Musim kemarau kali ini terasa sangat
terik, tidak saja pada siang hari, melainkan juga pada malam hari. Petani yang
menanam gadu ilegal menjerit kekeringan, sementara yang di hulu menganggap
musim kemarau sebagai periode ideal untuk meningkatan produktivitas dan
pendapatan. Mengapa kekeringan terus berulang dengan besaran terus meningkat?
Seperti apa potret kekeringan yang sebenarnya terjadi di lapangan, dan
bagaimana solusi menyeluruhnya?
Kekeringan pada musim kemarau sebenarnya
merupakan fenomena musiman (seasonal) biasa. Kekeringan menjadi semakin parah
dengan meluasnya degradasi lingkungan akibat alih fungsi lahan bervegetasi ke
permukiman yang impermeable. Dampaknya, pengisian air (water recharging) ke
dalam tanah pada musim hujan anjlok drastis, sehingga storage air musim kemarau
rendah.
Permintaan air yang terus meningkat,
sementara pasokannya cenderung menurun, menyebabkan besaran kekeringan terus
meningkat. Tekornya pasokan air ini diperparah dengan tata kelola air
antar-sektor (pertanian, domestik, munisipal, dan industri) maupun
antar-wilayah (hulu tengah dan hilir) yang buruk sehingga memosisikan petani
miskin di wilayah hilir semakin termarjinalkan.
Berkaitan dengan potret kekeringan yang
dilansir media, hasil pemantauan lapangan menunjukkan bahwa setidaknya ada enam
kondisi kekeringan yang berbeda. Spektrumnya mulai dari: (i) tanaman puso
akibat kekeringan, (ii) tanaman yang pasokan airnya berkurang sehingga
produktivitasnya menurun, (iii) tidak tersedia air untuk mengolah tanah, (iv)
tidak tersedia sumber air minum akibat mengeringnya sumber air, (v) pertanaman padi
menjelang panen yang tanahnya retak, dan (vi) tanah bera yang retak tanpa
tanaman. Dua kekeringan yang terakhir merupakan bentuk tafsir sesat kekeringan
oleh media dalam pemaknaan kekeringan. Sementara itu, berdasarkan lokasinya,
kekeringan pertanaman terjadi di sawah tadah hujan dan gadu tanpa izin (gadu
hekad) di daerah hilir golongan air (tail).
Sesungguhnya semua pihak menyadari bahwa
pada musim kemarau, pasokan air tidak akan pernah mencukupi untuk mengairi
seluruh pertanaman padi. Itulah sebabnya, diperlukan negosiasi
antar-perkumpulan petani pemakai air (P3A) untuk menentukan siapa menanam apa,
berapa luas, dan di mana komoditas itu dibudidayakan.
Melalui Water Irrigation Sector
Management Project (WISMP) dan Partisipatory Irrigation Sector Project (PISP),
yang merupakan program lintas Departemen Pekerjaan Umum, Pertanian, dan Dalam
Negeri, dapat difasilitasi akses kredit, pascapanen, pengolahan hasil dan
pemasaran, sehingga petani di hilir dapat menanam high added value crops pada
musim kemarau tanpa harus memaksakan menanam padi. Pendekatan ini memungkinkan
petani dapat memutus siklus hama, meningkatkan pendapatan, sekaligus mereduksi
konflik air.
Derita
petani akibat kekeringan ini sebenarnya dapat diminimalkan apabila komitmen
negara-negara industri maju, kaya dalam mitigasi dan adaptasi global climate
change, segera direalisasikan. Keengganan negara penghasil gas rumah kaca utama
yang dimotori Amerika dan Australia menurunkan emisinya memosisikan petani di
sentra produksi pangan Indonesia yang sangat sensitif terhadap El Nino dan La
Nina semakin lama menderita.
Indonesia harus dapat memanfaatkan
pertemuan para pihak (conference of parties) ke-13, yang direncanakan
berlangsung di Bali pada Desember 2007. Melalui mekanisme perdagangan karbon,
Indonesia dapat bertransaksi dengan negara maju yang berkewajiban menurunkan
gas emisinya untuk memperoleh sumber pendanaan baru dalam mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim. Dalam konteks bisnis, Pemerintah Indonesia harus cermat dalam
menyiapkan perangkat hukum dan regulasinya agar tidak terjebak pada masalah
baru yang akan justru membebani masyarakat.
Ada tiga program besar yang harus segera
dikerjakan secara simultan untuk menyelesaikan masalah kekeringan, yaitu aspek
asupan (input), aspek wadah (sistem), dan aspek luaran (output). Berdasarkan
data defisit air aktual dan tren kebutuhan air 20 tahun mendatang, Jawa
memerlukan tambahan 5 milyar meter kubik air atau lima waduk besar seperti
Jatiluhur. Karena lokasinya sulit didapatkan dan biaya pembebasannya mahal,
maka tambahan air harus dilakukan melalui pembangunan waduk kecil dalam jumlah
banyak. Berbasis jumlah desa di Indonesia yang 70.611 desa, setidaknya
diperlukan kapasitas tampungan air 100.000 meter kubik tiap desa untuk
menyelamatkan Indonesia dari kekeringan.
Perbaikan sistem yang sangat mendesak
dapat dilakukan melalui penghentian total alih fungsi lahan hutan dan
moratorium pembangunan horizontal yang diikuti akselerasi program Gerakan
Reboisasi Hutan dan Lahan (Gerhan), Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air
(GNKPA). Optimasi luaran atas sumber daya air dapat dilakukan melalui
pengembangan jenis, komposisi, dan proporsi serta posisi komoditas yang
diusahakan agar dapat meningkatkan pendapatan petani, sekaligus menekan konflik
air dan kekeringan. Semua itu kuncinya terletak pada koordinasi yang sering
mudah diucapkan tetapi sangat sulit dilaksanakan.
(Tulisan ini dimuat pada: Majalah Gatra – 3 September 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar