Jakarta banjir. Dan banjir kali ini
merupakan pengulangan kejadian serupa, lima tahun lalu (2002).
Sayang, meski merupakan kejadian
periodikal, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kurang melakukan antisipasi
memadai. Korban dan penerima dampak adalah rakyat miskin karena permukiman,
akses jalan, dan infrastruktur porak poranda.
Itu sebabnya.
Itu sebabnya.
Meski Presiden telah memberikan atensinya
dan masyarakat merespons dengan antusias, persoalan fundamentalnya tidak
terselesaikan karena orang-orang penyebab banjir tidak tersentuh hukum.
Ketimpangan ini merupakan bentuk
kekerasan dan destruksi ekonomi secara sistemis, Pemerintah harus
menghentikannya. Pertanyaannya, mengapa kekerasan dan destruksi ini terus
berlangsung? Penyelesaiannya?
Eksploitasi dan Komersialisasi
Ada dua penyebab utama banjir yang kini
amat mencemaskan, yaitu eksploitasi dan komersialisasi lingkungan melalui
kartel "oknum" pelaku ekonomi dan pengambil kebijakan yang
mengutamakan kepentingan sesaat.
Secara sekuler dan brutal mereka
memperdaya lahan melalui eksploitasi dan komersialisasi manfaat. Pengembangan
permukiman mewah, restoran, hotel, supermarket dengan bangunan beton di atas
zona produksi, resapan, dan lindung yang terus meluas merupakan moda untuk
memenuhi kepentingan individu dengan mengorbankan rakyat.
Penutupan lahan dengan semen dan aspal
kian tidak terkendali, eliminasi ruang terbuka hijau tidak terbendung, aturan
hukum ditabrak beramai-ramai, tanah menjadi impermeable,
tidak meloloskan air dan menjadi rentan kekeringan.
Banjir, genangan, dan bencana akan
memukul perekonomian nasional karena menyebabkan sistem produksi dan risiko
kian besar dengan ketidakpastian semakin tinggi.
Tak heran jika Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menyatakan, penanggulangan kemiskinan tidak selesai dalam waktu dekat
karena selain masih tingginya angka kemiskinan, Pemerintah masih harus
menghadapi bencana banjir dan genangan yang besarannya kian mencemaskan.
"Regrouping" Sektoral
Perilaku antagonis horizontal
(antarsektor) dan vertikal (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota) dalam
penanggulangan banjir dan genangan akibat perbedaan cara pandang dan
kepentingan merupakan faktor dominan tersendatnya penyelesaian masalah banjir.
Forum koordinasi antarsektor, forum menko, tampaknya belum mampu mereduksi
apalagi mengeliminasi perilaku antagonis antarsektor karena tidak ada sanksi
jelas dan tegas.
Teladan perilaku antagonis horizontal
terlihat jelas dalam pemberian izin mendirikan bangunan di zona produksi, resapan,
dan penanaman tanaman pohon di wilayah itu. Hal ini diperburuk dengan
bertabrakannya kebijakan gubernur dan bupati dalam mengelola kawasan. Membangun
di sempadan sungai, yang secara hukum dilarang, tetap dilakukan akibat kian
menurunnya kontrol pusat terhadap provinsi maupun provinsi terhadap
kabupaten/kota. Fenomena ini akan terus terjadi dan bentuknya cenderung diversified dan uncontrolable karena pelakunya selalu berlindung di balik
"oknum penguasa".
Guna mengatasi masalah banjir perlu
secepatnya dilakukan regrouping
sektoral dan zero cutting tres.
Langkah pertama diperlukan agar keputusan penanggulangan banjir dan dapat
dimintakan pertanggungjawabannya.
Langkah kedua diperlukan agar land cover recovery bisa dipercepat dan
kualitasnya ditingkatkan. Departemen Pertanian, Kehutanan, Lingkungan Hidup,
dan direktorat jenderal yang menangani air, penataan ruang, dan perizinannya di
Departemen Pekerjaan Umum harus regroup
agar penanganan banjir dapat dilakukan secara utuh.
Regrouping
sektoral harus diikuti di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota agar komando
bisa berjalan simultan. Test case
pertama implementasi regrouping
sektoral adalah penerapan zero cutting
tres untuk kawasan hutan dan non hutan selama periode tertentu. Diperlukan
dukungan partisipasi masyarakat agar penanggulangan banjir dan genangan dapat
dilakukan maksimal.
Secara simultan Pemerintah harus
memproduksi teknologi budidaya pada lahan berlereng (sloping land) karena lahan ini relatif subur untuk high added value crops. Targetnya, sedimen
dan aliran permukaan dari sloping land
yang selama ini dominan dapat direduksi.
Melalui penugasan langsung, Menteri
Pertanian, Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air telah menginisiasi
pengembangan budidaya di lahan berlereng dengan kombinasi komoditas bernilai
ekonomi tinggi.
Hasilnya, laju erosi dan volume aliran
permukaan dapat diturunkan lebih dari 30 persen. Benefit lainnya, input, biaya
produksi, dan risiko usaha tani bisa diturunkan dan keberlanjutan usaha
pertanian dapat diwujudkan.
Rakyat menunggu upaya itu. Kerja sama
setara antara masyarakat dan Pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota amat
besar perannya dalam menanggulangi banjir dan menghapus kemiskinan.
(Tulisan ini dimuat pada: Harian Umum Kompas – 6 Pebruari 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar