidak menemukan jalan keluar.
Kontrol Pemerintah yang lemah dan kentalnya nuansa korupsi, kolusi dan nepotisme di tingkat birokrasi Pemerintah menyebabkan posisi tawar (bargaining position) konsumen dan Pemerintah, sebagai pemakai jasa, terus melemah dan tidak berdaya. Dalam kondisi tersudut dan tertekan, investor swasta dapat melakukan aneka maneuver baru guna menangguk keuntungan, mengeksploitasi konsumen dan Pemerintah melalui: dari perpanjangan kontrak lebih lama, peningkatan prosentase bagi hasil yang terus meningkat untuk investor sampai tuntutan penyertaan modal Pemerintah. Pada tahap ini kolonisasi modern dalam akses, kontrol, dan partisipasi penyediaan air minum terbentuk secara alamiah.
Dibandingkan dengan investor swasta lokal, raksasa air asing mempunyai posisi jauh lebih kuat dan strategis ditinjau dari sumber pendanaan, teknologi, sumber daya manusia. Kontrol investor asing yang amat dominan dalam penentuan harga air daripada konsumen termasuk Pemerintah, menjadikan Indonesia kian terpuruk secara ekonomi, sosial, maupun politik.
Air minum sebagai kebutuhan "ultraprimer" dengan tingkat konsumsi terus bertambah serta tidak ada benda substitusinya memungkinkan swasta penyedia air minum dapat menancapkan kuku kekuasaannya kian dalam tanpa melihat 
derita dan nestapa rakyat miskin. Apalagi sampai kini keberpihakan Pemerintah terhadap masyarakat marjinal amat lemah sehingga mereka terus terjepit. Pertanyaan, bagaimana mengantisipasinya? Solusinya, membangun kemandirian.


Kemandirian Penyediaan Air Minum
Ada tiga strategi yang harus dilakukan Pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota untuk meningkatkan kemampuan BUMN, BUMD, dan koperasi dalam penyediaan air minum: (1) identifikasi, karakterisasi, dan pemetaan sumber-sumber air minum prinsipal/utama; (2) alokasi pendanaan untuk peralatan dan pengelolaan; dan (3) peningkatan kemampuan sumber daya manusia dalam pengelolaan dan penyediaan air minum.
Berkait dengan strategi (1), dengan menggunakan citra satelit, peta geo-hidrologi yang divalidasi di lapangan, posisi dan potensi sumber-sumber air minum utama yang potensial dapat didelinisasi dan dipetakan secara spasial. Dengan demikian, Pemerintah dapat lebih memfokuskan pada konservasi dan pendayagunaan bagi kepentingan masyarakat banyak untuk jangka panjang. Indonesia mempunyai kemampuan dan pengalaman untuk keperluan itu. Bila pekerjaan ini dapat disinergikan dengan program lintas sektoral, seperti departemen pertanian, departemen kehutanan, departemen perindustrian dan perdagangan, departemen pertambangan dan energi, serta departemen dalam negeri, maka data dan informasi yang dihasilkan dapat bersifat multipurposes dan multiple users dengan biaya per satuan kegiatan menjadi lebih murah. Diperlukan sistem informasi sumber daya air dalam bentuk: (a) sistem pangkalan data (data base) dan (b) alat bantu pengambilan keputusan (decision support system) dalam alokasi, distribusi, dan pemanfaatan sumber daya air antarsektor agar konflik pendayagunaan sumber daya air dapat dideteksi dan diantisipasi lebih dini. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian mempunyai kemampuan menyusun sistem informasi itu berdasar pengalaman langsung dalam penyusunan data base dan decision support system untuk ketahanan pangan di Jawa Tengah.
Berkait dengan strategi (2), Pemerintah harus serius melakukannya, karena ketergantungan pada pihak asing dalam penyediaan air minum akan berimplikasi amat luas dan kompleks. Modernisasi peralatan PDAM dan peningkatan efisiensinya mutlak dilakukan bila tidak ingin tergilas, menjadi penonton, dan konsumen di negeri sendiri. Peningkatan efisiensi pengambilan sumber air, penyaluran, distribusi, dan penggunaan air minum harus dilakukan semaksimal mungkin agar terjadi peningkatan apresiasi terhadap air minum secara maksimal.
Dalam poin (3), peningkatan profesionalisme pengelola dalam penyediaan air minum harus dilakukan secepatnya. Tanpa didukung sumber daya manusia memadai, investasi peralatan untuk penyediaan air minum akan sia-sia. Sebagai ilustrasi dalam suatu stasiun pengolahan air minum di kota Rennes, Britany, Perancis, yang melayani sekitar satu juta jiwa, jumlah pegawainya termasuk pimpinan hanya tiga orang yang bekerja bergantian (shift). Dengan profesionalisme, akan terjadi efisiensi keluaran per satuan luas per satuan waktu.
Guna meminimalkan kerugian akibat masuknya investor asing dalam penyediaan air minum, kontrak kerja sebaiknya dibuat jangka pendek (maksimal lima tahun) agar dampak negatif yang mungkin timbul dapat dideteksi dan direduksi lebih dini.

(Tulisan ini dimuat pada: Harian Umum Kompas – 19 Pebruari 2004)

Tidak ada komentar: