Jumat, 08 Agustus 2014

PROYEK BANJIR DAN BANJIR PROYEK

Sungguh sangat ironis, menyedihkan dan memalukan, di saat banyak orang menderita, ada pihak lain yang menjual derita demi kepentingan dan keuntungan pribadi sesaat. Kalimat ini tidak dimaksudkan untuk menyinggung para relawan yang tidak kenal lelah, membantu korban banjir.
Pelestarian proyek banjir ini secara fisik sulit dibuktikan, tetapi menilik dari pendekatan pengelolaan, metode penanggulangan, tingginya besaran dan korban banjir, indikasinya sangat kuat.
Modus mengais rezeki dari banjir sudah lama dilakukan dan efek jangka panjangnya sangat berbahaya. Banjir makin menuju titik kulminasinya, sehingga semakin brutal, unmanageble dan uncontrolable, serta korban yang jatuh menjadi sangat besar.
Masalah periodikal ini penyelesaiannya semakin tidak jelas dengan tidak adanya pertanggungjawaban publik dalam penanggulangan banjir Jakarta. Ini memberi kesan bahwa pemangku kepentingan utama sektoral kurang bersungguh-sungguh. Indikatornya, hampir semua desain proyek dilakukan untuk memperpanjang pelaksanaan proyek dan bukan mempercepat capaian ultimate goal-nya. Proyek-proyek banjir seperti pengerukan sungai, muara, penggalian saluran, penimbunan, pengadaan pompa (persiapan menghadapi banjir), bantuan sosial, dan sebagainya tidak menyelesaikan inti pokok persoalan sebenarnya.
Dua penyebab utama banjir Jakarta yaitu penurunan kapasitas tampung air Jakarta akibat impermeabilisasi dan distruksi kanal drainase serta rusaknya lingkungan di hulu. Program mercusuar yang diusung pun tidak realistis yaitu banjir kanal timur (BKT), yang sampai saat ini belum selesai pembebasan lahannya sekalipun sudah memakan waktu lima tahun.

Review program
Di tengah runyamnya pelaksanaan pembangunan BKT, program dan harga satuan penanggulangan banjir lainnya yang diajukan hampir sebagian besar merupakan daftar keinginan dan daftar kemauan, bukan daftar kebutuhan riilnya. Begitu tingginya dana yang diajukan sehingga Pemerintah tidak mampu memikulnya, dan terpaksa harus menggunakan pinjaman luar negeri. Pada tahap ini sebenarnya 'para pelestari proyek penanggulangan banjir' mulai menjerumuskan Pemerintah. Apalagi mega proyek banjir harus dilakukan multiyears, karena usulannya sangat banyak dan biayanya sangat mahal.
Perilaku exagerated dalam penanggulangan banjir ini menyebabkan seorang pakar banjir sempat berseloroh: sampai kiamat pun banjir Jakarta tidak akan pernah terselesaikan, bahkan sebaliknya akan menjadi lebih dahsyat kalau model penanganannya bersifat ad hoc, parsial dan temporer seperti sekarang ini. Presiden perlu secepatnya me-review kembali secara mendalam usulan proyek raksasa penanggulangan banjir Jakarta dan proyek banjir lainnya. Kalangan universitas, lembaga penelitian, dan lembaga swadaya masyarakat dapat membantu melakukan screening terhadap jenis program dan harga satuan, serta tujuan dan output yang akan dicapai. Pendekatan ini memungkinkan Pemerintah memperoleh dua manfaat secara simultan yaitu penajaman program dan efisiensi harga satuan.
Fenomena penggelembungan anggaran dan divergensi program mendapatkan entry point-nya setelah Wakil Presiden Jusuf Kalla berjanji akan menghentikan banjir Jakarta termasuk memperbaiki kawasan puncak. Para oportunis dan petualang ekonomi akan memanfaatkan posisi Pemerintah yang tersudut dan terpojok akibat tekanan publik untuk meloloskan proyek penanggulangan banjir. Padahal kita tahu teknologi penanggulangan banjir yang diusung adalah 'teknologi wacana' dengan output kambing hitam dan proyek banjir tiada akhir.
Pendeknya, mereka akan berusaha semaksimal mungkin dengan berbagai cara dan pendekatan untuk memproyekkan banjir agar terjadi banjir proyek. Bahkan apabila memungkinkan, proyek penanggulangan banjir dijadikan proyek yang berkelanjutan. Kondisi ini diperburuk dengan kurang bertanggungjawabnya para pemangku kepentingan saat banjir melanda Jakarta. Tidak ada satupun pihak yang berani pasang badan atas malapetaka tersebut. Semua berargumen bahwa banjir kali ini merupakan kejadian lima tahunan, sehingga harus diterima sebagai cobaan.
Paling banter, para pemangku kepentingan akan menyalahkan lingkungan yang rusak, bukan mencari kesalahan yang sudah dilakukan dan menemukan solusinya. Sebaliknya, pascabanjir dan setelah munculnya wacana proyek penanggulangan banjir, barulah semua pihak merasa paling berhak dan kompeten untuk menangani proyek tersebut.
Penanggulangan partisipatif
Secara konseptual, Pemerintah harus mengubah secara fundamental model penangan banjir yang sentralistik dan top down menjadi model partisipatif dengan kombinasi top down and bottom up. Inti pokoknya dan titik tumpunya terletak pada partisipasi aktif dan pengawasan masyarakat, agar kinerja penanggulangan dan pemantauan dampak banjir dapat diketahui progresnya secara transparan.
Peran aktif masyarakat sejak dini dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pemantauan, selain akan meningkatkan akuntabilitas Pemerintah, juga akan menghemat biaya sosial seperti pembebasan tanah yang seringkali unpredictable. Mundurnya pembebasan tanah BKT merupakan teladan faktualnya. Upaya konkretnya dapat dilakukan melalui intensifikasi pelaksanaan program pengelolaan daerah aliran sungai bagian hulu secara vegetatif yang selama ini tidak pernah ditangani secara proporsional, karena dianggap kurang menarik.
Melalui pengembangan program partisipatif dan bantuan langsung masyarakat (BLM), beban pembiayaan dan energi Pemerintah dalam pelaksanaan penanggulangan banjir akan lebih ringan. Berdasar pemantauan langsung di lapangan, program pengelolaan infrastruktur pertanian dan pengelolaan air partisipatif di hampir 400 kabupaten di Indonesia, selain tingkat capaiannya lebih dari 100 persen akibat partisipasi masyarakat, juga menumbuhkan sense of belonging.
Penumbuhan social capital ini dipandang sangat penting, karena kondisi keuangan Pemerintah memang sangat terbatas. Keberhasilan model pengelolaan air partisipatif ini apabila dapat di upscale secara nasional dapat membantu percepatan penanggulangan banjir yang belakangan ini terus meningkat distribusi, luas wilayah dan kerugiannya.
Dalam kerangka partisipatif ini, maka Pemerintah pusat sesuai UU No 7/2004 tentang Sumberdaya Air perlu mengambil langkah konkret untuk menerapkan konsep jasa lingkungan. Pajak dan pendapatan daerah hilir (Jakarta) secara fair harus diredistribusi ke pemukim di bagian hulu (Bogor dan sekitarnya) yang ditugasi menyelamatkan hutan, tanah, dan air untuk pengamanan kota Jakarta. Konsep subsidi silang ini akan menjadi jembatan ideal bagi pelaksanaan pemerataan pembangunan dan hasilnya. Tanpa partisipasi nyata masyarakat di bagian hulu DAS, upaya penanggulangan banjir Jakarta akan menjadi sia-sia.

Ikhtisar
  • Meski sulit dibuktikan secara otentik, indikasi adanya pelestarian proyek penanggulangan banjir terasa sangat kuat.
  • Pemerintah perlu membuat review program penanggulangan banjir, agar langkah tersebut tidak diproyekkan secara lestari.
  • Program penanggulangan banjir semestinya dijalankan dengan melibatkan masyarakat luas.
  • Subsidi pendapatan daerah hilir untuk masyarakat di daerah hulu menjadi salah satu cara efektif untuk menangkal banjir.


(Tulisan ini dimuat pada: Republika, 13 Februari 2007)

Tidak ada komentar: