Jumat, 08 Agustus 2014

KEKERINGAN DAN KONFLIK AIR

     Musim kemarau kali ini terasa sangat terik, tidak saja pada siang hari, melainkan juga pada malam hari. Petani yang menanam gadu ilegal menjerit kekeringan, sementara yang di hulu menganggap musim kemarau sebagai periode ideal untuk meningkatan produktivitas dan pendapatan. Mengapa kekeringan terus berulang dengan besaran terus meningkat? Seperti apa potret kekeringan yang sebenarnya terjadi di lapangan, dan bagaimana solusi menyeluruhnya?
   Kekeringan pada musim kemarau sebenarnya merupakan fenomena musiman (seasonal) biasa. Kekeringan menjadi semakin parah dengan meluasnya degradasi lingkungan akibat alih fungsi lahan bervegetasi ke permukiman yang impermeable. Dampaknya, pengisian air (water recharging) ke dalam tanah pada musim hujan anjlok drastis, sehingga storage air musim kemarau rendah.
       Permintaan air yang terus meningkat, sementara pasokannya cenderung menurun, menyebabkan besaran kekeringan terus meningkat. Tekornya pasokan air ini diperparah dengan tata kelola air antar-sektor (pertanian, domestik, munisipal, dan industri) maupun antar-wilayah (hulu tengah dan hilir) yang buruk sehingga memosisikan petani miskin di wilayah hilir semakin termarjinalkan.
       Berkaitan dengan potret kekeringan yang dilansir media, hasil pemantauan lapangan menunjukkan bahwa setidaknya ada enam kondisi kekeringan yang berbeda. Spektrumnya mulai dari: (i) tanaman puso akibat kekeringan, (ii) tanaman yang pasokan airnya berkurang sehingga produktivitasnya menurun, (iii) tidak tersedia air untuk mengolah tanah, (iv) tidak tersedia sumber air minum akibat mengeringnya sumber air, (v) pertanaman padi menjelang panen yang tanahnya retak, dan (vi) tanah bera yang retak tanpa tanaman. Dua kekeringan yang terakhir merupakan bentuk tafsir sesat kekeringan oleh media dalam pemaknaan kekeringan. Sementara itu, berdasarkan lokasinya, kekeringan pertanaman terjadi di sawah tadah hujan dan gadu tanpa izin (gadu hekad) di daerah hilir golongan air (tail).
       Sesungguhnya semua pihak menyadari bahwa pada musim kemarau, pasokan air tidak akan pernah mencukupi untuk mengairi seluruh pertanaman padi. Itulah sebabnya, diperlukan negosiasi antar-perkumpulan petani pemakai air (P3A) untuk menentukan siapa menanam apa, berapa luas, dan di mana komoditas itu dibudidayakan.
      Melalui Water Irrigation Sector Management Project (WISMP) dan Partisipatory Irrigation Sector Project (PISP), yang merupakan program lintas Departemen Pekerjaan Umum, Pertanian, dan Dalam Negeri, dapat difasilitasi akses kredit, pascapanen, pengolahan hasil dan pemasaran, sehingga petani di hilir dapat menanam high added value crops pada musim kemarau tanpa harus memaksakan menanam padi. Pendekatan ini memungkinkan petani dapat memutus siklus hama, meningkatkan pendapatan, sekaligus mereduksi konflik air.
Derita petani akibat kekeringan ini sebenarnya dapat diminimalkan apabila komitmen negara-negara industri maju, kaya dalam mitigasi dan adaptasi global climate change, segera direalisasikan. Keengganan negara penghasil gas rumah kaca utama yang dimotori Amerika dan Australia menurunkan emisinya memosisikan petani di sentra produksi pangan Indonesia yang sangat sensitif terhadap El Nino dan La Nina semakin lama menderita.
       Indonesia harus dapat memanfaatkan pertemuan para pihak (conference of parties) ke-13, yang direncanakan berlangsung di Bali pada Desember 2007. Melalui mekanisme perdagangan karbon, Indonesia dapat bertransaksi dengan negara maju yang berkewajiban menurunkan gas emisinya untuk memperoleh sumber pendanaan baru dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Dalam konteks bisnis, Pemerintah Indonesia harus cermat dalam menyiapkan perangkat hukum dan regulasinya agar tidak terjebak pada masalah baru yang akan justru membebani masyarakat.
   Ada tiga program besar yang harus segera dikerjakan secara simultan untuk menyelesaikan masalah kekeringan, yaitu aspek asupan (input), aspek wadah (sistem), dan aspek luaran (output). Berdasarkan data defisit air aktual dan tren kebutuhan air 20 tahun mendatang, Jawa memerlukan tambahan 5 milyar meter kubik air atau lima waduk besar seperti Jatiluhur. Karena lokasinya sulit didapatkan dan biaya pembebasannya mahal, maka tambahan air harus dilakukan melalui pembangunan waduk kecil dalam jumlah banyak. Berbasis jumlah desa di Indonesia yang 70.611 desa, setidaknya diperlukan kapasitas tampungan air 100.000 meter kubik tiap desa untuk menyelamatkan Indonesia dari kekeringan.

      Perbaikan sistem yang sangat mendesak dapat dilakukan melalui penghentian total alih fungsi lahan hutan dan moratorium pembangunan horizontal yang diikuti akselerasi program Gerakan Reboisasi Hutan dan Lahan (Gerhan), Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GNKPA). Optimasi luaran atas sumber daya air dapat dilakukan melalui pengembangan jenis, komposisi, dan proporsi serta posisi komoditas yang diusahakan agar dapat meningkatkan pendapatan petani, sekaligus menekan konflik air dan kekeringan. Semua itu kuncinya terletak pada koordinasi yang sering mudah diucapkan tetapi sangat sulit dilaksanakan.

(Tulisan ini dimuat pada: Majalah Gatra – 3 September 2007)

Tidak ada komentar: