Tirani mayoritas importir kedelai
berhasil memaksa Pemerintah untuk kesekian kali membebaskan bea masuk kedelai
impor. Membanjirnya kedelai impor menjadikan nasib petani kedelai kian terpuruk
dan tidak berdaya.
Importir kedelai dengan tameng perajin
tahu tempe tanpa peduli menindas dan menggilas lebih dari 3 juta petani kedelai
Indonesia, sekaligus menjerumuskan Indonesia masuk perangkap impor kedelai.
Fenomena melambungnya harga kedelai yang terus berulang mengindikasikan bahwa
pembebasan bea masuk belum menyelesaikan masalah fundamentalnya.
Ironisnya, ketika harga kedelai di
tingkat petani anjlok, semua pihak melakukan pembiaran. Tidak ada satu pun yang
memperjuangkan nasib petani kedelai.
Swasembada Tanpa Biaya
Jika harga kedelai Rp 8.500 per
kilogram terjaga sampai panen raya, Indonesia pasti dapat mengakselerasi
swasembada kedelai tanpa biaya. Ketergantungan terhadap kedelai impor juga
dapat dihentikan sehingga terjadi penghematan devisa yang sangat besar.
Kedelai Indonesia dapat bersaing dengan
kedelai impor bahkan jika ekstensifikasi melalui redistribusi lahan dapat
dimaksimalkan, Indonesia bisa menjadi salah satu eksportir kedelai dunia.
Kedelai menjadi kompetitif dibandingkan padi dan jagung sehingga bukan menjadi
pilihan komoditas terakhir yang diusahakan.
Yang terjadi selama ini, produktivitas
tanaman kedelai rendah, hanya 1,5 ton per hektar, dan saat panen harganya hanya
Rp 3.000 per kilogram. Hamanya ada 29 jenis sehingga boros pestisida dan mahal
biaya pemeliharaannya.
Hanya dengan rasio harga kedelai lebih
dari dua kali lipat harga gabah maka petani kedelai akan bangkit. Rasio harga
komoditas pangan ini harus diatur Pemerintah melalui optimasi peran Bulog
apabila swasembada padi, jagung, dan kedelai akan dilakukan secara simultan.
Peningkatan produktivitas kedelai
menjadi di atas 2 ton per hektar akan mendorong kedelai nasional menjadi tuan
rumah di negeri sendiri. Sentra kedelai di Aceh, Sumatera Barat, Jambi,
Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan NTB dapat bangkit secara alamiah.
Edukasi publik mutlak dilakukan untuk
membangun nasionalisme perajin dan konsumen tahu dan tempe Indonesia dengan
memaksimalkan penggunaan bahan baku kedelai lokal. Pencerahan tentang kualitas
kedelai, keamanan pangan dan hayati, harga, serta kedaulatan pangan menjadi
pintu masuknya.
Kedelai lokal dipastikan mutunya jauh
lebih bagus dibandingkan kedelai impor karena kesegarannya, tanpa pest treatment, sehingga terbebas dari
unsur racun. Indikatornya, perusahaan multinasional banyak beralih menggunakan
kedelai lokal sebagai bahan baku. Kedelai impor umumnya merupakan stok lama
sehingga dalam penyimpanannya ada perlakuan untuk pengendalian hama gudang.
Selain rasanya kurang lezat juga mengandung residu bahan kimia yang tidak
menyehatkan. Kita bisa membedakan dengan uji indera (organoleptik) rasa susu
kedelai yang segar dibandingkan susu kedelai yang diimpor.
Sementara dari sisi keamanan pangan dan
hayati, kedelai lokal yang nontransgenik dipastikan jauh lebih aman
dibandingkan kedelai impor yang hampir semuanya transgenik. Dampak jangka
panjang produk transgenik terhadap kesehatan masih dipertanyakan. Itulah alasan
Uni Eropa secara tegas melarang produk transgenik masuk ke kawasan tersebut.
Nasionalisme Konsumen
Mengapa konsumen kita tidak memilih
produk lokal, tetapi kekeuh makan kedelai transgenik yang belum jelas keamanan
pangan dan hayatinya? Melambungnya harga kedelai impor merupakan momentum ideal
untuk mengurangi ketergantungan terhadap produk transgenik impor.
Para perajin dan konsumen tahu dan
tempe harus tahu bahwa kedelai impor sarat insentif, subsidi, dan proteksi.
Semua itu sengaja dirancang untuk mengalahkan kompetitor produsen kedelai siapa
pun, di mana pun, sampai kapan pun.
Fasilitas yang dinikmati produsen
kedelai impor, antara lain: insentif biaya produksi, asuransi, bahkan
pembayarannya ada tenggat satu tahun dan tanpa bunga. Harga asimetris yang
terkandung dalam komponen harga kedelai impor sangat tidak adil jika
dibenturkan dengan kedelai produksi dalam negeri yang berjuang sendiri tanpa
subsidi harga.
Pemerintah harus mengembalikan kedelai
sebagai komoditas yang disubsidi sehingga harganya menjadi rasional bagi
produsen dan kompetitif terhadap kedelai impor. Menyerahkan kedelai kepada
mekanisme pasar yang sangat absurd merupakan bentuk kekerasan Pemerintah
terhadap petaninya.
Fanatisme konsumen tahu-tempe berbahan
kedelai lokal harus dibangkitkan. Mengonsumsi tempe dan tahu berbahan kedelai
impor secara tak langsung berarti melakukan pembantaian terstruktur dan
berkelanjutan atas nasib petani kedelai dalam negeri. Pembelaan terhadap nasib
petani kedelai Indonesia dari gempuran kedelai impor adalah syarat mutlak
menuju kedaulatan pangan.
Petani kedelai sudah lama tertindas dan
teraniaya. Perlawanan terhadap kedelai impor dapat terjadi jika semua pemangku
kepentingan tak terpecah belah karena ingin menikmati rente dari impor kedelai.
(Dimuat di Harian Umum Kompas, 29 Agustus 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar