Jumat, 08 Agustus 2014

PANGAN MURAH: PERTARUNGAN ANTARA IMPOR DAN EKPOR?

       Pangan mahal karena diekspor dan pangan murah karena impor dengan harga Dumping sedang bertarung untuk menentukan siapa pemenang dan korbannya. Jawaban atas pernyataan tersebut diuji saat ini dengan melambungnya harga minyak goreng dan susu di atas batas psikologis.
       Pertanyaannya, benarkah petani sawit dan peternak susu akan memperoleh manfaat atau justru sebaliknya? Lalu, bagaimana dengan masyarakat miskin yang tidak mengelola keduanya, akankah mereka menjadi korban dari pasar yang tidak adil?
       Relevankah politik pangan murah melalui impor yang sangat melemahkan semangat dan kemampuan sistem produksi masih dipertahankan? Ataukah Pemerintah akan mengejar devisa dengan mengorbankan rakyatnya demi kepentingan sesaat yang sesat dari segelintir pengusaha? Akankah Indonesia sebagai negara agraris meninggalkan format orisinalnya, dan menyerahkan kedaulatan pangannya pada mekanisme pasar/impor yang political and economical content-nya sangat tinggi?
       Diperlukan transformasi absolut pola pikir para ekonom dan pengambil kebijakan agar konsep pangan murah dengan reference impor pangan tidak berdasarkan rugi laba sesaat, tetapi harus memperhitungkan keberlanjutan sistem produksi dalam negeri yang merupakan mayoritas penduduk, pemegang saham kedaulatan tertinggi. Pangan merupakan pertahanan terakhir suatu bangsa, karena kekuatan kualitas dan kinerja generasi suatu negara sangat dipengaruhi ketersediaan, kualitas dan akses asupan pangan yang dikonsumsi.
       Itulah sebabnya mengapa pada saat Mataram menyerbu Batavia, Belanda tidak menghadapi secara langsung melainkan membakar cadangan pangannya di sepanjang pantai utara Jawa terlebih dahulu. Kampanye penyediaan pangan murah melalui impor dengan pseudo-price yang sarat subsidi harus disadari semua pihak sebagai siasat licik pemburu rente menghancurkan sistem produksi nasional agar dapat menciptakan ketergantungan pangan absolut, sehingga secara ekonomi dan politik rapuh.
       Perlindungan terhadap sistem produksi pertanian nasional yang paling konkret adalah mengamankan produksi dan harga pangan utama dalam negeri dan mendongkrak harga komoditas musiman yang selalu jatuh harganya saat panen raya (jeruk, duku, durian, mangga). Sebaliknya Pemerintah juga harus menghapus monopoli impor pangan dari negara tertentu agar harganya di dalam negeri menjadi lebih menguntungkan masyarakat.
       Departemen Pertanian sudah menginisiasi dengan membuka impor daging sesuai ketentuan yang ditetapkan, di antaranya adalah syarat keselamatan kesehatan bagi manusia maupun populasi ternak dalam negeri.
       Reaksi dan tuduhan negatifnya luar biasa, karena penikmat monopoli yang selama ini memperoleh keuntungan besar melalui pengaturan harga dan volume daging yang diimpor, kini harus bersaing dengan daging dengan kualitas yang identik dengan harga yang jauh lebih murah.
       Inilah salah satu bentuk keberpihakan Pemerintah terhadap rakyatnya yang harus dilakukan di berbagai sektor agar petani dan masyarakat tidak diserahkan secara total pada mekanisme pertarungan bebas. Membiarkan petani melakukan pertahanan hidup secara alami demi mempertahankan hidup, tanpa keberpihakan Pemerintah yang memadai merupakan bentuk kekerasan Pemerintah terhadap rakyatnya.
       Melonjaknya harga minyak goreng dan susu yang tidak terkendali dengan masyarakat miskin sebagai korbannya adalah contohnya. Diperlukan sistem perlindungan dan keberpihakan Pemerintah terhadap petani dan masyarakat kelas bawah yang sudah lama tidak berpengharapan, karena banyak yang sudah putus asa.
       Indonesia harus meningkatkan kemampuan dalam memberikan peringatan dini ke sektor produksi untuk melakukan antisipasi dini. Ketidakberdayaan Pemerintah dalam mengendalikan harga minyak goreng, sementara Indonesia merupakan produsen CPO terbesar di dunia, menunjukkan bahwa ada banyak tangan kuat di balik cerita itu. Pemerintahan bersama petani harus bersinergi membangun negara yang kuat agar mempunyai kekuatan untuk bertempur melawan kartel pemburu rente. Peran BUMN dalam stabilisasi harga dan pasokan pangan harus dimaksimalkan keberpihakannya terhadap petani dan masyarakat miskin. Berhentilah mencari untung dari mekanisme pasar nasional dan internasional yang imperfect, karena realitanya Indonesia lebih banyak menjadi objek eksploitasi ekonomi dan sandera hidup oleh pemodal politik dan ekonomi, kartel nasional dan internasional melalui pengendalian suplai dan harga pangan.

Kemandirian Pangan Absolut
       Pemerintah harus keluar dari posisi abu-abu dan mengambil sikap tegas dalam pemenuhan pangan dalam negeri. Posisi mendua Pemerintah dalam berbagai kebijakan impor pangan menjadikan keberlanjutan usaha tani, nasib, masa depan petani, semakin tidak menentu. Sekali produk pangan impor masuk, Pemerintah akan mengalami kesulitan menghentikannya, apalagi kalau didukung preferensi konsumen dengan back up "politik dan oknum birokrasi" yang kuat.
       Efek domino dan bola salju penurunan akses pangan akibat pasokan dan harga yang melambung, dipastikan akan terus terjadi sebagai bagian permainan perdagangan internasional. Untuk itu, pembukaan areal baru komoditas serealia, buah-buahan dan ternak, harus dilakukan secara besar-besaran dan sekarang juga, terutama di Sulawesi, Maluku, dan Papua, agar Indonesia tidak terjebak pada perangkap pangan yang saat ini di beberapa lokasi sangat mengerikan.
       Pemenuhan kebutuhan pangan bagi penduduk di atas 225 juta jiwa dengan laju pertumbuhan 1,35 persen per tahun tidak akan bisa dilakukan dengan gali dan tutup lubang, tetapi harus ada terobosan besarnya. Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, harus dipercepat dan didiversifikasi keluarannya agar dapat memenuhi kebutuhan pangan paling tidak dalam periode 25 tahun mendatang.
       Dana investasinya diambil dari uang tidur di sertifikat Bank Indonesia yang selama ini underutilized. Pemberdayaan sarjana pertanian baru yang jumlahnya ratusan ribu, akan dapat memutar banyak roda kecil perekonomian di daerah. Selain tahan terhadap guncangan krisis apa pun, sistem ini lebih berkelanjutan, karena berbasis pada keunggulan sumber daya dan kearifan lokal. Kinerjanya dipastikan lebih menjanjikan dibandingkan sektor industri yang padat modal, barang impor dan pada teknologi tetapi rawan krisis.

Secara simultan, Pemerintah harus secepatnya memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dan secara bertahap menutup euforia pangan murah berbasis impor. Keberpihakan Pemerintah terhadap pascapanen, pemasaran dan harga, harus dimaksimalkan. Keringat dan tenaga petani yang sudah tidak berdaya dan berpunya, tidak pantas disubsidikan kepada orang kaya di perkotaan melalui harga jeruk, cabai, bawang merah dan buah-buahan yang jauh di bawah biaya produksinya.

(Tulisan ini dimuat pada: Harian Umum Suara Pembaharuan – 24 Juli 2007)

Tidak ada komentar: