Ketika
tinggi muka air atau TMA Waduk Jatiluhur mencapai 108,96 meter dari batas maksimum
115 meter, banyak orang panik, bingung, bahkan muncul isu Waduk Jatiluhur akan
jebol.
Isu paranoid jebolnya Waduk Jatiluhur
mengemuka antara lain karena, pertama, TMA tersebut belum pernah tercapai dalam
sejarah sejak Waduk Jatiluhur beroperasi (TMA yang pernah tercapai 108,35
meter). Efek psikologis peningkatan 0,61 meter muka air waduk dari kondisi
maksimum yang pernah terjadi menjadikan ada tambahan volume air 48,8 juta meter
kubik air (luas genangan air waduk 80 kilometer persegi).
Kedua, arah angin, baik dari Samudra
Hindia maupun Samudra Pasifik yang membawa banyak uap air dominan menuju
Indonesia sehingga peluang penambahan volume airke Waduk Jatiluhur masih sangat
tinggi dan lama. Situasinya menjadi sangat mengerikan apabila melampaui
kapasitas waduk dan tidak dapat dikelola dengan baik.
Ketiga, umur waduk yang semakin
bertambah sehingga ketahanan waduk secaraalamiah menurun dibandingkan dengan
kondisi awalnya. Keempat, areal pertanian dihilir Waduk Jatiluhur saat ini
lebih dari 200.000 hektar merupakan pertanaman padi siap panen sehingga berpotensi
menimbulkan kerugian sosial dan ekonomi yang besar apabila Waduk Jatiluhur
jebol. Selain menggenangi permukiman, juga akan meng-hancurkan padi di sawah
yang siap panen. Pertanyaannya: amankah Waduk Jatiluhur, bagaimana dengan
realita saat ini di lapangan?
Banjir Maksimum
Menurut Perum Jasa Tirta II, Waduk
Jatiluhur dibangun dengan basis maximum performance
flood, atau untuk banjir maksimum yang mungkin terjadi. Kekuatan itu bertumpu
pada: konstruksi Bendungan Jatiluhur dan saluran pengamannya (spill way) sehingga, apabila dikelola
dengan baik, kecil peluangnya waduk akan jebol.
Argumen ini gugur apabila konstruksi
Waduk Jatiluhur terdestruksi seperti Situ Gintung.
Meskipun tidak jebol, tambahan volume
air di Waduk Jatiluhur yang ekstrim tinggi memaksa sebagian besar volume air
dilepas melalui spill way agar waduk
tidak jebol.
Implikasinya, daerah hilir yang
merupakan areal persawahan siap panen dan permukiman akan diterjang banjir dan
tergenang dahsyat. Tanggul di hilir Waduk Jatiluhur yang dirancang berdasarkan return period 25 tahun akan jebol dengan
pelepasan air Waduk Jatiluhur, Saguling, dan Cirata secara simultan. Artinya,
kerugian sosial ataupun ekonomi masyarakat di hilir Waduk Jatiluhur akan sangat
besar.
Saat ini di daerah aliran Sungai (DAS)
Cikao sudah 500 rumah terendam air dan ada ribuan rumah di Bekasi dan Karawang
yang terendam air. Bagaimana jadinya apabila curah hujan terus meningkat?
Pertanyaan berikutnya: faktor determinan apa yang dapat menyebabkan jebolnya
Waduk Jatiluhur?
Situ Gintung Jilid Dua ?
Pelajaran dari malapetaka jebolnya Situ
Gintung menjadi trauma bagi semua orang termasuk masyarakat yang bermukim di
hilir Waduk Jatiluhur. Masyarakat bisa membayangkan bagaimana dahsyatnya
apabila waduk Jatiluhur jebol, berapa korbanyang ditimbulkan? Menurunnya
kualitas dan ketahanan waduk terhadap desakan, dorongan air, dan sedimen
menyebabkan risiko jebolnya Waduk Jatiluhur perlu diperhitungkan. Kapasitas
tampung air maksimum Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur yang sudah tercapai,
menyebabkan peran reservoir linier bertingkat (in cascade) dalam modifikasi
karakteristik melalui penurunan debit puncak dan perpanjangan waktu menuju
debit puncak sangat terbatas.
Menurunnya kapasitas tampung ketiga
waduk menurun akibat terisi sedimen, adanya curah hujan eksepsional dengan
durasi yang lama akan menyebabkan daya dobrak air sangat dahsyat. Apabila tidak
dikelola dengan baik, kejadian Situ Gintung jilid dua bukan tidak mungkin
terjadi. Supervisi kondisi waduk terkini perlu dilakukan agar dapat memprediksi
dampak terburuk jika curah hujan eksepsional terjadi. Model transfer hujan aliran
permukaan memungkinkan untuk memprediksi skenario tersebut.
Diperlukan audit investigasi banjir dan
destruksi hutan dan lahan berpenutup vegetasike non-vegetasi spesifik lokasi
sehingga ada pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban sesuai tugas pokok
dan fungsi. Audit lahan, hutan, dan tanaman mutlak dilakukan agar klaim
keberhasilan konservasi, reboisasi, perhutanan kembali danperbaikan lingkungan
dapat dievaluasi secara transparan dan fair. Siapa yang salah dihukum, yang
berprestasi diberikan penghargaan.
Karut-marutnya penanganan degradasi
hutan dan lahan serta banjir tecermin dari data lahan sawah yang terkena banjir
tahun 1997 hanya 58.157 hektar, meningkat menjadi 322.476 hektar (naik 554
persen) tahun 2006. Khusus Pulau Jawa yang memasok 55 persen produksi pangan
nasional, sawah irigasi dan tadah hujan yang rawan banjir 340.698 hektar (9
persen), rawan kekeringan 1. 448. 829 hektar (42 persen), rawan banjir dan
kekeringan 427.894 hektar (13 persen) dan hanya 36 persen sawah dan lahan tadah
hujan yang tidak rawan banjir dan kekeringan.
Itu artinya degradasi lingkungan sudah
lampu merah, termasuk masa depan pasokanpangan nasional. Kita semua ”terpaksa
harus siap menjadi korban sia-sia dari bencana”akibat nafsu serakah perbuatan
segelintir manusia.
(dimuat diHarian Umum Kompas, 29 Maret 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar