Masih
ada satu masalah dan ancaman fundamental yang perlu diselesaikan secara
mendasar pada akhir Pemerintahan sekarang, yaitu masalah kedaulatan pangan
(produksi, ketersediaan, dan akses pangan) terutama pascapanen raya dan
implikasinya terhadap kemiskinan.
Tekanan atas gejolak dan harga pangan dunia ini sulit dihindari Indonesia sebagai konsekuensi globalisasi dan liberalisasi ekonomi yang dimotori negara-negara maju untuk melakukan kolonisasi ekonomi baru atas negara berkembang dan miskin.
Tekanan atas gejolak dan harga pangan dunia ini sulit dihindari Indonesia sebagai konsekuensi globalisasi dan liberalisasi ekonomi yang dimotori negara-negara maju untuk melakukan kolonisasi ekonomi baru atas negara berkembang dan miskin.
Pertanyaan fundamentalnya, akankah
gejolak pangan nasional terjadi pascapanen raya? Gejolak harga empat komoditas
pangan utama dunia, terigu, kedelai, jagung, dan beras, saat ini telah menyeret
Indonesia memasuki pusaran gejolak ekonomi dan politik global dengan masyarakat
miskin sebagai korban utamanya. Harga beras dunia yang menyentuh 745 dolar AS
menyebabkan posisi Pemerintah terjepit, antara meningkatkan pendapatan petani
dan meredam kemiskinan.
Mempertahankan harga beras tinggi untuk
meningkatkan kesejahteraan petani berarti mendorong rakyat hampir miskin
menjadi miskin dan rakyat miskin sementara menjadi miskin permanen. Padahal,
Indonesia sedang panen raya. Bagaimana kondisi harga dan akses pangan rakyat
miskin jika tahun 2008 terjadi kekeringan dahsyat?
Pilihan kebijakan harga pangan nasional
semakin rumit karena pasokan empat komoditas utama dunia tahun 2008
diperkirakan kurang menggembirakan (World Agricultural Outlook Board, 2008).
Fenomena meluasnya jamur Ug 99 pada pertanaman gandum di Afrika, Iran, dan
meluas ke Pakistan telah mengganggu rantai pasokan gandum di Asia Selatan
karena memengaruhi penurunan pasokan gandum di Asia Selatan, di antaranya
Pakistan, Punjab, dan India sampai 10 persen sehingga mendorong peningkatan
harga yang luar biasa.
Stok akhir gandum AS bulan Maret
diprediksi lebih rendah 30 juta bushels (1 bushels= 27 kilogram) dibandingkan
Februari 2008, sementara konsumsinya meningkat lima persen dan ekspornya
bertambah 25 juta bushels menjadikan pasokan dan harga gandum sangat dinamis
dan penuh uncertainty. Dua fenomena ini menjadikan kita harus berhitung tentang
kemungkinan terjadinya turbulensi harga pangan saat puncak paceklik panen dan
panen raya yang selama ini selalu dimanfaatkan spekulan untuk menggoncang harga
pangan.
Cadangan beras dunia menipis dan produksi
beras dunia yang cenderung menurun menyebabkan Cina dan negara-negara eksportir
beras berhati-hati dalam melakukan ekspor pangan. Permintaan jagung dunia yang
terus melonjak, pasokan jagung dunia menurun, dan penggunaan jagung meningkat
sebagai energi alternatif menyebabkan gejolak pasokan dan harga jagung dunia
tidak dapat dihindari. Penurunan luas tanam jagung delapan persen di Amerika dibandingkan
tahun sebelumnya menjadi sinyal terjadinya penurunan pasokan jagung di pasar
dunia.
Turbulensi pasokan dan harga jagung
diprediksi semakin kuat apabila sentra produksi jagung Amerika (corn belt) mengalami keterlambatan tanam
akibat gangguan suhu dingin dan cuaca yang terlalu basah. Momentum ini harus
kita manfaatkan untuk menggenjot produksi jagung nasional di sentra produksi
pangan yang pasokan airnya turun pada musim kemarau.
Produksi pangan pada musim kemarau dapat
dimaksimalkan melalui optimalisasi lahan rawa yang justru ideal pada musim
kemarau. Adanya agroekosistem lahan sawah (sawah irigasi, tadah hujan, dan
rawa) merupakan keunggulan komparatif dan kompetitif Indonesia untuk meredam
kemungkinan terjadinya gejolak pasokan dan harga pangan nasional.
Harga kedelai diprediksi naik 14 persen
dan stabil pada harga 12,57 dolar AS/bushel di CBOT sejalan dengan menurunnya
cadangan kedelai AS dan meningkatnya ekspor kedelai negara tersebut ke Cina
sehingga kita perlu mewaspadai dampaknya terhadap keberlanjutan industri tahu
dan tempe beserta derifatnya. Momentum ini juga harus direbut untuk menggenjot
produksi kedelai nasional.
Untuk gejolak pasokan dan harga pangan
saat paceklik panen (puncak musim kemarau) maka Bulog perlu memaksimalkan
pembelian padi saat panen raya sekarang ini. Kapasitas gudang Bulog harus
dimanfaatkan secara maksimal agar tidak ada lagi persoalan pasokan pangan
terutama beras saat paceklik panen musim kemarau. Pengamanan ini akan dijadikan
masyarakat sebagai indikator seberapa serius Bulog memainkan perannya dalam
pengamanan produksi, pasokan, dan harga beras dalam negeri dari ancaman gejolak
pasokan dan harga beras di pasar dunia.
Konflik
Pangan
Melonjaknya harga gandum, kedelai, beras,
dan jagung sudah terjadi dengan sinyal semakin menguat. Menurunnya pasokan dan
melambungnya harga pangan di pasar dunia akan menjadikan masyarakat miskin
harus membayar lebih mahal dibandingkan orang kaya di negara maju.
Ketidakadilan akses pangan berdampak
terhadap kesehatan masyarakat dan kualitas generasi mendatang serta stabilitas
politik dalam negeri. Konflik pangan sudah terjadi di 41 negara dan
diperkirakan akan terus meluas apabila neraca pasokan dan harga pangan terus
bergejolak. Indonesia perlu mewaspadai dan mengantisipasi agar tidak menjadi
korban global pangan.
Indikator ekonomi makro dan penciptaan
lapangan kerja menjadi kurang bermanfaat jika gejolak harga pangan dalam negeri
tidak terkendali. Ini karena warga miskin 70-90 persen pengeluarannya untuk
pangan.
Jalan satu satunya yang dapat menerobos
kebuntuan pasokan, harga, dan akses pangan serta penyediaan lapangan kerja
adalah mengembangkan sentra pangan baru pada lahan yang underutilized sebagai
realisasi revitalisasi pertanian. Pemerintah bersama masyarakat perlu
mencermati semakin dominannya peranan non-state actor dalam mendikte pasokan
dan harga pangan dunia.
Masuknya konglomerasi dunia, seperti
Monsanto, Cargil, Charoen Phohpan dalam produksi dan perdagangan pangan dunia
menunjukkan betapa pentingnya arti pangan secara ekonomi maupun politik.
Kuatnya akses ekonomi, politik, dan sosial korporasi internasional yang
didukung pendanaan internasional menjadikan negara beserta rakyat miskin
menjadi subordinasi kapital internasional dalam produksi pangan dan penyediaan
pangan nasional.
Fenomena ini harus diwaspadai dan
diantisipasi lebih dini agar negara tidak menjadi korban eksploitasi kapital
sebagai dampak liberalisasi dunia. Memperkuat Badan Usaha Milik Negara (BUMN
berbasis pertanian) dalam stabilisasi produksi dan harga pangan yang didorong
pilar kabupaten/kota serta provinsi perlu secepatnya dilakukan untuk melawan
balik dominasi kapitalis asing yang semakin terus menggurita.
Pendekatan ini memungkinkan adopsi
teknologi maju, perluasan akses dan jaminan pasar, efisiensi proses produksi
dapat dioptimalkan. BUMN juga dapat berperan sebagai penjamin (avails) dalam
program pengembangan komoditas pangan. Indonesia perlu memanfaatkan peluang
untuk produksi pangan sekaligus menghasilkan angka pertumbuhan signifikan di
level akar rumput.
Harga beras dalam negeri yang tinggi ini
harus dianggap sebagai kesempatan yang sedang panen raya untuk memproduksi
pangan secara maksimal. Diperlukan regulasi yang berpihak pada petani agar
kesempatan ini dapat dinikmati petani bukan pedagang seperti yang terjadi
selama ini.
Keandalan Pemerintah dalam stabilisasi
pangan dalam 6-12 bulan ke depan merupakan indikator terukur atas kinerja Pemerintah
dalam melindungi masyarakat miskin dari gempuran konglomerasi, bahkan mafia
pangan dunia. Pertimbangannya, lawan politik dipastikan akan melakukan
destabilisasi politik menjelang pemilu untuk menjatuhkan citra Pemerintah.
Salah satunya melalui pasokan pangan. Apabila itu dapat direalisasikan, masih
ada harapan memenangkan pemilu 2009. Argumennya, pangan adalah urusan perut
yang tidak bisa ditawar sebagaimana urusan politik.
(di muat di Harian Umum Republika – 21 April 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar