Jumat, 08 Agustus 2014

AMANKAH WADUK JATILUHUR?

Ketika tinggi muka air atau TMA Waduk Jatiluhur mencapai 108,96 meter dari batas maksimum 115 meter, banyak orang panik, bingung, bahkan muncul isu Waduk Jatiluhur akan jebol.
Isu paranoid jebolnya Waduk Jatiluhur mengemuka antara lain karena, pertama, TMA tersebut belum pernah tercapai dalam sejarah sejak Waduk Jatiluhur beroperasi (TMA yang pernah tercapai 108,35 meter). Efek psikologis peningkatan 0,61 meter muka air waduk dari kondisi maksimum yang pernah terjadi menjadikan ada tambahan volume air 48,8 juta meter kubik air (luas genangan air waduk 80 kilometer persegi).
Kedua, arah angin, baik dari Samudra Hindia maupun Samudra Pasifik yang membawa banyak uap air dominan menuju Indonesia sehingga peluang penambahan volume airke Waduk Jatiluhur masih sangat tinggi dan lama. Situasinya menjadi sangat mengerikan apabila melampaui kapasitas waduk dan tidak dapat dikelola dengan baik.
Ketiga, umur waduk yang semakin bertambah sehingga ketahanan waduk secaraalamiah menurun dibandingkan dengan kondisi awalnya. Keempat, areal pertanian dihilir Waduk Jatiluhur saat ini lebih dari 200.000 hektar merupakan pertanaman padi siap panen sehingga berpotensi menimbulkan kerugian sosial dan ekonomi yang besar apabila Waduk Jatiluhur jebol. Selain menggenangi permukiman, juga akan meng-hancurkan padi di sawah yang siap panen. Pertanyaannya: amankah Waduk Jatiluhur, bagaimana dengan realita saat ini di lapangan?
Banjir Maksimum
Menurut Perum Jasa Tirta II, Waduk Jatiluhur dibangun dengan basis maximum performance flood, atau untuk banjir maksimum yang mungkin terjadi. Kekuatan itu bertumpu pada: konstruksi Bendungan Jatiluhur dan saluran pengamannya (spill way) sehingga, apabila dikelola dengan baik, kecil peluangnya waduk akan jebol.
Argumen ini gugur apabila konstruksi Waduk Jatiluhur terdestruksi seperti Situ Gintung.
Meskipun tidak jebol, tambahan volume air di Waduk Jatiluhur yang ekstrim tinggi memaksa sebagian besar volume air dilepas melalui spill way agar waduk tidak jebol.
Implikasinya, daerah hilir yang merupakan areal persawahan siap panen dan permukiman akan diterjang banjir dan tergenang dahsyat. Tanggul di hilir Waduk Jatiluhur yang dirancang berdasarkan return period 25 tahun akan jebol dengan pelepasan air Waduk Jatiluhur, Saguling, dan Cirata secara simultan. Artinya, kerugian sosial ataupun ekonomi masyarakat di hilir Waduk Jatiluhur akan sangat besar.
Saat ini di daerah aliran Sungai (DAS) Cikao sudah 500 rumah terendam air dan ada ribuan rumah di Bekasi dan Karawang yang terendam air. Bagaimana jadinya apabila curah hujan terus meningkat? Pertanyaan berikutnya: faktor determinan apa yang dapat menyebabkan jebolnya Waduk Jatiluhur?

Situ Gintung Jilid Dua ?
Pelajaran dari malapetaka jebolnya Situ Gintung menjadi trauma bagi semua orang termasuk masyarakat yang bermukim di hilir Waduk Jatiluhur. Masyarakat bisa membayangkan bagaimana dahsyatnya apabila waduk Jatiluhur jebol, berapa korbanyang ditimbulkan? Menurunnya kualitas dan ketahanan waduk terhadap desakan, dorongan air, dan sedimen menyebabkan risiko jebolnya Waduk Jatiluhur perlu diperhitungkan. Kapasitas tampung air maksimum Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur yang sudah tercapai, menyebabkan peran reservoir linier bertingkat (in cascade) dalam modifikasi karakteristik melalui penurunan debit puncak dan perpanjangan waktu menuju debit puncak sangat terbatas.
Menurunnya kapasitas tampung ketiga waduk menurun akibat terisi sedimen, adanya curah hujan eksepsional dengan durasi yang lama akan menyebabkan daya dobrak air sangat dahsyat. Apabila tidak dikelola dengan baik, kejadian Situ Gintung jilid dua bukan tidak mungkin terjadi. Supervisi kondisi waduk terkini perlu dilakukan agar dapat memprediksi dampak terburuk jika curah hujan eksepsional terjadi. Model transfer hujan aliran permukaan memungkinkan untuk memprediksi skenario tersebut.
Diperlukan audit investigasi banjir dan destruksi hutan dan lahan berpenutup vegetasike non-vegetasi spesifik lokasi sehingga ada pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban sesuai tugas pokok dan fungsi. Audit lahan, hutan, dan tanaman mutlak dilakukan agar klaim keberhasilan konservasi, reboisasi, perhutanan kembali danperbaikan lingkungan dapat dievaluasi secara transparan dan fair. Siapa yang salah dihukum, yang berprestasi diberikan penghargaan.
Karut-marutnya penanganan degradasi hutan dan lahan serta banjir tecermin dari data lahan sawah yang terkena banjir tahun 1997 hanya 58.157 hektar, meningkat menjadi 322.476 hektar (naik 554 persen) tahun 2006. Khusus Pulau Jawa yang memasok 55 persen produksi pangan nasional, sawah irigasi dan tadah hujan yang rawan banjir 340.698 hektar (9 persen), rawan kekeringan 1. 448. 829 hektar (42 persen), rawan banjir dan kekeringan 427.894 hektar (13 persen) dan hanya 36 persen sawah dan lahan tadah hujan yang tidak rawan banjir dan kekeringan.

Itu artinya degradasi lingkungan sudah lampu merah, termasuk masa depan pasokanpangan nasional. Kita semua ”terpaksa harus siap menjadi korban sia-sia dari bencana”akibat nafsu serakah perbuatan segelintir manusia.

(dimuat diHarian Umum Kompas, 29 Maret 2010)

Tidak ada komentar: