Jumat, 08 Agustus 2014

TITIK KULMINASI BENCANA BANJIR

Rentetan bencana banjir luar biasa di Bima, Trenggalek, Sinjai, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Gorontalo, Bone Bolango, dan Tanah Laut, Banjar, Tanah Bumbu, Kotabaru di Kalimantan Selatan, Balikpapan, dan Samarinda di Kalimantan Timur, Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara tampaknya belum mampu memacu adrenalin para pemangku kepentingan menyelesaikan masalah banjir secara menyeluruh.
Padahal alam telah memberikan alarm kuat dan langsung bahwa karakteristik: lokasi, pola, dan waktu banjir secara total telah mengalami perubahan fundamental. Berkaitan lokasi, terjadinya banjir eksepsional saat ini yang hampir menenggelamkan Sulawesi dan Kalimantan yang tutupan lahannya relatif lebih baik dibandingkan Jawa merupakan sinyal buruk yang mencemaskan. Propagasi banjir diprakirakan bergerak ke Sumatera dan Maluku sehingga praktis Indonesia di ambang tenggelam.
Banjir di desa Pinogu, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, misalnya, secara historis bukan merupakan "daerah endemik banjir", menunjukkan terjadi penambahan lokasi rawan banjir. Sementara itu, pola banjir juga mengalami transformasi dari banjir bandang (flash flood) yang sesaat ke banjir dan genangan (flood and inundation) dengan durasi lama. Konsekuensinya, terjadi peningkatan besaran korban, termasuk kerusakan pasca banjir. Waktu terjadinya banjir pada musim yang secara klimatologis merupakan musim kemarau mengindikasikan bahwa sekalipun tanah tidak jenuh, banjir dapat terjadi, termasuk di daerah yang selama ini merupakan daerah arid seperti Jeneponto di Sulawesi Selatan.

Akan Terus Meluas
Alarm perubahan alam secara ekstrem ini diprakirakan terus meluas karena destruktif sestemik lingkungan semakin tidak terkendali, apalagi Pemerintah cenderung melupakan masalah banjir begitu kejadian berlalu. Perilaku destruktif diprakirakan akan meluas baik secara vertikal maupun horizontal, sampai banjir mencapai titik kulminasinya dan memunculkan keseimbangan baru dalam bentuk penyadaran pola pikir dan tindak dalam mitigasi banjir. Apabila hipotesis ini benar, maka masyarakat papa yang tiada berpunya harus membayar biaya sosial penyadaran akan perlunya mitigasi banjir secara menyeluruh. Argumen itu didasari fakta bahwa korban banjir terbesar adalah masyarakat marjinal pinggiran dan petani yang tidak berdaya.
BMG harus meningkatkan akurasi dan frekuensi prakiraannya sehingga terjadinya banjir eksepsional dapat dideteksi lebih dini. Masih rendahnya akurasi prakiraan BMG, terutama prediksi transisi musim hujan ke musim kemarau dan musim kemarau, menyebabkan masyarakat harus menerima dampak banjir. Untuk mereduksi risiko, maka wilayah potensial banjir dan penyimpangan iklim lainnya perlu diberikan prakiraan cuaca secara khusus agar masyarakat dapat melakukan antisipasi lebih dini.
Diperlukan penyusunan program bersama secara lintas sektoral sehingga tekanan dan fokus penanganan mitigasi banjir dapat diformulasikan dan dikoordinasikan langsung dalam bentuk rencana aksi. Melalui penyusunan bersama rencana kerja anggaran kementerian lembaga (RKAKL) sektor terkait, maka sinergi lintas sektor dapat dimaksimalkan sekaligus duplikasi program yang selama ini banyak terjadi dapat dihilangkan. Pendekatan ini memungkinkan ego sektor dapat disinkronkan dan pembebanan tanggung jawab dapat dilakukan sehingga mimpi penanganan banjir yang terintegrasi dapat direalisasikan.

Pengelolaan Wilayah
Apabila pendekatan tersebut masih belum memberikan hasil yang maksimal, Pemerintah dapat membentuk Departemen Pengelolaan Wilayah seperti Perancis yang mempunyai Department d’Amenagement de Teritoire sebagai satu-satunya instansi resmi pengelola daerah aliran sungai, mulai pemberian izin bangunan, pengelolaan air dalam arti luas termasuk masalah banjir dan kekeringan.
Partisipasi publik dalam penanggulangan banjir dapat dilakukan dengan mengembangkan proyek-proyek pemberdayaan masyarakat dengan pola padat karya. Argumennya, permintaan dana sektoral yang sangat besar dengan pola kontraktual terbukti tidak mampu menyelesaikan masalah banjir karena sebagian besar pengelolaannya tidak partisipatif dan kurang transparan sehingga hasilnya tidak sesuai dengan targetnya. Lebih jauh, proyek yang dibangun secara top down akan mendorong terjadinya ketergantungan absolut masyarakat terhadap pendanaan Pemerintah. Dampaknya, rasa memiliki, tanggung jawab, dan keberlanjutan program akan sulit diharapkan.
Belajar dari pengalaman proyek besar kontraktual, Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air Departemen Pertanian mengembangkan pola padat karya untuk rehabilitasi jaringan irigasi tingkat usaha tani, jaringan irigasi desa, pembuatan embung, dan parit di seluruh kabupaten di Indonesia. Hasilnya, keluaran, dampak, dan penerima manfaatnya akan jauh sangat memuaskan karena respons masyarakat sangat tinggi, baik dalam hal partisipasi maupun pemeliharaannya.

Diperlukan kebesaran jiwa Pemerintah di segala strata karena pergeseran model kontraktual ke pengembangan padat karya akan mereduksi para pemburu rente yang selama ini menikmati keuntungan tanpa mengeluarkan keringat.

(Tulisan ini dimuat pada: Harian Umum Kompas - 06 Juli 2006)

Tidak ada komentar: