Jumat, 08 Agustus 2014

PERSIAPAN MENGHADAPI KEKERINGAN

Debat besar selalu terjadi setiap terjadi kekeringan. Pertanyaan tentang besaran kekeringan yang selalu mengemuka adalah: daerah mana saja dan berapa luas areal yang mengalami kekeringan? Sampai kapan kekeringan terjadi? Bagaimana dampaknya? Berapa penurunan produksinya? Bagaimana prediksi dan peringatan dininya serta mau dibawa kemana kekeringan itu?
Hasil penelitian lembaga internasional dan dalam negeri serta pemantauan dinamika atmosfer menunjukkan bahwa Jawa merupakan wilayah yang berpeluang paling besar mengalami kekeringan. Mendinginnya suhu permukaan laut di sekitar Jawa menyebabkan produksi uap air  relatif rendah.
Terjadinya fenomena dipole mode positif akan mendorong terjadinya gerakan masa uap air dari Jawa ke wilayah selatan Afrika dan India. Ini memperkuat prediksi bahwa Jawa berpeluang memiliki curah hujan yang rendah pada musim kemarau ini. Sementara di atas wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi sampai minggu ketiga masih menerima pasokan air yang lebih baik.
Kecenderungan
Berkaitan dengan luas daerah kekeringan, data tiga seri kekeringan besar yaitu 1994, 1997, dan 2003, menunjukkan trend penurunan luas daerah kekeringan secara linier berturut turut: 544.422 hektare, 504.021 hektare, dan 450.338 hektare. Ironisnya, kondisi ini tidak diikuti penurunan luas daerah puso. Bahkan sebaliknya, luas areal puso cenderung meningkat dari 25.345 hektare, menjadi 88.467 hektare, dan 91.122 hektare.
Besaran kekeringan tahun 2003 juga melampaui luas puso akibat banjir pada tahun yang sama yaitu 71.640 hektare. Fenomena ini menunjukkan bahwa sampai tahun 2004 telah terjadi peningkatan intensitas kekeringan secara signifikan yang belum dapat direduksi melalui tindakan penanggulangan. Kondisi ini menempatkan kekeringan sebagai ancaman utama produksi dan ketahanan pangan nasional.
Berdasarkan data prediksi curah hujan oleh IRI, anomali suhu muka laut di Nino 3.4 dan pemantauan indikator perubah musim di Jabar, Jateng, Lampung, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara dan Nusa Tenggara Timur, awal hujan diprakirakan terjadi sekitar November. Apabila informasi tersebut benar dan dijadikan pedoman awal, maka musim kemarau saat iniharus dimanfaatkan untuk mempersiapkan lahan, sehingga awal musim hujan petani langsung dapat melakukan penanaman.
Percepatan tanam ini memberikan double benefit pada lahan tadah hujan yang melakukan tanam kedua lebih awal setelah musim rendengan. Mundurnya akhir musim hujan 2005/2006 sampai 1,5 bulan menyebabkan pasokan air meningkat dan pada beberapa wilayah sawah tadah hujan berhasil panengadu. Itulah sebabnya, data luas daerah kekeringan sampai dengan 24 Juli2006 baru mencapai 134.378 hektare dengan luas puso 10.632 hektare.
Salah satu masalah mendasar yang menjadikan kekeringan semakin besar kerugiannya adalah hilangnya mata air dan keringnya debit aliran sungai.
Laju sedimentasi yang melebihi toleransi (tolerable soil loss) yang diikuti alih fungsi hutan ke lahan permukiman yang tinggi menyebabkan infiltrasi air ke dalam tanah menurun tajam. Kondisi ini diperburuk dengan eksploitasi air sebagai bahan baku air kemasan yang tidak terkendali. Ini menyebabkan neraca air tanah negatif secara berkelanjutan.
Intensitas dan durasi kekeringan menurut waktu diprakirakan bakal meningkat secara eksponensial sampai akhir September sejalan dengan menurunnya curah hujan dan meningkatnya laju evapotranspirasi.
Peningkatan besaran kekeringan ini akan tampak jelas pengaruhnya pada komoditas perkebunan, hortikultura dan peternakan, karena siklus produksinya lintas musim dan lintas tahun.

Langkah Antisipasi
Penanggulangan kekeringan pada tanaman pangan dapat dioptimalkan apabila faktor penyebab kekeringan, kondisi sumber air setempat, serta modal sosial masyarakat dapat diintegrasikan. Adaptasi kekeringan lebih jauh dapat dioptimalkan implementasinya apabila Pemerintah dapat memberikan informasi dini tentang lokasi rawan kekeringan dengan prediksi besaran curah hujan dan evapotranspirasinya. Informasi tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk menyusun pola dan masa tanam serta mengidentifikasi sumber-sumber air setempat sebagai cadangan dalam penanggulangan kekeringan.
Pengalaman di Pandeglang, Banten, menunjukkan bahwa, sumber air setempat ternyata masih banyak, bahkan mengalir di musim kemarau. Apabila infrastruktur dan sarana irigasi sudah dipersiapkan lebih dini, maka terjadinya kekeringan pada periode kritis tanaman yang pengaruhnya paling besar terhadap produksi tanaman dapat diantisipasi dan direduksi lebih dini.
Perubahan pola tanam dari padi menjadi palawija dan sayuran sudah lama direkomendasikan, namun pelaksanaannya belum efektif di lapangan.
Menurut petani, keengganan untuk menanam sayuran dan buah-buahan serta palawija karena tidak adanya jaminan pasar dan harga yang memadai.
Berbeda dengan padi, sayuran dan buah-buahan tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama. Penyelesaian kekeringan harus dilakukan secara menyeluruh. Untuk itu semua pihak harus melakukan langkah penyelamatan hutan, tanah, dan air yang ada di daerah tangkapan air. Penajaman prioritas rehabilitasi serta konservasi tanah dan air menjadi sangat penting, karena berbagai keterbatasan kemampuan pendanaan, waktu, dan tenaga.

Untuk menilai perubahan kualitas lingkungan, maka evaluasi keberhasilan pengelolaan air daerah tangkapan harus dilakukan secara transparan agar masyarakat dapat memantau kerja dan kinerja Pemerintah. Presiden perlu mengambil langkah tegas dalam memantau perubahan lingkungan secara real time. Biaya Pemerintah untuk perbaikan kualitas lingkungan akan jauh lebih murah dibandingkan dana yang harus dikeluarkan jika terjadi bencana, termasuk kekeringan.

(Tulisan ini dimuat pada: Harian Umum Republika, 29 Juli 2006)

Tidak ada komentar: