Sungguh sangat ironis, menyedihkan dan memalukan, di
saat banyak orang menderita, ada pihak lain yang menjual derita demi kepentingan
dan keuntungan pribadi sesaat. Kalimat ini tidak dimaksudkan untuk menyinggung
para relawan yang tidak kenal lelah, membantu korban banjir.
Pelestarian proyek banjir ini secara fisik sulit
dibuktikan, tetapi menilik dari pendekatan pengelolaan, metode penanggulangan,
tingginya besaran dan korban banjir, indikasinya sangat kuat.
Modus mengais rezeki dari banjir sudah lama dilakukan dan efek jangka panjangnya sangat berbahaya. Banjir makin menuju titik kulminasinya, sehingga semakin brutal, unmanageble dan uncontrolable, serta korban yang jatuh menjadi sangat besar.
Modus mengais rezeki dari banjir sudah lama dilakukan dan efek jangka panjangnya sangat berbahaya. Banjir makin menuju titik kulminasinya, sehingga semakin brutal, unmanageble dan uncontrolable, serta korban yang jatuh menjadi sangat besar.
Masalah periodikal ini penyelesaiannya semakin tidak
jelas dengan tidak adanya pertanggungjawaban publik dalam penanggulangan banjir
Jakarta. Ini memberi kesan bahwa pemangku kepentingan utama sektoral kurang
bersungguh-sungguh. Indikatornya, hampir semua desain proyek dilakukan untuk
memperpanjang pelaksanaan proyek dan bukan mempercepat capaian ultimate goal-nya. Proyek-proyek banjir
seperti pengerukan sungai, muara, penggalian saluran, penimbunan, pengadaan
pompa (persiapan menghadapi banjir), bantuan sosial, dan sebagainya tidak
menyelesaikan inti pokok persoalan sebenarnya.
Dua penyebab utama banjir Jakarta yaitu penurunan
kapasitas tampung air Jakarta akibat impermeabilisasi dan distruksi kanal
drainase serta rusaknya lingkungan di hulu. Program mercusuar yang diusung pun
tidak realistis yaitu banjir kanal timur (BKT), yang sampai saat ini belum
selesai pembebasan lahannya sekalipun sudah memakan waktu lima tahun.
Review program
Di tengah runyamnya pelaksanaan pembangunan BKT, program
dan harga satuan penanggulangan banjir lainnya yang diajukan hampir sebagian
besar merupakan daftar keinginan dan daftar kemauan, bukan daftar kebutuhan
riilnya. Begitu tingginya dana yang diajukan sehingga Pemerintah tidak mampu
memikulnya, dan terpaksa harus menggunakan pinjaman luar negeri. Pada tahap ini
sebenarnya 'para pelestari proyek penanggulangan banjir' mulai menjerumuskan Pemerintah.
Apalagi mega proyek banjir harus dilakukan multiyears,
karena usulannya sangat banyak dan biayanya sangat mahal.
Perilaku exagerated
dalam penanggulangan banjir ini menyebabkan seorang pakar banjir sempat
berseloroh: sampai kiamat pun banjir Jakarta tidak akan pernah terselesaikan,
bahkan sebaliknya akan menjadi lebih dahsyat kalau model penanganannya bersifat
ad hoc, parsial dan temporer seperti sekarang ini. Presiden perlu secepatnya
me-review kembali secara mendalam usulan proyek raksasa penanggulangan banjir
Jakarta dan proyek banjir lainnya. Kalangan universitas, lembaga penelitian,
dan lembaga swadaya masyarakat dapat membantu melakukan screening terhadap jenis program dan harga satuan, serta tujuan dan
output yang akan dicapai. Pendekatan ini memungkinkan Pemerintah memperoleh dua
manfaat secara simultan yaitu penajaman program dan efisiensi harga satuan.
Fenomena penggelembungan anggaran dan divergensi program
mendapatkan entry point-nya setelah
Wakil Presiden Jusuf Kalla berjanji akan menghentikan banjir Jakarta termasuk
memperbaiki kawasan puncak. Para oportunis dan petualang ekonomi akan
memanfaatkan posisi Pemerintah yang tersudut dan terpojok akibat tekanan publik
untuk meloloskan proyek penanggulangan banjir. Padahal kita tahu teknologi
penanggulangan banjir yang diusung adalah 'teknologi wacana' dengan output
kambing hitam dan proyek banjir tiada akhir.
Pendeknya, mereka akan berusaha semaksimal mungkin
dengan berbagai cara dan pendekatan untuk memproyekkan banjir agar terjadi
banjir proyek. Bahkan apabila memungkinkan, proyek penanggulangan banjir
dijadikan proyek yang berkelanjutan. Kondisi ini diperburuk dengan kurang
bertanggungjawabnya para pemangku kepentingan saat banjir melanda Jakarta. Tidak
ada satupun pihak yang berani pasang badan atas malapetaka tersebut. Semua
berargumen bahwa banjir kali ini merupakan kejadian lima tahunan, sehingga
harus diterima sebagai cobaan.
Paling banter, para pemangku kepentingan akan
menyalahkan lingkungan yang rusak, bukan mencari kesalahan yang sudah dilakukan
dan menemukan solusinya. Sebaliknya, pascabanjir dan setelah munculnya wacana
proyek penanggulangan banjir, barulah semua pihak merasa paling berhak dan
kompeten untuk menangani proyek tersebut.
Penanggulangan
partisipatif
Secara konseptual, Pemerintah harus mengubah secara
fundamental model penangan banjir yang sentralistik dan top down menjadi model partisipatif dengan kombinasi top down and bottom up. Inti pokoknya dan titik tumpunya terletak pada
partisipasi aktif dan pengawasan masyarakat, agar kinerja penanggulangan dan
pemantauan dampak banjir dapat diketahui progresnya secara transparan.
Peran aktif masyarakat sejak dini dari perencanaan,
pelaksanaan, evaluasi dan pemantauan, selain akan meningkatkan akuntabilitas Pemerintah,
juga akan menghemat biaya sosial seperti pembebasan tanah yang seringkali unpredictable. Mundurnya pembebasan
tanah BKT merupakan teladan faktualnya. Upaya konkretnya dapat dilakukan
melalui intensifikasi pelaksanaan program pengelolaan daerah aliran sungai
bagian hulu secara vegetatif yang selama ini tidak pernah ditangani secara
proporsional, karena dianggap kurang menarik.
Melalui pengembangan program partisipatif dan bantuan
langsung masyarakat (BLM), beban pembiayaan dan energi Pemerintah dalam
pelaksanaan penanggulangan banjir akan lebih ringan. Berdasar pemantauan
langsung di lapangan, program pengelolaan infrastruktur pertanian dan
pengelolaan air partisipatif di hampir 400 kabupaten di Indonesia, selain tingkat
capaiannya lebih dari 100 persen akibat partisipasi masyarakat, juga
menumbuhkan sense of belonging.
Penumbuhan social
capital ini dipandang sangat penting, karena kondisi keuangan Pemerintah
memang sangat terbatas. Keberhasilan model pengelolaan air partisipatif ini
apabila dapat di upscale secara
nasional dapat membantu percepatan penanggulangan banjir yang belakangan ini
terus meningkat distribusi, luas wilayah dan kerugiannya.
Dalam kerangka partisipatif ini, maka Pemerintah pusat
sesuai UU No 7/2004 tentang Sumberdaya Air perlu mengambil langkah konkret
untuk menerapkan konsep jasa lingkungan. Pajak dan pendapatan daerah hilir
(Jakarta) secara fair harus
diredistribusi ke pemukim di bagian hulu (Bogor dan sekitarnya) yang ditugasi
menyelamatkan hutan, tanah, dan air untuk pengamanan kota Jakarta. Konsep
subsidi silang ini akan menjadi jembatan ideal bagi pelaksanaan pemerataan
pembangunan dan hasilnya. Tanpa partisipasi nyata masyarakat di bagian hulu
DAS, upaya penanggulangan banjir Jakarta akan menjadi sia-sia.
Ikhtisar
- Meski sulit dibuktikan secara otentik, indikasi adanya pelestarian proyek penanggulangan banjir terasa sangat kuat.
- Pemerintah perlu membuat review program penanggulangan banjir, agar langkah tersebut tidak diproyekkan secara lestari.
- Program penanggulangan banjir semestinya dijalankan dengan melibatkan masyarakat luas.
- Subsidi pendapatan daerah hilir untuk masyarakat di daerah hulu menjadi salah satu cara efektif untuk menangkal banjir.
(Tulisan ini dimuat pada: Republika, 13 Februari 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar