Pemerintah telah memutuskan bahwa target produksi beras
tahun 2007 adalah peningkatan 2 juta ton beras lebih tinggi dibandingkan
produksi tahun 2006 dan secara bertahap naik 5 persen tiap tahun.
Secara kuantitatif matematis, target ini merupakan swasembada beras yang berkelanjutan, karena target tambahan produksi melebihi laju pertumbuhan penduduk dan kebutuhannya.
Secara kuantitatif matematis, target ini merupakan swasembada beras yang berkelanjutan, karena target tambahan produksi melebihi laju pertumbuhan penduduk dan kebutuhannya.
Pertanyaannya adalah: mampukah target tahun pertama dan
tahun berikutnya dicapai? Jika jawabannya ya, bersama siapa saja akan
direalisasikan?
Adakah prasyarat yang diperlukan dan akankah target itu
diserahkan begitu saja kepada free market
mecahnism? Argumentasinya, angka 2 juta ton beras bukan jumlah yang kecil,
karena kalau menggunakan perhitungan matematis sederhana, maka harus ada
peningkatan produktivitas rata-rata 0,5 ton gabah kering panen (GKP) per
hektare untuk 6 juta lahan sawah yang ada. Sementara itu, gangguan anomali
iklim, banjir, kekeringan, eksplosi hama dan penyakit sebagai faktor determinan
produksi pangan nasional semakin sulit diantisipasi.
Agroekosistem dan Mitranya
Penetapan agroekosistem dan mitra strategis dalam
pencapaian swasembada beras berkelanjutan ini sangat penting karena akan
menentukan model sinergi dan teknologi asupan serta sistem yang akan dibangun
untuk menghasilkan luaran lebih besar 2 juta beras. Lebih jauh, penentuan agroekosistem
akan menentukan jenis lahan pertanian yang bakal didongkrak produksinya.
Empat agroekosistem penghasil padi yaitu: lahan sawah
irigasi, lahan kering rawa, lebak, maupun pasang-surut, memerlukan jenis
asupan, model budidaya, dan ketrampilan petani yang berbeda. Petani menjadi actor
intelektual utama keberhasilan budidaya, karena berdasarkan pemantauan lapangan
di keempat agroekosistem tersebut, disimpulkan bahwa hanya petani yang tangguh
dan pandai membaca tanda-tanda perubahan yang berhasil menaklukkan deraan
lingkungan untuk budidaya padi.
Berdasarkan kondisi senjang hasil, indeks pertanaman,
dan tingkat keberhasilan pencapaian target produksi padi, maka tulang punggung peningkatan
produktivitas lahan sebaiknya difokuskan pada lahan rawa lebak maupun
pasang-surut. Pertimbangannya, tahun 2007 diprakirakan terjadi kekeringan
sampai Maret, sehingga kemampuan produksi padi lahan sawah akan mengalami
goncangan, sementara lahan rawa mencapai kondisi idealnya.
Setelah prioritas ditetapkan, maka penajaman harus
dilakukan terhadap lokasi sampai level kecamatan. Pemetaan ini sangat
diperlukan untuk memotret lokasi potensial dan petaninya. Kalau ditinjau dari
senjang hasil dan indeks pertanamannya, peluang peningkatan produksinya masih besar.
Tetapi bagaimana dengan semangat dan daya juang petaninya? Hasil pemantauan di
beberapa lahan rawa pasang-surut menunjukkan bahwa petani dari generasi kedua
dari keluarga transmigran asal Jawa menunjukkan ketangguhan-nya dalam mengelola
lahan rawa. Di kecamatan Ketarang, Kabupaten Sambas, misalnya, ada petani asal
Jawa generasi kedua mampu menghasilkan padi lebih dari 4 ton/hektare selama 2
kali setahun.
Sementara petani tetangganya hanya mampu menghasilkan
1.5 ton/hektare sekali setahun. Padahal pembeda perlakuannya hanya dua hal
yaitu dicangkul dangkal dan dipupuk.
Pendampingan Lapangan
Berdasarkan ilustrasi penyebab senjang hasil dan indeks
pertanaman, maka Pemerintah dapat mendayagunakan kearifan masyarakat setempat
yang telah terbukti dan teruji dalam peningkatan produksi padi di lahan rawa sebagai
pendamping lapangan sesama petani. Keberhasilan yang sudah dicapai petani maju
dapat di upscalling lebih luas lagi,
tanpa hambatan sosialisasi, karena mereka berasal dari komunitas yang sama.
Keberhasilan pendekatan ini memungkinkan paling tidak
lahan seluas 2000 hektar di Kecamatan Ketarang yang saat ini underutillized dapat didongkrak produksi
totalnya 3.500 ton GKP menjadi 16 ribu ton GKP.
Suatu lompatan yang sangat besar dan menjanjikan karena
masih sangat banyak lahan rawa yang kondisinya seperti di Ketarang. Itu baru
dari satu kecamatan yang ada di kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.
Pemerintah dapat mengadopsi pola ini karena dipastikan
setiap lokasi ada saja petani yang berhasil mengelola lahan rawa untuk budidaya
padi, berkat ketekuanan dan keuletannya.
Teladan keberhasilan pengembangan lahan rawa juga
terjadi di lahan rawa Telang Saleh, Banyuasin, Sumatra Selatan. Dengan sistem
irigasi dan drainase yang teratur produktivitas lahan sawah dapat ditingkatkan mencapai
6 ton/hektare dengan indeks pertanaman lebih dari 200 persen.
Capaian ini berarti melampaui rata-rata produksi padi
nasional bahkan melebihi kemampuan produksi lahan sawah. Berdasarkan kinerja lahan
rawa di beberapa sentra produksi padi, maka penetapan lokasi prioritas kabupaten
dan kecamatan di 16 provinsi lahan rawa nasional harus dilakukan secepatnya
agar kontribusinya signifikan terhadap peningkatan produksi padi nasional.
Langkah Pengamanan
Berkaitan dengan peningkatan produksi, maka Pemerintah
harus mencari terobosan yang lebih progresif dan keluar dari pakem lama yang
bersifat business as usual agar target capaian produksi terpenuhi, apapun
skenario iklimnya. Argumennya, produksi padi saat ini sangat sensitive terhadap kualitas lahan,
ketersediaan air, dan deraan iklim. Untuk itu, semua pendekatan peningkatan
produksi padi yang bertumpu pada keunggulan genetik seperti varietas dan input
pupuk harus difokuskan pada wilayah yang mudah dikelola lahannya, air, serta
deraan iklimnya. Pengembangan padi hidrida dan pergantian varietas harus
dilakukan pada lahan sawah terbaik, karena apabila tidak, maka hasilnya tidak
bisa maksimal dibandingkan asupannya.
Mitra berikutnya yang harus digandeng Pemerintah adalah
penyedia saprodi, jasa pascapanen, dan pengolahan hasil. Dukungan ketiganya sangat
menentukan capaian produksi padi dan swasembada pangan berkelanjutan. Saat ini
ketiga bangunan ini sedang dimantapkan Departemen Pertanian, sehingga perannya
menjadi sinergis terhadap peningkatan produksi padi. Reduksi kehilangan hasil
dan penurunan mutu beras menjadi penting manakala beras akan disimpan sebagai
cadangan pangan dalam waktu lama dan pascapanen, serta pengolahan hasil menjadi
ujung tombaknya.
Pemerintah perlu melakukan pengawalan khusus dalam hal
ini agar perkembangan yang terjadi di lapangan dapat dipantau secara kontinyu.
Simpul koordinasi di pusat, provinsi, kabupaten/kota
sampai tingkat kecamatan harus diaktifkan dan disusun standar operasional
prosedurnya.
Dengan sistem yang jelas, maka pengambil kebijakan dan
penanggung jawab tiap simpul dapat melakukan komunikasi intensif dalam
pencapaian produksi. Apabila Pemerintahan SBY-JK mampu mewujudkan target
kenaikan produksi 2 juta ton beras ini, maka paling tidak lebih dari 50 persen masalah
bangsa ini terselesaikan. Jaminan ketersediaan dan keterjangkauan pangan akan
menjadikan Pemerintah mempunyai pijakan kuat untuk melangkah dan membangun
lebih cepat.
Ikhtisar
- Untuk mencapai target swasembada beras, Pemerintah harus memperhatikan agroekosistem, dan kemampuan para petani sebagai ujung tombak.
- Pemberdayaan lahan rawa lebak maupun lahan pasang-surut yang disertai keuletan petani menjadi hal penting dalam pencapaian target tersebut.
- Pemerintah juga perlu memikirkan langkah strategis pascapanen agar peningkatan produksi beras bisa terjadi berkelanjutan.
- Pemecahan masalah ketersediaan beras, akan memberi sumbangan yang signifikan bagi penyelesaian persoalan bangsa secara keseluruhan.
(Tulisan ini dimuat pada: Republika, 29 Januari 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar