Minggu, 10 Agustus 2014

BANJIR, MALAPETAKAN TERENCANA

Awal tahun ini, ada dua perubahan fundamental karakteristik banjir. Dua-duanya mencemaskan: peningkatan frekuensi dan peningkatan durasi banjir dua kali dalam satu musim hujan. Hal ini bisa dilihat saat banjir besar melanda Pati, Blora, Grobogan, dan Juwana, Jawa Tengah. Pada awal Januari, durasinya 7 hari, sedangkan di awal Februari menjadi 14 hari lebih. Di Pati dan Juwana, banjir bahkan belum surut meski sudah berlangsung lebih dari dua minggu.
Sinyal buruk ini mengindikasikan, bilamana degradasi daerah aliran sungai (DAS) mencapai titik nadirnya, banjir dapat terjadi sepanjang musim hujan. Petani dan masyarakat miskin korban banjir akan langsung merasakan akibatnya. Posisi mereka pasti bertambah sulit.
Mereka harus mengeluarkan biaya pemulihan tanaman dan rumah dua kali lebih banyak. Padahal amat mustahil mengharapkan Pemerintah membantu pemulihan pascabanjir lebih dari satu kali.
Peningkatan magnitude luar biasa ini terjadi akibat dua hal, yakni merosotnya daya sangga DAS dan rapuhnya infrastruktur pendukungnya, seperti waduk, bendung, dan tanggul. Tingginya laju erosi dan pemadatan tanah menyebabkan hanya lapisan atas tanah yang tersisa. Akibatnya, laju infiltrasi air ke dalam tanah amat minim karena porositasnya rendah, sehingga volume limpasan dan kecepatan sedimentasi melebihi kapasitas tampung sungai, waduk, dan bendung.
  Jebolnya infrastruktur jalan, tanggul pengaman, serta bendungan di sepanjang Bengawan Solo, Brantas, dan Jratunseluna (Sungai Jragung, Tuntang, Serang, Lusi, dan Juwana) merupakan keniscayaan. Rencana yang dijadikan dasar rancang bangun dan konstruksi infrastruktur fisik kalah oleh banjir.
Degradasi DAS dan daya sangga infrastruktur pendukungnya adalah akibat pelanggaran tata ruang komersial, seperti mal, perumahan mewah, hotel, apartemen, dan pusat perbelanjaan. Tapi cara ini paling banyak dipilih kepala daerah untuk mencari dana segar, apalagi pengawasan dari pusat melemah.
Akumulasi penghancuran lingkungan kian tidak terkendali jika penguasa wilayah hanya berpikir pada masa jabatannya. Sikap apatis penguasa wilayah di Jawa, misalnya, menyebabkan luas hutan kurang dari 3 persen, luas belukar 25 persen, dan permukiman 22 persen. Sisanya sawah dan perkebunan yang rawan alih fungsi dan penjarahan.
Komposisi tutupan lahan yang timpang terjadi di semua daerah dan terus memburuk. Alhasil, sebagian besar ibu kota kabupaten/kota lain di Indonesia pasti berubah menjadi wilayah rawan banjir dalam waktu cepat. Dengan kata lain, Pemerintah dan masyarakat membiarkan penggalian lubang untuk mengubur diri sendiri secara sadar dan terencana.
Tidak adanya sanksi yang tegas, yang seharusnya ditetapkan oleh para pemegang otoritas kebijakan menjadi penyebab degradasi lingkungan. Jika diurutkan, ketegasan ini harus dimulai dari presiden kepada gubernur, lalu gubernur terhadap bupati/wali kota, dan seterusnya. Dengan demikian, kesalahan pengelolaan yang menimbulkan degradasi dapat dicegah di depan. Penataan ulang konsep desentralisasi dan pembentukan pengadilan lingkungan adalah dua langkah konkret yang dapat ditempuh untuk menyetop kehancuran lingkungan.
Pada tahap awal, Pemerintah harus merumuskan mekanisme kontrol (dari hierarki tertinggi Pemerintahan, yaitu presiden, kepada lapisan-lapisan di bawahnya). Peradilan lingkungan dapat dilakukan dengan memperluas peran Komisi Pemberantasan Korupsi. Mafia perusak lingkungan harus diberi pelajaran yang menjerakan sehingga kerusakan hutan dan alam kita dapat ditekan secepatnya.
Dukungan presiden dan DPR untuk perluasan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi dalam mengadili kejahatan lingkungan mutlak diperlukan. Faktanya, pihak eksekutif dan legislatif tidak berdaya. Bahkan mereka sering diperdaya oleh para perusak lingkungan yang memiliki akses ekonomi dan politik luar biasa.


(di muat di Majalah Tempo, 25 Februari 2008)

Tidak ada komentar: