Awal tahun ini, ada dua perubahan fundamental
karakteristik banjir. Dua-duanya mencemaskan: peningkatan frekuensi dan
peningkatan durasi banjir dua kali dalam satu musim hujan. Hal ini bisa dilihat
saat banjir besar melanda Pati, Blora, Grobogan, dan Juwana, Jawa Tengah. Pada
awal Januari, durasinya 7 hari, sedangkan di awal Februari menjadi 14 hari
lebih. Di Pati dan Juwana, banjir bahkan belum surut meski sudah berlangsung
lebih dari dua minggu.
Sinyal buruk ini mengindikasikan,
bilamana degradasi daerah aliran sungai (DAS) mencapai titik nadirnya, banjir
dapat terjadi sepanjang musim hujan. Petani dan masyarakat miskin korban banjir
akan langsung merasakan akibatnya. Posisi mereka pasti bertambah sulit.
Mereka harus mengeluarkan biaya pemulihan tanaman dan rumah dua kali lebih banyak. Padahal amat mustahil mengharapkan Pemerintah membantu pemulihan pascabanjir lebih dari satu kali.
Mereka harus mengeluarkan biaya pemulihan tanaman dan rumah dua kali lebih banyak. Padahal amat mustahil mengharapkan Pemerintah membantu pemulihan pascabanjir lebih dari satu kali.
Peningkatan magnitude luar biasa ini terjadi akibat dua
hal, yakni merosotnya daya sangga DAS dan rapuhnya infrastruktur pendukungnya,
seperti waduk, bendung, dan tanggul. Tingginya laju erosi dan pemadatan tanah
menyebabkan hanya lapisan atas tanah yang tersisa. Akibatnya, laju infiltrasi
air ke dalam tanah amat minim karena porositasnya rendah, sehingga volume limpasan
dan kecepatan sedimentasi melebihi kapasitas tampung sungai, waduk, dan
bendung.
Jebolnya
infrastruktur jalan, tanggul pengaman, serta bendungan di sepanjang Bengawan
Solo, Brantas, dan Jratunseluna (Sungai Jragung, Tuntang, Serang, Lusi, dan Juwana)
merupakan keniscayaan. Rencana yang dijadikan dasar rancang bangun dan
konstruksi infrastruktur fisik kalah oleh banjir.
Degradasi DAS dan daya sangga infrastruktur pendukungnya
adalah akibat pelanggaran tata ruang komersial, seperti mal, perumahan mewah,
hotel, apartemen, dan pusat perbelanjaan. Tapi cara ini paling banyak dipilih
kepala daerah untuk mencari dana segar, apalagi pengawasan dari pusat melemah.
Akumulasi penghancuran lingkungan kian tidak terkendali
jika penguasa wilayah hanya berpikir pada masa jabatannya. Sikap apatis
penguasa wilayah di Jawa, misalnya, menyebabkan luas hutan kurang dari 3
persen, luas belukar 25 persen, dan permukiman 22 persen. Sisanya sawah dan
perkebunan yang rawan alih fungsi dan penjarahan.
Komposisi tutupan lahan yang timpang terjadi di semua
daerah dan terus memburuk. Alhasil, sebagian besar ibu kota kabupaten/kota lain
di Indonesia pasti berubah menjadi wilayah rawan banjir dalam waktu cepat.
Dengan kata lain, Pemerintah dan masyarakat membiarkan penggalian lubang untuk
mengubur diri sendiri secara sadar dan terencana.
Tidak adanya sanksi yang tegas, yang seharusnya
ditetapkan oleh para pemegang otoritas kebijakan menjadi penyebab degradasi
lingkungan. Jika diurutkan, ketegasan ini harus dimulai dari presiden kepada
gubernur, lalu gubernur terhadap bupati/wali kota, dan seterusnya. Dengan
demikian, kesalahan pengelolaan yang menimbulkan degradasi dapat dicegah di
depan. Penataan ulang konsep desentralisasi dan pembentukan pengadilan
lingkungan adalah dua langkah konkret yang dapat ditempuh untuk menyetop
kehancuran lingkungan.
Pada tahap awal, Pemerintah harus merumuskan mekanisme
kontrol (dari hierarki tertinggi Pemerintahan, yaitu presiden, kepada
lapisan-lapisan di bawahnya). Peradilan lingkungan dapat dilakukan dengan
memperluas peran Komisi Pemberantasan Korupsi. Mafia perusak lingkungan harus
diberi pelajaran yang menjerakan sehingga kerusakan hutan dan alam kita dapat
ditekan secepatnya.
Dukungan presiden dan
DPR untuk perluasan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi dalam mengadili
kejahatan lingkungan mutlak diperlukan. Faktanya, pihak eksekutif dan
legislatif tidak berdaya. Bahkan mereka sering diperdaya oleh para perusak
lingkungan yang memiliki akses ekonomi dan politik luar biasa.
(di muat di Majalah Tempo, 25
Februari 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar