Jumat, 08 Agustus 2014

MENYELESAIKAN KONFLIK PANGAN

       Masih ada satu masalah dan ancaman fundamental yang perlu diselesaikan secara mendasar pada akhir Pemerintahan sekarang, yaitu masalah kedaulatan pangan (produksi, ketersediaan, dan akses pangan) terutama pascapanen raya dan implikasinya terhadap kemiskinan.
Tekanan atas gejolak dan harga pangan dunia ini sulit dihindari Indonesia sebagai konsekuensi globalisasi dan liberalisasi ekonomi yang dimotori negara-negara maju untuk melakukan kolonisasi ekonomi baru atas negara berkembang dan miskin.
       Pertanyaan fundamentalnya, akankah gejolak pangan nasional terjadi pascapanen raya? Gejolak harga empat komoditas pangan utama dunia, terigu, kedelai, jagung, dan beras, saat ini telah menyeret Indonesia memasuki pusaran gejolak ekonomi dan politik global dengan masyarakat miskin sebagai korban utamanya. Harga beras dunia yang menyentuh 745 dolar AS menyebabkan posisi Pemerintah terjepit, antara meningkatkan pendapatan petani dan meredam kemiskinan.
       Mempertahankan harga beras tinggi untuk meningkatkan kesejahteraan petani berarti mendorong rakyat hampir miskin menjadi miskin dan rakyat miskin sementara menjadi miskin permanen. Padahal, Indonesia sedang panen raya. Bagaimana kondisi harga dan akses pangan rakyat miskin jika tahun 2008 terjadi kekeringan dahsyat?
       Pilihan kebijakan harga pangan nasional semakin rumit karena pasokan empat komoditas utama dunia tahun 2008 diperkirakan kurang menggembirakan (World Agricultural Outlook Board, 2008). Fenomena meluasnya jamur Ug 99 pada pertanaman gandum di Afrika, Iran, dan meluas ke Pakistan telah mengganggu rantai pasokan gandum di Asia Selatan karena memengaruhi penurunan pasokan gandum di Asia Selatan, di antaranya Pakistan, Punjab, dan India sampai 10 persen sehingga mendorong peningkatan harga yang luar biasa.
       Stok akhir gandum AS bulan Maret diprediksi lebih rendah 30 juta bushels (1 bushels= 27 kilogram) dibandingkan Februari 2008, sementara konsumsinya meningkat lima persen dan ekspornya bertambah 25 juta bushels menjadikan pasokan dan harga gandum sangat dinamis dan penuh uncertainty. Dua fenomena ini menjadikan kita harus berhitung tentang kemungkinan terjadinya turbulensi harga pangan saat puncak paceklik panen dan panen raya yang selama ini selalu dimanfaatkan spekulan untuk menggoncang harga pangan.
       Cadangan beras dunia menipis dan produksi beras dunia yang cenderung menurun menyebabkan Cina dan negara-negara eksportir beras berhati-hati dalam melakukan ekspor pangan. Permintaan jagung dunia yang terus melonjak, pasokan jagung dunia menurun, dan penggunaan jagung meningkat sebagai energi alternatif menyebabkan gejolak pasokan dan harga jagung dunia tidak dapat dihindari. Penurunan luas tanam jagung delapan persen di Amerika dibandingkan tahun sebelumnya menjadi sinyal terjadinya penurunan pasokan jagung di pasar dunia.
       Turbulensi pasokan dan harga jagung diprediksi semakin kuat apabila sentra produksi jagung Amerika (corn belt) mengalami keterlambatan tanam akibat gangguan suhu dingin dan cuaca yang terlalu basah. Momentum ini harus kita manfaatkan untuk menggenjot produksi jagung nasional di sentra produksi pangan yang pasokan airnya turun pada musim kemarau.
       Produksi pangan pada musim kemarau dapat dimaksimalkan melalui optimalisasi lahan rawa yang justru ideal pada musim kemarau. Adanya agroekosistem lahan sawah (sawah irigasi, tadah hujan, dan rawa) merupakan keunggulan komparatif dan kompetitif Indonesia untuk meredam kemungkinan terjadinya gejolak pasokan dan harga pangan nasional.
       Harga kedelai diprediksi naik 14 persen dan stabil pada harga 12,57 dolar AS/bushel di CBOT sejalan dengan menurunnya cadangan kedelai AS dan meningkatnya ekspor kedelai negara tersebut ke Cina sehingga kita perlu mewaspadai dampaknya terhadap keberlanjutan industri tahu dan tempe beserta derifatnya. Momentum ini juga harus direbut untuk menggenjot produksi kedelai nasional.
       Untuk gejolak pasokan dan harga pangan saat paceklik panen (puncak musim kemarau) maka Bulog perlu memaksimalkan pembelian padi saat panen raya sekarang ini. Kapasitas gudang Bulog harus dimanfaatkan secara maksimal agar tidak ada lagi persoalan pasokan pangan terutama beras saat paceklik panen musim kemarau. Pengamanan ini akan dijadikan masyarakat sebagai indikator seberapa serius Bulog memainkan perannya dalam pengamanan produksi, pasokan, dan harga beras dalam negeri dari ancaman gejolak pasokan dan harga beras di pasar dunia.

Konflik Pangan
       Melonjaknya harga gandum, kedelai, beras, dan jagung sudah terjadi dengan sinyal semakin menguat. Menurunnya pasokan dan melambungnya harga pangan di pasar dunia akan menjadikan masyarakat miskin harus membayar lebih mahal dibandingkan orang kaya di negara maju.
       Ketidakadilan akses pangan berdampak terhadap kesehatan masyarakat dan kualitas generasi mendatang serta stabilitas politik dalam negeri. Konflik pangan sudah terjadi di 41 negara dan diperkirakan akan terus meluas apabila neraca pasokan dan harga pangan terus bergejolak. Indonesia perlu mewaspadai dan mengantisipasi agar tidak menjadi korban global pangan.
       Indikator ekonomi makro dan penciptaan lapangan kerja menjadi kurang bermanfaat jika gejolak harga pangan dalam negeri tidak terkendali. Ini karena warga miskin 70-90 persen pengeluarannya untuk pangan.
       Jalan satu satunya yang dapat menerobos kebuntuan pasokan, harga, dan akses pangan serta penyediaan lapangan kerja adalah mengembangkan sentra pangan baru pada lahan yang underutilized sebagai realisasi revitalisasi pertanian. Pemerintah bersama masyarakat perlu mencermati semakin dominannya peranan non-state actor dalam mendikte pasokan dan harga pangan dunia.
       Masuknya konglomerasi dunia, seperti Monsanto, Cargil, Charoen Phohpan dalam produksi dan perdagangan pangan dunia menunjukkan betapa pentingnya arti pangan secara ekonomi maupun politik. Kuatnya akses ekonomi, politik, dan sosial korporasi internasional yang didukung pendanaan internasional menjadikan negara beserta rakyat miskin menjadi subordinasi kapital internasional dalam produksi pangan dan penyediaan pangan nasional.
       Fenomena ini harus diwaspadai dan diantisipasi lebih dini agar negara tidak menjadi korban eksploitasi kapital sebagai dampak liberalisasi dunia. Memperkuat Badan Usaha Milik Negara (BUMN berbasis pertanian) dalam stabilisasi produksi dan harga pangan yang didorong pilar kabupaten/kota serta provinsi perlu secepatnya dilakukan untuk melawan balik dominasi kapitalis asing yang semakin terus menggurita.
       Pendekatan ini memungkinkan adopsi teknologi maju, perluasan akses dan jaminan pasar, efisiensi proses produksi dapat dioptimalkan. BUMN juga dapat berperan sebagai penjamin (avails) dalam program pengembangan komoditas pangan. Indonesia perlu memanfaatkan peluang untuk produksi pangan sekaligus menghasilkan angka pertumbuhan signifikan di level akar rumput.
       Harga beras dalam negeri yang tinggi ini harus dianggap sebagai kesempatan yang sedang panen raya untuk memproduksi pangan secara maksimal. Diperlukan regulasi yang berpihak pada petani agar kesempatan ini dapat dinikmati petani bukan pedagang seperti yang terjadi selama ini.

       Keandalan Pemerintah dalam stabilisasi pangan dalam 6-12 bulan ke depan merupakan indikator terukur atas kinerja Pemerintah dalam melindungi masyarakat miskin dari gempuran konglomerasi, bahkan mafia pangan dunia. Pertimbangannya, lawan politik dipastikan akan melakukan destabilisasi politik menjelang pemilu untuk menjatuhkan citra Pemerintah. Salah satunya melalui pasokan pangan. Apabila itu dapat direalisasikan, masih ada harapan memenangkan pemilu 2009. Argumennya, pangan adalah urusan perut yang tidak bisa ditawar sebagaimana urusan politik.

(di muat di Harian Umum Republika – 21 April 2008)

Tidak ada komentar: