Jumat, 08 Agustus 2014

HAK DASAR ATAS IKLIM

Tuntutan demokratisasi lingkungan (environmental democratization) dipastikan kian menguat. Konflik yang terjadi akibat tekanan negara maju atas negara pemilik hutan dan desakan negara berkembang terhadap negara industri penyebab utama pemanasan global harus secepatnya diselesaikan.
Diperlukan sikap menerima dan memberi dari kedua pihak agar tidak menimbulkan perselisihan terbuka yang justru merugikan nasib penghuni planet Bumi itu sendiri. Pertanyaannya, prasyarat apa yang diperlukan agar negosiasi dua kutub berseberangan mencapai titik temu?

EMISI GAS
Sampai dengan Conference of Parties Ke-13, perundingan masih alot. Target, skema, dan mekanisme penurunan emisi, sumber pendanaan, serta kelembagaannya belum mengerucut.
Divergensi skema pengelolaan emisi gas rumah kaca di bawah Protokol Kyoto dan di bawah convention semakin rumit karena dominasi interes negara maju, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang, yang sering tidak mudah diakomodasi negara berkembang sebagai korban pemanasan global.
Usulan OPEC memasukkan Carbondioxide Capture Storage in Geological Formation (CSS) sebagai pembangunan bersih baru yang didukung beberapa negara maju menambah rumitnya masalah.
CSS banyak ditentang negara pemilik hutan besar, seperti Brasil, Indonesia, China. Argumennya, melalui penyuntikan ke perut Bumi negara penghasil minyak memperoleh kredit karbon sangat besar.
Sebagai anggota OPEC, Indonesia mengajukan jalan tengah dengan mengusulkan CSS melalui mekanisme transfer teknologi agar dapat menjaga solidaritas kepada dua belah pihak.

KORBAN PERUBAHAN
Konflik kepentingan besar yang belum terselesaikan, memosisikan masalah perubahan iklim lebih dominan konteks politisnya dibandingkan dengan masalah teknisnya.
Pemerintah harus mengambil alih pimpinan dan negara harus bertanggung jawab atas dampak perubahan iklim dan pengelolaannya agar masyarakat tidak menjadi korban dua kali.
Pertama, korban akibat perubahan iklim. Kedua, korban akibat tidak mampu memenuhi persyaratan dalam pelaksanaan mekanisme pembangunan bersih yang regulasinya dan punishment sangat berat.
Sebagai negara anggota G-77, Indonesia harus memperkuat sinerginya agar petani dan masyarakat miskin tidak harus membayar lebih mahal untuk adaptasi perubahan iklim.
Negara harus melindungi hak dasar atas iklim (right to climate) masyarakat miskin yang selama ini terampas. Warga dunia harus membentuk opini publik kolektif, termasuk memberi pilihan kepada Pemerintahan yang sensitif terhadap perubahan iklim, seperti yang dilakukan rakyat Australia baru-baru ini.
Kisah sukses Australia dapat disinergikan dengan kemauan kuat Gubernur California untuk membangun perjuangan baru mengalahkan Pemerintahan Amerika Serikat yang kini anarkis dan tidak demokratis atas perubahan iklim pada pemilihan presiden tahun 2008.
Dipastikan, masalah mitigasi dan adaptasi perubahan dapat dengan lebih mudah diselesaikan jika Amerika Serikat sebagai emiter terbesar meratifikasi Protokol Kyoto.
Indonesia sebagai tuan rumah COP-13 harus mampu memainkan peran politiknya untuk melindungi petani, nelayan, dan rakyat miskin yang rentan (vulnerable) terhadap perubahan iklim.
Kacaunya musim, peningkatan intensitas banjir, dan kekeringan akibat tingginya suhu udara amat tidak adil jika harus dibayar mahal masyarakat.
Kekerasan dan tindakan anarkis emiter besar yang terus berlangsung merupakan bentuk kekejaman peradaban yang secepatnya harus dihentikan.

REFORMASI KELEMBAGAAN
Reformasi kelembagaan birokrasi dan keuangan badan PBB pengelola program mitigasi dan adaptasi merupakan suatu keharusan. Dominasi negara maju dalam badan eksekutif dan rendahnya pendanaan serta rumitnya mekanisme merupakan hambatan utama yang harus dihentikan.
Untuk itu, negosiasi dalam penyediaan dana yang lebih besar, sistem dan mekanisme yang lebih sederhana dan transparan harus dimenangkan. Tanpa itu, dana mitigasi dan adaptasi hanya dinikmati negara tertentu yang programnya tidak memihak kepentingan negara korban perubahan iklim.
Masalah pengembangan sumber daya manusia (capacity building), kelembagaan dan transfer teknologi merupakan tahapan selanjutnya yang harus disiapkan Pemerintah bersama semua pihak agar skema pendanaan adaptasi dan mitigasi dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Secara internal, Indonesia harus solid dengan tidak menjual isu domestik ke pihak asing sekadar mendapatkan uang dengan mengorbankan kepentingan yang lebih besar.
Saat ini ditengarai ada konflik kepentingan yang kuat antarsektor, antara sektor dan NGO yang dapat melemahkan posisi Indonesia dalam negosiasi dengan mitranya. Diperlukan new deal antar pemangku kepentingan di segala strata agar mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dapat mendongkrak purchasing power capacity masyarakat sehingga mampu menumbuhkan kemandirian pembiayaan (self financing) bukan sekadar mempertahankan hidup.
Percepatan penurunan emisi harus dilakukan apa pun konsekuensinya agar terjadinya ekstremitas, seperti rob, banjir, kekeringan, gelombang pasang, puting beliung, badai, dan siklon, dapat diminimalkan.
Bola tuan rumah COP-13 sudah di tangan, tinggal bagaimana semua pihak mengolahnya menjadi gol yang menjanjikan dan bukan sebaliknya.

(Tulisan ini dimuat pada: Harian Umum Kompas – 8 Desember 2007)



Tidak ada komentar: