Debat besar selalu terjadi
setiap terjadi kekeringan. Pertanyaan tentang besaran kekeringan yang selalu
mengemuka adalah: daerah mana saja dan berapa luas areal yang mengalami
kekeringan? Sampai kapan kekeringan terjadi? Bagaimana dampaknya? Berapa
penurunan produksinya? Bagaimana prediksi dan peringatan dininya serta mau
dibawa kemana kekeringan itu?
Hasil penelitian lembaga
internasional dan dalam negeri serta pemantauan dinamika atmosfer menunjukkan
bahwa Jawa merupakan wilayah yang berpeluang paling besar mengalami kekeringan.
Mendinginnya suhu permukaan laut di sekitar Jawa menyebabkan produksi uap air relatif rendah.
Terjadinya fenomena dipole
mode positif akan mendorong terjadinya gerakan masa uap air dari Jawa ke
wilayah selatan Afrika dan India. Ini memperkuat prediksi bahwa Jawa berpeluang
memiliki curah hujan yang rendah pada musim kemarau ini. Sementara di atas
wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi sampai minggu ketiga masih menerima
pasokan air yang lebih baik.
Kecenderungan
Berkaitan dengan luas
daerah kekeringan, data tiga seri kekeringan besar yaitu 1994, 1997, dan 2003,
menunjukkan trend penurunan luas daerah kekeringan secara linier berturut
turut: 544.422 hektare, 504.021 hektare, dan 450.338 hektare. Ironisnya,
kondisi ini tidak diikuti penurunan luas daerah puso. Bahkan sebaliknya, luas
areal puso cenderung meningkat dari 25.345 hektare, menjadi 88.467 hektare, dan
91.122 hektare.
Besaran kekeringan tahun
2003 juga melampaui luas puso akibat banjir pada tahun yang sama yaitu 71.640
hektare. Fenomena ini menunjukkan bahwa sampai tahun 2004 telah terjadi
peningkatan intensitas kekeringan secara signifikan yang belum dapat direduksi
melalui tindakan penanggulangan. Kondisi ini menempatkan kekeringan sebagai
ancaman utama produksi dan ketahanan pangan nasional.
Berdasarkan data prediksi
curah hujan oleh IRI, anomali suhu muka laut di Nino 3.4 dan pemantauan
indikator perubah musim di Jabar, Jateng, Lampung, Kalimantan Timur, Sulawesi
Tenggara dan Nusa Tenggara Timur, awal hujan diprakirakan terjadi sekitar
November. Apabila informasi tersebut benar dan dijadikan pedoman awal, maka
musim kemarau saat iniharus dimanfaatkan untuk mempersiapkan lahan, sehingga
awal musim hujan petani langsung dapat melakukan penanaman.
Percepatan tanam ini
memberikan double benefit pada lahan
tadah hujan yang melakukan tanam kedua lebih awal setelah musim rendengan.
Mundurnya akhir musim hujan 2005/2006 sampai 1,5 bulan menyebabkan pasokan air meningkat
dan pada beberapa wilayah sawah tadah hujan berhasil panengadu. Itulah
sebabnya, data luas daerah kekeringan sampai dengan 24 Juli2006 baru mencapai
134.378 hektare dengan luas puso 10.632 hektare.
Salah satu masalah mendasar
yang menjadikan kekeringan semakin besar kerugiannya adalah hilangnya mata air
dan keringnya debit aliran sungai.
Laju sedimentasi yang
melebihi toleransi (tolerable soil loss)
yang diikuti alih fungsi hutan ke lahan permukiman yang tinggi menyebabkan infiltrasi
air ke dalam tanah menurun tajam. Kondisi ini diperburuk dengan eksploitasi air
sebagai bahan baku air kemasan yang tidak terkendali. Ini menyebabkan neraca
air tanah negatif secara berkelanjutan.
Intensitas dan durasi
kekeringan menurut waktu diprakirakan bakal meningkat secara eksponensial
sampai akhir September sejalan dengan menurunnya curah hujan dan meningkatnya
laju evapotranspirasi.
Peningkatan besaran
kekeringan ini akan tampak jelas pengaruhnya pada komoditas perkebunan,
hortikultura dan peternakan, karena siklus produksinya lintas musim dan lintas tahun.
Langkah
Antisipasi
Penanggulangan kekeringan
pada tanaman pangan dapat dioptimalkan apabila faktor penyebab kekeringan,
kondisi sumber air setempat, serta modal sosial masyarakat dapat
diintegrasikan. Adaptasi kekeringan lebih jauh dapat dioptimalkan
implementasinya apabila Pemerintah dapat memberikan informasi dini tentang
lokasi rawan kekeringan dengan prediksi besaran curah hujan dan
evapotranspirasinya. Informasi tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk
menyusun pola dan masa tanam serta mengidentifikasi sumber-sumber air setempat
sebagai cadangan dalam penanggulangan kekeringan.
Pengalaman di Pandeglang,
Banten, menunjukkan bahwa, sumber air setempat ternyata masih banyak, bahkan
mengalir di musim kemarau. Apabila infrastruktur dan sarana irigasi sudah
dipersiapkan lebih dini, maka terjadinya kekeringan pada periode kritis tanaman
yang pengaruhnya paling besar terhadap produksi tanaman dapat diantisipasi dan
direduksi lebih dini.
Perubahan pola tanam dari
padi menjadi palawija dan sayuran sudah lama direkomendasikan, namun
pelaksanaannya belum efektif di lapangan.
Menurut petani, keengganan
untuk menanam sayuran dan buah-buahan serta palawija karena tidak adanya
jaminan pasar dan harga yang memadai.
Berbeda dengan padi,
sayuran dan buah-buahan tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama. Penyelesaian
kekeringan harus dilakukan secara menyeluruh. Untuk itu semua pihak harus
melakukan langkah penyelamatan hutan, tanah, dan air yang ada di daerah
tangkapan air. Penajaman prioritas rehabilitasi serta konservasi tanah dan air
menjadi sangat penting, karena berbagai keterbatasan kemampuan pendanaan,
waktu, dan tenaga.
Untuk menilai perubahan
kualitas lingkungan, maka evaluasi keberhasilan pengelolaan air daerah
tangkapan harus dilakukan secara transparan agar masyarakat dapat memantau
kerja dan kinerja Pemerintah. Presiden perlu mengambil langkah tegas dalam
memantau perubahan lingkungan secara real
time. Biaya Pemerintah untuk perbaikan kualitas lingkungan akan jauh lebih
murah dibandingkan dana yang harus dikeluarkan jika terjadi bencana, termasuk
kekeringan.
(Tulisan ini dimuat pada: Harian Umum Republika, 29 Juli 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar