SETELAH pertambangan dan kehutanan
diprivatisasi dan diliberalisasi, maka air merupakan target berikutnya apabila
Mahkamah Konstitusi menolak gugatan judicial review Nomor 059-060/PUU-II/2004
yang diajukan oleh 868 warga negara Indonesia dan 16 organisasi masyarakat.
SAAT itulah aspek legal formal tentang hak
guna pakai air sebagai entry point
eksploitasi dan pengurasan kekayaan alam nasional mendapatkan perlindungan
hukum maksimalnya. Kulminasi ini memosisikan Indonesia memasuki babak baru
dalam kolonisasi total kekayaan alam yang menurut amanah Pasal 33 Ayat (2),
(3), dan (4) Undang-Undang Dasar 1945 harus dikelola negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Itulah sebabnya, semua golongan umat
beragama sepakat bulat untuk menolak total terhadap pemberian hak guna pakai
air dengan segala bentuk dan manifestasinya seperti yang tersirat maupun
tersurat pada Pasal 7 Ayat (1) dan (2), Pasal 8 Ayat (1), Pasal 9 Ayat (1), dan
semua pasal pelaksanaan yang berkaitan dengannya dalam UU Nomor 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air (UU SDA).
Mengapa pemberian hak guna pakai air kepada
swasta yang mengarah privatisasi air dengan segala bentuk dan karakteristiknya
harus dihentikan?
Argumen faktual dan praktikalnya, hak guna
pakai air akan mendorong terjadinya: (1) komodifikasi air sehingga akan
mendistruksi fungsi sosial air, padahal air adalah unsur utama kehidupan; (2)
perbedaan (disparitas) harga air sehingga alokasi air akan diprioritaskan untuk
memperoleh nilai tambah langsung dan maksimum; (3) liberalisasi kompetisi
penggunaan air antarsektor, menyebabkan sektor yang lemah (pertanian) akan
terlindas sektor yang lebih kuat (industri dan air minum); (4) eksploitasi
ekonomi, sosial, dan politik sektor swasta terhadap masyarakat miskin dalam
bentuk ketergantungan dan pengenaan tarif yang mahal; (5) Pemerintah tidak
dapat membatalkan hak guna pakai air meskipun merugikan masyarakat, kecuali
melalui pengadilan.
Prosesnya lama, biayanya mahal, sehingga
akan merugikan masyarakat. Kompleksitas dampak menurut ruang dan waktu ini
harus dicermati Pemerintah dan Mahkamah Konstitusi yang dalam waktu dekat akan
memutuskan sidang gugatan judicial review
terhadap UU SDA. Ironisnya, keresahan horizontal maupun vertikal masyarakat
yang mengkristal sejak awal kurang direspons positif oleh Menteri Permukiman
dan Prasarana Wilayah (Menkimpraswil) selaku inisiatornya maupun Menteri
Pekerjaan Umum selaku penerusnya.
Dalam berbagai kesempatan kunjungan,
Menkimpraswil dengan diplomasi tingkat tinggi mengatakan bahwa tidak ada satu
kata privatisasi pun dalam UU SDA. Pernyataan tersebut sepintas benar, tetapi
jika dikaji lebih mendalam, maka jiwa, semangat, dan landasan fundamental UU
SDA adalah dimungkinkannya pemberian hak guna pakai air kepada swasta. Artinya,
swasta dapat menguasai dan memanfaatkan hak guna pakai air untuk keperluan
bisnis airnya.
Ironis memang, swasta dapat diberikan izin
mengambil air begitu saja dari mata air milik masyarakat, kemudian menjualnya
kepada masyarakat dengan harga yang sangat mahal dibandingkan dengan bensin
sekalipun. Padahal, biaya eksplorasi dan eksploitasi air jauh lebih murah
dibandingkan dengan minyak. Bisnis air memang sangat menggiurkan. Itulah
sebabnya banyak unvisible hand
berkepentingan terhadap judicial review
UU SDA.
Perlu diingat bahwa UU SDA akan lebih banyak
berdampak negatif terhadap sektor kehidupan jangka panjang yang boleh jadi para
pemrakarsa, pembuat, pengusung, dan pemutus judicial
review UU SDA sudah tidak merasakan lagi sehingga akan sangat bijaksana
kalau privatisasi air dapat dihentikan secepatnya agar generasi mendatang tidak
menanggung derita.
Berkaitan dengan privatisasi air, ada dua
modus pemanfaatan hak guna air yang berkembang dan harus mendapatkan perhatian
semua pihak. Pertama, penguasaan sumber mata air dan perusahaan daerah air
minum oleh swasta asing. Kedua, penentuan harga secara sepihak oleh produsen
air kemasan dan air minum.
Saat ini saja, dalam kondisi yang belum
diliberalisasi, penguasaan atas sumber mata air potensial dan pengelolaan
perusahaan air minum oleh swasta asing meningkat secara signifikan. Meresahkan
lagi, penguasaan atas sumber mata air potensial dan perusahaan air minum
strategis lebih dominan dilakukan di Jawa yang sangat padat penduduk dan pada
musim kemarau sudah terjadi kelangkaan air (water
scarcity).
Demikian juga dengan investasi di luar Jawa,
semuanya dilakukan di daerah padat, seperti Medan, Denpasar, Manado, bukan di
wilayah kering seperti Nusa Tenggara Timur. Memanfaatkan political disintegration di tingkat Pemerintahan, keunggulan
pendanaan, akses birokrasi, dan lobi politik internasional, dan nasional, serta
celah kekosongan perundangan akibat belum tersedianya peraturan Pemerintah,
raksasa air telah gencar mengambil alih sumber mata air potensial milik
masyarakat dan mencoba "membujuk" perusahaan daerah air minum milik Pemerintah
untuk diswastanisasi melalui modus kerja sama.
Penentuan harga air kemasan dan air minum
secara sepihak sebagai modus kedua terlihat langsung dengan naiknya harga air
kemasan sampai 30 persen dan lebih dari 20 persen untuk air minum dengan
memanfaatkan momentum kenaikan harga bahan bakar minyak.
Padahal, komponen biaya transportasi air
baku relatif rendah dan sekali lagi masyarakat tidak punya pilihan lain kecuali
menerimanya. Modus menaikkan harga tersebut akan selalu dilakukan bersamaan
dengan momen penting seperti hari raya umat beragama, depresiasi rupiah
terhadap dollar AS, dan berbagai momentum lainnya sampai air mendekati harga
internasionalnya.
Eksploitasi harga air akan sangat mudah
dilakukan karena air merupakan barang unique yang tidak ada substitusinya (nonsubstitution good) sehingga harga dan
suplainya sangat mudah dipermainkan, apalagi pasarnya oligopolistik.
Singkatnya, berapa pun harganya dan di mana pun air ada, konsumen akan
mencarinya karena air merupakan elemen utama. Saat itu dampak privatisasi air
terhadap penguatan imperialisme air tahap satu terjadi.
Kecenderungan volume air dapat digunakan (utilisable water) yang terus menurun
akan menyebabkan terjadinya pergeseran pola alokasi (allocation pattern), distribusi dan pembagian antarsektor
pertanian, domestik dan industri secara spasial dan temporal. Perbedaan dalam
hal nilai tambah langsung, kemampuan modal dan akses teknologi, serta benefit
antara sektor pertanian dan industri menyebabkan pasokan air untuk pertanian
terus mengalami tekanan, sehingga berdampak terhadap penurunan kemampuan
produksi pertanian nasional.
Kondisi ini akan menjadikan ketergantungan
Indonesia terhadap produksi pertanian impor yang sudah demikian besar semakin
meningkat. Fakta tersebut sudah terjadi di kawasan pantura sebagai sentra produksi
pangan nasional dan diprakirakan akan semakin parah dan meluas di daerah lain
apabila privatisasi air tidak dapat dihentikan. Saat itulah terjadi pelemahan
kemandirian Indonesia dalam pemenuhan permintaan produk pertanian dalam negeri
sehingga imperialisme tahap kedua yang sangat menakutkan terjadi.
Seterusnya, para kapitalis akan mendesak
dengan meminta konsesi yang lebih besar, lebih lama untuk mengeruk keuntungan.
Setelah semua sektor diliberalisasi, maka skenario konsesi yang lebih besar
sudah menunggu sampai Indonesia lumpuh tidak berdaya dan mau mengikuti semua
kehendak rentenir dan kapitalis modern yang selalu menginginkan keuntungan tak
terbatas.
Indonesia harus secepatnya keluar dari
rantai rentenir privatisasi internasional tanpa perlu khawatir dengan ancaman
larinya investor air internasional, karena momentum tersebut merupakan
tantangan untuk pembenahan pengelolaan SDA nasional.
Kekayaan alam yang melimpah, dengan didukung
semua golongan umat beragama, Indonesia harus memulai mengelola kekayaan
alamnya sendiri untuk sebesar-besarnya kemakmuran umat, tanpa didikte pihak
asing yang justru lebih banyak mendatangkan mudarat dibandingkan manfaatnya.
Pertanyaan menggelitik selanjutnya adalah:
bagaimana kalau Mahkamah Konstitusi menolak gugatan judicial review? Sebelum sampai pada putusan final, maka langkah
religius yang harus dilakukan adalah berdoa bersama agar semua hakim Mahkamah
Konstitusi dibuka mata hati dan batinnya untuk menerima judicial review dan menolak privatisasi air yang dipastikan akan
menimbulkan derita masyarakat.
Apabila Mahkamah Konstitusi tetap menolak,
maka boikot produk air kemasan yang terbukti menyengsarakan rakyat dan akhiri
secepatnya privatisasi PDAM adalah pilihan yang harus dilakukan. Selanjutnya
pada pemilihan umum berikutnya rakyat harus merapatkan barisan dan menyatukan
langkah untuk tidak memilih pemimpin (Presiden dan DPR) yang menggadaikan air
sebagai kekayaan alam untuk kepentingan individu.
Rakyat
sebenarnya sudah melakukan saat pemilihan umum lalu dengan tidak memberikan
kemenangan kepada partai pendukung fanatik pengusul UU SDA. Ternyata itu belum
cukup, mari kita tunggu putusan finalnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar