Rentetan bencana banjir luar biasa di
Bima, Trenggalek, Sinjai, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Gorontalo, Bone
Bolango, dan Tanah Laut, Banjar, Tanah Bumbu, Kotabaru di Kalimantan Selatan,
Balikpapan, dan Samarinda di Kalimantan Timur, Bolaang Mongondow, Sulawesi
Utara tampaknya belum mampu memacu adrenalin para pemangku kepentingan
menyelesaikan masalah banjir secara menyeluruh.
Padahal alam telah memberikan alarm
kuat dan langsung bahwa karakteristik: lokasi, pola, dan waktu banjir secara
total telah mengalami perubahan fundamental. Berkaitan lokasi, terjadinya
banjir eksepsional saat ini yang hampir menenggelamkan Sulawesi dan Kalimantan
yang tutupan lahannya relatif lebih baik dibandingkan Jawa merupakan sinyal
buruk yang mencemaskan. Propagasi banjir diprakirakan bergerak ke Sumatera dan
Maluku sehingga praktis Indonesia di ambang tenggelam.
Banjir di desa Pinogu, Kabupaten Bone
Bolango, Gorontalo, misalnya, secara historis bukan merupakan "daerah
endemik banjir", menunjukkan terjadi penambahan lokasi rawan banjir.
Sementara itu, pola banjir juga mengalami transformasi dari banjir bandang (flash flood) yang sesaat ke banjir dan
genangan (flood and inundation)
dengan durasi lama. Konsekuensinya, terjadi peningkatan besaran korban, termasuk
kerusakan pasca banjir. Waktu terjadinya banjir pada musim yang secara
klimatologis merupakan musim kemarau mengindikasikan bahwa sekalipun tanah
tidak jenuh, banjir dapat terjadi, termasuk di daerah yang selama ini merupakan
daerah arid seperti Jeneponto di Sulawesi Selatan.
Akan Terus Meluas
Alarm perubahan alam secara ekstrem ini
diprakirakan terus meluas karena destruktif sestemik lingkungan semakin tidak
terkendali, apalagi Pemerintah cenderung melupakan masalah banjir begitu
kejadian berlalu. Perilaku destruktif diprakirakan akan meluas baik secara
vertikal maupun horizontal, sampai banjir mencapai titik kulminasinya dan
memunculkan keseimbangan baru dalam bentuk penyadaran pola pikir dan tindak
dalam mitigasi banjir. Apabila hipotesis ini benar, maka masyarakat papa yang
tiada berpunya harus membayar biaya sosial penyadaran akan perlunya mitigasi
banjir secara menyeluruh. Argumen itu didasari fakta bahwa korban banjir
terbesar adalah masyarakat marjinal pinggiran dan petani yang tidak berdaya.
BMG harus meningkatkan akurasi dan
frekuensi prakiraannya sehingga terjadinya banjir eksepsional dapat dideteksi
lebih dini. Masih rendahnya akurasi prakiraan BMG, terutama prediksi transisi
musim hujan ke musim kemarau dan musim kemarau, menyebabkan masyarakat harus
menerima dampak banjir. Untuk mereduksi risiko, maka wilayah potensial banjir
dan penyimpangan iklim lainnya perlu diberikan prakiraan cuaca secara khusus
agar masyarakat dapat melakukan antisipasi lebih dini.
Diperlukan penyusunan program bersama
secara lintas sektoral sehingga tekanan dan fokus penanganan mitigasi banjir
dapat diformulasikan dan dikoordinasikan langsung dalam bentuk rencana aksi.
Melalui penyusunan bersama rencana kerja anggaran kementerian lembaga (RKAKL)
sektor terkait, maka sinergi lintas sektor dapat dimaksimalkan sekaligus
duplikasi program yang selama ini banyak terjadi dapat dihilangkan. Pendekatan
ini memungkinkan ego sektor dapat disinkronkan dan pembebanan tanggung jawab
dapat dilakukan sehingga mimpi penanganan banjir yang terintegrasi dapat
direalisasikan.
Pengelolaan Wilayah
Apabila pendekatan tersebut masih belum
memberikan hasil yang maksimal, Pemerintah dapat membentuk Departemen
Pengelolaan Wilayah seperti Perancis yang mempunyai Department d’Amenagement de
Teritoire sebagai satu-satunya instansi resmi pengelola daerah aliran sungai,
mulai pemberian izin bangunan, pengelolaan air dalam arti luas termasuk masalah
banjir dan kekeringan.
Partisipasi publik dalam penanggulangan
banjir dapat dilakukan dengan mengembangkan proyek-proyek pemberdayaan
masyarakat dengan pola padat karya. Argumennya, permintaan dana sektoral yang
sangat besar dengan pola kontraktual terbukti tidak mampu menyelesaikan masalah
banjir karena sebagian besar pengelolaannya tidak partisipatif dan kurang
transparan sehingga hasilnya tidak sesuai dengan targetnya. Lebih jauh, proyek
yang dibangun secara top down akan
mendorong terjadinya ketergantungan absolut masyarakat terhadap pendanaan Pemerintah.
Dampaknya, rasa memiliki, tanggung jawab, dan keberlanjutan program akan sulit
diharapkan.
Belajar dari pengalaman proyek besar
kontraktual, Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air Departemen Pertanian
mengembangkan pola padat karya untuk rehabilitasi jaringan irigasi tingkat
usaha tani, jaringan irigasi desa, pembuatan embung, dan parit di seluruh
kabupaten di Indonesia. Hasilnya, keluaran, dampak, dan penerima manfaatnya
akan jauh sangat memuaskan karena respons masyarakat sangat tinggi, baik dalam
hal partisipasi maupun pemeliharaannya.
Diperlukan kebesaran jiwa Pemerintah di
segala strata karena pergeseran model kontraktual ke pengembangan padat karya
akan mereduksi para pemburu rente yang selama ini menikmati keuntungan tanpa
mengeluarkan keringat.
(Tulisan ini dimuat pada: Harian Umum Kompas - 06 Juli 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar