Jumat, 08 Agustus 2014

BERSAMA (siapa) BISA SWASEMBADA

Pemerintah telah memutuskan bahwa target produksi beras tahun 2007 adalah peningkatan 2 juta ton beras lebih tinggi dibandingkan produksi tahun 2006 dan secara bertahap naik 5 persen tiap tahun.
Secara kuantitatif matematis, target ini merupakan swasembada beras yang berkelanjutan, karena target tambahan produksi melebihi laju pertumbuhan penduduk dan kebutuhannya.
Pertanyaannya adalah: mampukah target tahun pertama dan tahun berikutnya dicapai? Jika jawabannya ya, bersama siapa saja akan direalisasikan?
Adakah prasyarat yang diperlukan dan akankah target itu diserahkan begitu saja kepada free market mecahnism? Argumentasinya, angka 2 juta ton beras bukan jumlah yang kecil, karena kalau menggunakan perhitungan matematis sederhana, maka harus ada peningkatan produktivitas rata-rata 0,5 ton gabah kering panen (GKP) per hektare untuk 6 juta lahan sawah yang ada. Sementara itu, gangguan anomali iklim, banjir, kekeringan, eksplosi hama dan penyakit sebagai faktor determinan produksi pangan nasional semakin sulit diantisipasi.

Agroekosistem dan Mitranya
Penetapan agroekosistem dan mitra strategis dalam pencapaian swasembada beras berkelanjutan ini sangat penting karena akan menentukan model sinergi dan teknologi asupan serta sistem yang akan dibangun untuk menghasilkan luaran lebih besar 2 juta beras. Lebih jauh, penentuan agroekosistem akan menentukan jenis lahan pertanian yang bakal didongkrak produksinya.
Empat agroekosistem penghasil padi yaitu: lahan sawah irigasi, lahan kering rawa, lebak, maupun pasang-surut, memerlukan jenis asupan, model budidaya, dan ketrampilan petani yang berbeda. Petani menjadi actor intelektual utama keberhasilan budidaya, karena berdasarkan pemantauan lapangan di keempat agroekosistem tersebut, disimpulkan bahwa hanya petani yang tangguh dan pandai membaca tanda-tanda perubahan yang berhasil menaklukkan deraan lingkungan untuk budidaya padi.
Berdasarkan kondisi senjang hasil, indeks pertanaman, dan tingkat keberhasilan pencapaian target produksi padi, maka tulang punggung peningkatan produktivitas lahan sebaiknya difokuskan pada lahan rawa lebak maupun pasang-surut. Pertimbangannya, tahun 2007 diprakirakan terjadi kekeringan sampai Maret, sehingga kemampuan produksi padi lahan sawah akan mengalami goncangan, sementara lahan rawa mencapai kondisi idealnya.
Setelah prioritas ditetapkan, maka penajaman harus dilakukan terhadap lokasi sampai level kecamatan. Pemetaan ini sangat diperlukan untuk memotret lokasi potensial dan petaninya. Kalau ditinjau dari senjang hasil dan indeks pertanamannya, peluang peningkatan produksinya masih besar. Tetapi bagaimana dengan semangat dan daya juang petaninya? Hasil pemantauan di beberapa lahan rawa pasang-surut menunjukkan bahwa petani dari generasi kedua dari keluarga transmigran asal Jawa menunjukkan ketangguhan-nya dalam mengelola lahan rawa. Di kecamatan Ketarang, Kabupaten Sambas, misalnya, ada petani asal Jawa generasi kedua mampu menghasilkan padi lebih dari 4 ton/hektare selama 2 kali setahun.
Sementara petani tetangganya hanya mampu menghasilkan 1.5 ton/hektare sekali setahun. Padahal pembeda perlakuannya hanya dua hal yaitu dicangkul dangkal dan dipupuk.

Pendampingan Lapangan
Berdasarkan ilustrasi penyebab senjang hasil dan indeks pertanaman, maka Pemerintah dapat mendayagunakan kearifan masyarakat setempat yang telah terbukti dan teruji dalam peningkatan produksi padi di lahan rawa sebagai pendamping lapangan sesama petani. Keberhasilan yang sudah dicapai petani maju dapat di upscalling lebih luas lagi, tanpa hambatan sosialisasi, karena mereka berasal dari komunitas yang sama.
Keberhasilan pendekatan ini memungkinkan paling tidak lahan seluas 2000 hektar di Kecamatan Ketarang yang saat ini underutillized dapat didongkrak produksi totalnya 3.500 ton GKP menjadi 16 ribu ton GKP.
Suatu lompatan yang sangat besar dan menjanjikan karena masih sangat banyak lahan rawa yang kondisinya seperti di Ketarang. Itu baru dari satu kecamatan yang ada di kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.
Pemerintah dapat mengadopsi pola ini karena dipastikan setiap lokasi ada saja petani yang berhasil mengelola lahan rawa untuk budidaya padi, berkat ketekuanan dan keuletannya.
Teladan keberhasilan pengembangan lahan rawa juga terjadi di lahan rawa Telang Saleh, Banyuasin, Sumatra Selatan. Dengan sistem irigasi dan drainase yang teratur produktivitas lahan sawah dapat ditingkatkan mencapai 6 ton/hektare dengan indeks pertanaman lebih dari 200 persen.
Capaian ini berarti melampaui rata-rata produksi padi nasional bahkan melebihi kemampuan produksi lahan sawah. Berdasarkan kinerja lahan rawa di beberapa sentra produksi padi, maka penetapan lokasi prioritas kabupaten dan kecamatan di 16 provinsi lahan rawa nasional harus dilakukan secepatnya agar kontribusinya signifikan terhadap peningkatan produksi padi nasional.

Langkah Pengamanan
Berkaitan dengan peningkatan produksi, maka Pemerintah harus mencari terobosan yang lebih progresif dan keluar dari pakem lama yang bersifat business as usual  agar target capaian produksi terpenuhi, apapun skenario iklimnya. Argumennya, produksi padi saat ini sangat sensitive terhadap kualitas lahan, ketersediaan air, dan deraan iklim. Untuk itu, semua pendekatan peningkatan produksi padi yang bertumpu pada keunggulan genetik seperti varietas dan input pupuk harus difokuskan pada wilayah yang mudah dikelola lahannya, air, serta deraan iklimnya. Pengembangan padi hidrida dan pergantian varietas harus dilakukan pada lahan sawah terbaik, karena apabila tidak, maka hasilnya tidak bisa maksimal dibandingkan asupannya.
Mitra berikutnya yang harus digandeng Pemerintah adalah penyedia saprodi, jasa pascapanen, dan pengolahan hasil. Dukungan ketiganya sangat menentukan capaian produksi padi dan swasembada pangan berkelanjutan. Saat ini ketiga bangunan ini sedang dimantapkan Departemen Pertanian, sehingga perannya menjadi sinergis terhadap peningkatan produksi padi. Reduksi kehilangan hasil dan penurunan mutu beras menjadi penting manakala beras akan disimpan sebagai cadangan pangan dalam waktu lama dan pascapanen, serta pengolahan hasil menjadi ujung tombaknya.
Pemerintah perlu melakukan pengawalan khusus dalam hal ini agar perkembangan yang terjadi di lapangan dapat dipantau secara kontinyu.
Simpul koordinasi di pusat, provinsi, kabupaten/kota sampai tingkat kecamatan harus diaktifkan dan disusun standar operasional prosedurnya.
Dengan sistem yang jelas, maka pengambil kebijakan dan penanggung jawab tiap simpul dapat melakukan komunikasi intensif dalam pencapaian produksi. Apabila Pemerintahan SBY-JK mampu mewujudkan target kenaikan produksi 2 juta ton beras ini, maka paling tidak lebih dari 50 persen masalah bangsa ini terselesaikan. Jaminan ketersediaan dan keterjangkauan pangan akan menjadikan Pemerintah mempunyai pijakan kuat untuk melangkah dan membangun lebih cepat.
Ikhtisar
  • Untuk mencapai target swasembada beras, Pemerintah harus memperhatikan agroekosistem, dan kemampuan para petani sebagai ujung tombak.
  • Pemberdayaan lahan rawa lebak maupun lahan pasang-surut yang disertai keuletan petani menjadi hal penting dalam pencapaian target tersebut.
  • Pemerintah juga perlu memikirkan langkah strategis pascapanen agar peningkatan produksi beras bisa terjadi berkelanjutan.
  • Pemecahan masalah ketersediaan beras, akan memberi sumbangan yang signifikan bagi penyelesaian persoalan bangsa secara keseluruhan.

(Tulisan ini dimuat pada: Republika,  29 Januari 2007)

Tidak ada komentar: