Tuntutan
demokratisasi lingkungan (environmental
democratization) dipastikan kian menguat. Konflik yang terjadi akibat
tekanan negara maju atas negara pemilik hutan dan desakan negara berkembang
terhadap negara industri penyebab utama pemanasan global harus secepatnya
diselesaikan.
Diperlukan sikap menerima dan memberi
dari kedua pihak agar tidak menimbulkan perselisihan terbuka yang justru
merugikan nasib penghuni planet Bumi itu sendiri. Pertanyaannya, prasyarat apa
yang diperlukan agar negosiasi dua kutub berseberangan mencapai titik temu?
Emisi
Gas
Sampai dengan Conference of Parties
Ke-13, perundingan masih alot. Target, skema, dan mekanisme penurunan emisi,
sumber pendanaan, serta kelembagaannya belum mengerucut.
Divergensi skema pengelolaan emisi gas
rumah kaca di bawah Protokol Kyoto dan di bawah convention semakin rumit karena
dominasi interes negara maju, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang,
yang sering tidak mudah diakomodasi negara berkembang sebagai korban pemanasan
global.
Usulan OPEC memasukkan Carbondioxide Capture Storage in Geological Formation
(CSS) sebagai pembangunan bersih baru yang didukung beberapa negara maju
menambah rumitnya masalah.
CSS banyak ditentang negara pemilik hutan
besar, seperti Brasil, Indonesia, China. Argumennya, melalui penyuntikan ke
perut Bumi negara penghasil minyak memperoleh kredit karbon sangat besar.
Sebagai anggota OPEC, Indonesia
mengajukan jalan tengah dengan mengusulkan CSS melalui mekanisme transfer
teknologi agar dapat menjaga solidaritas kepada dua belah pihak.
Korban
Perubahan
Konflik kepentingan besar yang belum
terselesaikan, memosisikan masalah perubahan iklim lebih dominan konteks
politisnya dibandingkan dengan masalah teknisnya.
Pemerintah harus mengambil alih pimpinan
dan negara harus bertanggung jawab atas dampak perubahan iklim dan
pengelolaannya agar masyarakat tidak menjadi korban dua kali.
Pertama, korban akibat perubahan iklim.
Kedua, korban akibat tidak mampu memenuhi persyaratan dalam pelaksanaan
mekanisme pembangunan bersih yang regulasinya dan punishment sangat berat.
Sebagai negara anggota G-77, Indonesia
harus memperkuat sinerginya agar petani dan masyarakat miskin tidak harus
membayar lebih mahal untuk adaptasi perubahan iklim.
Negara harus melindungi hak dasar atas
iklim (right to climate) masyarakat
miskin yang selama ini terampas. Warga dunia harus membentuk opini publik
kolektif, termasuk memberi pilihan kepada Pemerintahan yang sensitif terhadap
perubahan iklim, seperti yang dilakukan rakyat Australia baru-baru ini.
Kisah sukses Australia dapat disinergikan
dengan kemauan kuat Gubernur California untuk membangun perjuangan baru
mengalahkan Pemerintahan Amerika Serikat yang kini anarkis dan tidak demokratis
atas perubahan iklim pada pemilihan presiden tahun 2008.
Dipastikan, masalah mitigasi dan adaptasi
perubahan dapat dengan lebih mudah diselesaikan jika Amerika Serikat sebagai
emiter terbesar meratifikasi Protokol Kyoto.
Indonesia sebagai tuan rumah COP-13 harus
mampu memainkan peran politiknya untuk melindungi petani, nelayan, dan rakyat
miskin yang rentan (vulnerable)
terhadap perubahan iklim.
Kacaunya musim, peningkatan intensitas
banjir, dan kekeringan akibat tingginya suhu udara amat tidak adil jika harus
dibayar mahal masyarakat.
Kekerasan dan tindakan anarkis emiter
besar yang terus berlangsung merupakan bentuk kekejaman peradaban yang
secepatnya harus dihentikan.
Reformasi
Kelembagaan
Reformasi kelembagaan birokrasi dan
keuangan badan PBB pengelola program mitigasi dan adaptasi merupakan suatu
keharusan. Dominasi negara maju dalam badan eksekutif dan rendahnya pendanaan
serta rumitnya mekanisme merupakan hambatan utama yang harus dihentikan.
Untuk itu, negosiasi dalam penyediaan
dana yang lebih besar, sistem dan mekanisme yang lebih sederhana dan transparan
harus dimenangkan. Tanpa itu, dana mitigasi dan adaptasi hanya dinikmati negara
tertentu yang programnya tidak memihak kepentingan negara korban perubahan
iklim.
Masalah pengembangan sumber daya manusia
(capacity building), kelembagaan dan
transfer teknologi merupakan tahapan selanjutnya yang harus disiapkan Pemerintah
bersama semua pihak agar skema pendanaan adaptasi dan mitigasi dapat
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Secara internal, Indonesia harus solid dengan tidak menjual isu domestik
ke pihak asing sekadar mendapatkan uang dengan mengorbankan kepentingan yang
lebih besar.
Saat ini ditengarai ada konflik
kepentingan yang kuat antarsektor, antara sektor dan NGO yang dapat melemahkan
posisi Indonesia dalam negosiasi dengan mitranya. Diperlukan new deal
antarpemangku kepentingan di segala strata agar mitigasi dan adaptasi perubahan
iklim dapat mendongkrak purchasing power
capacity masyarakat sehingga mampu menumbuhkan kemandirian pembiayaan (self financing) bukan sekadar
mempertahankan hidup.
Percepatan penurunan emisi harus
dilakukan apa pun konsekuensinya agar terjadinya ekstremitas, seperti rob,
banjir, kekeringan, gelombang pasang, puting beliung, badai, dan siklon, dapat
diminimalkan.
Bola tuan rumah COP-13 sudah di tangan,
tinggal bagaimana semua pihak mengolahnya menjadi gol yang menjanjikan dan
bukan sebaliknya.
(di muat di Harian Umum Kompas – 8 Desember 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar