Jumat, 08 Agustus 2014

MENYOAL HAK GUNA PAKAI AIR DAN DAMPAKNYA

SETELAH pertambangan dan kehutanan diprivatisasi dan diliberalisasi, maka air merupakan target berikutnya apabila Mahkamah Konstitusi menolak gugatan judicial review Nomor 059-060/PUU-II/2004 yang diajukan oleh 868 warga negara Indonesia dan 16 organisasi masyarakat.
SAAT itulah aspek legal formal tentang hak guna pakai air sebagai entry point eksploitasi dan pengurasan kekayaan alam nasional mendapatkan perlindungan hukum maksimalnya. Kulminasi ini memosisikan Indonesia memasuki babak baru dalam kolonisasi total kekayaan alam yang menurut amanah Pasal 33 Ayat (2), (3), dan (4) Undang-Undang Dasar 1945 harus dikelola negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Itulah sebabnya, semua golongan umat beragama sepakat bulat untuk menolak total terhadap pemberian hak guna pakai air dengan segala bentuk dan manifestasinya seperti yang tersirat maupun tersurat pada Pasal 7 Ayat (1) dan (2), Pasal 8 Ayat (1), Pasal 9 Ayat (1), dan semua pasal pelaksanaan yang berkaitan dengannya dalam UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA).
Mengapa pemberian hak guna pakai air kepada swasta yang mengarah privatisasi air dengan segala bentuk dan karakteristiknya harus dihentikan?
Argumen faktual dan praktikalnya, hak guna pakai air akan mendorong terjadinya: (1) komodifikasi air sehingga akan mendistruksi fungsi sosial air, padahal air adalah unsur utama kehidupan; (2) perbedaan (disparitas) harga air sehingga alokasi air akan diprioritaskan untuk memperoleh nilai tambah langsung dan maksimum; (3) liberalisasi kompetisi penggunaan air antarsektor, menyebabkan sektor yang lemah (pertanian) akan terlindas sektor yang lebih kuat (industri dan air minum); (4) eksploitasi ekonomi, sosial, dan politik sektor swasta terhadap masyarakat miskin dalam bentuk ketergantungan dan pengenaan tarif yang mahal; (5) Pemerintah tidak dapat membatalkan hak guna pakai air meskipun merugikan masyarakat, kecuali melalui pengadilan.
Prosesnya lama, biayanya mahal, sehingga akan merugikan masyarakat. Kompleksitas dampak menurut ruang dan waktu ini harus dicermati Pemerintah dan Mahkamah Konstitusi yang dalam waktu dekat akan memutuskan sidang gugatan judicial review terhadap UU SDA. Ironisnya, keresahan horizontal maupun vertikal masyarakat yang mengkristal sejak awal kurang direspons positif oleh Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah (Menkimpraswil) selaku inisiatornya maupun Menteri Pekerjaan Umum selaku penerusnya.
Dalam berbagai kesempatan kunjungan, Menkimpraswil dengan diplomasi tingkat tinggi mengatakan bahwa tidak ada satu kata privatisasi pun dalam UU SDA. Pernyataan tersebut sepintas benar, tetapi jika dikaji lebih mendalam, maka jiwa, semangat, dan landasan fundamental UU SDA adalah dimungkinkannya pemberian hak guna pakai air kepada swasta. Artinya, swasta dapat menguasai dan memanfaatkan hak guna pakai air untuk keperluan bisnis airnya.
Ironis memang, swasta dapat diberikan izin mengambil air begitu saja dari mata air milik masyarakat, kemudian menjualnya kepada masyarakat dengan harga yang sangat mahal dibandingkan dengan bensin sekalipun. Padahal, biaya eksplorasi dan eksploitasi air jauh lebih murah dibandingkan dengan minyak. Bisnis air memang sangat menggiurkan. Itulah sebabnya banyak unvisible hand berkepentingan terhadap judicial review UU SDA.
Perlu diingat bahwa UU SDA akan lebih banyak berdampak negatif terhadap sektor kehidupan jangka panjang yang boleh jadi para pemrakarsa, pembuat, pengusung, dan pemutus judicial review UU SDA sudah tidak merasakan lagi sehingga akan sangat bijaksana kalau privatisasi air dapat dihentikan secepatnya agar generasi mendatang tidak menanggung derita.
Berkaitan dengan privatisasi air, ada dua modus pemanfaatan hak guna air yang berkembang dan harus mendapatkan perhatian semua pihak. Pertama, penguasaan sumber mata air dan perusahaan daerah air minum oleh swasta asing. Kedua, penentuan harga secara sepihak oleh produsen air kemasan dan air minum.
Saat ini saja, dalam kondisi yang belum diliberalisasi, penguasaan atas sumber mata air potensial dan pengelolaan perusahaan air minum oleh swasta asing meningkat secara signifikan. Meresahkan lagi, penguasaan atas sumber mata air potensial dan perusahaan air minum strategis lebih dominan dilakukan di Jawa yang sangat padat penduduk dan pada musim kemarau sudah terjadi kelangkaan air (water scarcity).
Demikian juga dengan investasi di luar Jawa, semuanya dilakukan di daerah padat, seperti Medan, Denpasar, Manado, bukan di wilayah kering seperti Nusa Tenggara Timur. Memanfaatkan political disintegration di tingkat Pemerintahan, keunggulan pendanaan, akses birokrasi, dan lobi politik internasional, dan nasional, serta celah kekosongan perundangan akibat belum tersedianya peraturan Pemerintah, raksasa air telah gencar mengambil alih sumber mata air potensial milik masyarakat dan mencoba "membujuk" perusahaan daerah air minum milik Pemerintah untuk diswastanisasi melalui modus kerja sama.
Penentuan harga air kemasan dan air minum secara sepihak sebagai modus kedua terlihat langsung dengan naiknya harga air kemasan sampai 30 persen dan lebih dari 20 persen untuk air minum dengan memanfaatkan momentum kenaikan harga bahan bakar minyak.
Padahal, komponen biaya transportasi air baku relatif rendah dan sekali lagi masyarakat tidak punya pilihan lain kecuali menerimanya. Modus menaikkan harga tersebut akan selalu dilakukan bersamaan dengan momen penting seperti hari raya umat beragama, depresiasi rupiah terhadap dollar AS, dan berbagai momentum lainnya sampai air mendekati harga internasionalnya.
Eksploitasi harga air akan sangat mudah dilakukan karena air merupakan barang unique yang tidak ada substitusinya (nonsubstitution good) sehingga harga dan suplainya sangat mudah dipermainkan, apalagi pasarnya oligopolistik. Singkatnya, berapa pun harganya dan di mana pun air ada, konsumen akan mencarinya karena air merupakan elemen utama. Saat itu dampak privatisasi air terhadap penguatan imperialisme air tahap satu terjadi.
Kecenderungan volume air dapat digunakan (utilisable water) yang terus menurun akan menyebabkan terjadinya pergeseran pola alokasi (allocation pattern), distribusi dan pembagian antarsektor pertanian, domestik dan industri secara spasial dan temporal. Perbedaan dalam hal nilai tambah langsung, kemampuan modal dan akses teknologi, serta benefit antara sektor pertanian dan industri menyebabkan pasokan air untuk pertanian terus mengalami tekanan, sehingga berdampak terhadap penurunan kemampuan produksi pertanian nasional.
Kondisi ini akan menjadikan ketergantungan Indonesia terhadap produksi pertanian impor yang sudah demikian besar semakin meningkat. Fakta tersebut sudah terjadi di kawasan pantura sebagai sentra produksi pangan nasional dan diprakirakan akan semakin parah dan meluas di daerah lain apabila privatisasi air tidak dapat dihentikan. Saat itulah terjadi pelemahan kemandirian Indonesia dalam pemenuhan permintaan produk pertanian dalam negeri sehingga imperialisme tahap kedua yang sangat menakutkan terjadi.
Seterusnya, para kapitalis akan mendesak dengan meminta konsesi yang lebih besar, lebih lama untuk mengeruk keuntungan. Setelah semua sektor diliberalisasi, maka skenario konsesi yang lebih besar sudah menunggu sampai Indonesia lumpuh tidak berdaya dan mau mengikuti semua kehendak rentenir dan kapitalis modern yang selalu menginginkan keuntungan tak terbatas.
Indonesia harus secepatnya keluar dari rantai rentenir privatisasi internasional tanpa perlu khawatir dengan ancaman larinya investor air internasional, karena momentum tersebut merupakan tantangan untuk pembenahan pengelolaan SDA nasional.
Kekayaan alam yang melimpah, dengan didukung semua golongan umat beragama, Indonesia harus memulai mengelola kekayaan alamnya sendiri untuk sebesar-besarnya kemakmuran umat, tanpa didikte pihak asing yang justru lebih banyak mendatangkan mudarat dibandingkan manfaatnya.
Pertanyaan menggelitik selanjutnya adalah: bagaimana kalau Mahkamah Konstitusi menolak gugatan judicial review? Sebelum sampai pada putusan final, maka langkah religius yang harus dilakukan adalah berdoa bersama agar semua hakim Mahkamah Konstitusi dibuka mata hati dan batinnya untuk menerima judicial review dan menolak privatisasi air yang dipastikan akan menimbulkan derita masyarakat.
Apabila Mahkamah Konstitusi tetap menolak, maka boikot produk air kemasan yang terbukti menyengsarakan rakyat dan akhiri secepatnya privatisasi PDAM adalah pilihan yang harus dilakukan. Selanjutnya pada pemilihan umum berikutnya rakyat harus merapatkan barisan dan menyatukan langkah untuk tidak memilih pemimpin (Presiden dan DPR) yang menggadaikan air sebagai kekayaan alam untuk kepentingan individu.
Rakyat sebenarnya sudah melakukan saat pemilihan umum lalu dengan tidak memberikan kemenangan kepada partai pendukung fanatik pengusul UU SDA. Ternyata itu belum cukup, mari kita tunggu putusan finalnya.

(Tulisan ini dimuat pada : media Kompas – 4 Juni 2005)

Tidak ada komentar: