Jumat, 08 Agustus 2014

BANJIR DAN DERITA RAKYAT MISKIN

       Jakarta banjir. Dan banjir kali ini merupakan pengulangan kejadian serupa, lima tahun lalu (2002).
       Sayang, meski merupakan kejadian periodikal, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kurang melakukan antisipasi memadai. Korban dan penerima dampak adalah rakyat miskin karena permukiman, akses jalan, dan infrastruktur porak poranda.
Itu sebabnya.
       Meski Presiden telah memberikan atensinya dan masyarakat merespons dengan antusias, persoalan fundamentalnya tidak terselesaikan karena orang-orang penyebab banjir tidak tersentuh hukum.
       Ketimpangan ini merupakan bentuk kekerasan dan destruksi ekonomi secara sistemis, Pemerintah harus menghentikannya. Pertanyaannya, mengapa kekerasan dan destruksi ini terus berlangsung? Penyelesaiannya?

Eksploitasi dan Komersialisasi
       Ada dua penyebab utama banjir yang kini amat mencemaskan, yaitu eksploitasi dan komersialisasi lingkungan melalui kartel "oknum" pelaku ekonomi dan pengambil kebijakan yang mengutamakan kepentingan sesaat.
       Secara sekuler dan brutal mereka memperdaya lahan melalui eksploitasi dan komersialisasi manfaat. Pengembangan permukiman mewah, restoran, hotel, supermarket dengan bangunan beton di atas zona produksi, resapan, dan lindung yang terus meluas merupakan moda untuk memenuhi kepentingan individu dengan mengorbankan rakyat.
       Penutupan lahan dengan semen dan aspal kian tidak terkendali, eliminasi ruang terbuka hijau tidak terbendung, aturan hukum ditabrak beramai-ramai, tanah menjadi impermeable, tidak meloloskan air dan menjadi rentan kekeringan.
       Banjir, genangan, dan bencana akan memukul perekonomian nasional karena menyebabkan sistem produksi dan risiko kian besar dengan ketidakpastian semakin tinggi.
       Tak heran jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, penanggulangan kemiskinan tidak selesai dalam waktu dekat karena selain masih tingginya angka kemiskinan, Pemerintah masih harus menghadapi bencana banjir dan genangan yang besarannya kian mencemaskan.

"Regrouping" Sektoral
       Perilaku antagonis horizontal (antarsektor) dan vertikal (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota) dalam penanggulangan banjir dan genangan akibat perbedaan cara pandang dan kepentingan merupakan faktor dominan tersendatnya penyelesaian masalah banjir. Forum koordinasi antarsektor, forum menko, tampaknya belum mampu mereduksi apalagi mengeliminasi perilaku antagonis antarsektor karena tidak ada sanksi jelas dan tegas.
       Teladan perilaku antagonis horizontal terlihat jelas dalam pemberian izin mendirikan bangunan di zona produksi, resapan, dan penanaman tanaman pohon di wilayah itu. Hal ini diperburuk dengan bertabrakannya kebijakan gubernur dan bupati dalam mengelola kawasan. Membangun di sempadan sungai, yang secara hukum dilarang, tetap dilakukan akibat kian menurunnya kontrol pusat terhadap provinsi maupun provinsi terhadap kabupaten/kota. Fenomena ini akan terus terjadi dan bentuknya cenderung diversified dan uncontrolable karena pelakunya selalu berlindung di balik "oknum penguasa".
       Guna mengatasi masalah banjir perlu secepatnya dilakukan regrouping sektoral dan zero cutting tres. Langkah pertama diperlukan agar keputusan penanggulangan banjir dan dapat dimintakan pertanggungjawabannya.
       Langkah kedua diperlukan agar land cover recovery bisa dipercepat dan kualitasnya ditingkatkan. Departemen Pertanian, Kehutanan, Lingkungan Hidup, dan direktorat jenderal yang menangani air, penataan ruang, dan perizinannya di Departemen Pekerjaan Umum harus regroup agar penanganan banjir dapat dilakukan secara utuh.
       Regrouping sektoral harus diikuti di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota agar komando bisa berjalan simultan. Test case pertama implementasi regrouping sektoral adalah penerapan zero cutting tres untuk kawasan hutan dan non hutan selama periode tertentu. Diperlukan dukungan partisipasi masyarakat agar penanggulangan banjir dan genangan dapat dilakukan maksimal.
       Secara simultan Pemerintah harus memproduksi teknologi budidaya pada lahan berlereng (sloping land) karena lahan ini relatif subur untuk high added value crops. Targetnya, sedimen dan aliran permukaan dari sloping land yang selama ini dominan dapat direduksi.
       Melalui penugasan langsung, Menteri Pertanian, Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air telah menginisiasi pengembangan budidaya di lahan berlereng dengan kombinasi komoditas bernilai ekonomi tinggi.
       Hasilnya, laju erosi dan volume aliran permukaan dapat diturunkan lebih dari 30 persen. Benefit lainnya, input, biaya produksi, dan risiko usaha tani bisa diturunkan dan keberlanjutan usaha pertanian dapat diwujudkan.

       Rakyat menunggu upaya itu. Kerja sama setara antara masyarakat dan Pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota amat besar perannya dalam menanggulangi banjir dan menghapus kemiskinan.

(Tulisan ini dimuat pada: Harian Umum Kompas – 6 Pebruari 2007)

Tidak ada komentar: