Minggu, 10 Agustus 2014

BANJIR EKSEPSIONAL

Istar Husain, seorang warga Banglades, menggambarkan bencana banjir yang mendera negerinya tahun 2007 dengan teramat getir: "Begitu banyak hujan saat ini yang menghanyutkan tepian sungai dengan cepat. Tidak ada tempat yang dapat dituju karena lahan kami menjadi sungai dan kini kami tak punya apa-apa lagi."
       Ilustrasi di atas relevan karena sama persis dengan yang dialami ratusan ribu atau bahkan jutaan warga Indonesia saat ini. Banjir yang menerjang sebagian besar kabupaten di Indonesia saat ini sungguh luar biasa.
       Manusia terseret arus, tertimbun lumpur, dan terkubur hidup- hidup. Korban tewas terus berjatuhan, nyawa seakan tidak berharga, sawah dan permukiman mereka berantakan diterjang banjir. Bendung jebol, jembatan ambruk, jalan tertutup air dengan aliran yang sangat deras sehingga transportasi dan urat nadi perekonomian terputus.
       Biaya tambahan akibat banjir ini harus ditanggung dan dibayar warga miskin, termasuk akibat kacaunya pasokan dan harga bahan pangan.

Dari Kritis ke Berisiko Tinggi
       Benarkah banjir yang terjadi kali ini memang dapat dikategorikan exceptional flood? Ditinjau dari besaran dan distribusinya, maka banjir kali ini memang di luar kelaziman. Banjir terjadi dari Sabang sampai Merauke, diperparah puting beliung, tanah longsor, genangan, gelombang pasang laut yang sangat besar sehingga luas wilayah yang terkena, jumlah korban dan dampak kerugian yang ditimbulkan jauh lebih besar dibandingkan banjir konvensional sebelumnya.
       Banjir yang lebih dahsyat diprakirakan masih akan terjadi sampai bulan Januari 2008. Argumennya, berdasarkan prakiraan BMG, hujan dengan intensitas lebih tinggi disertai gelombang pasang laut berpeluang terjadi. Kondisi ini diperburuk dengan degradasi kualitas daerah aliran sungai yang bergeser dari kritis menjadi berisiko tinggi.
       Data Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (2007) menunjukkan bahwa dari 16 sungai utama di Pulau Jawa yang dipantau, rasio debit maksimum terhadap debit minimum (Qmak/Qmin) bervariasi dari 318 (Kali Brantas) sampai 12.500 (Sungai Citanduy). Artinya, semua sungai di Jawa yang dipantau telah bergeser dari kritis dengan (Qmak/Qmin) antara 30-100 menjadi berisiko tinggi dengan (Qmak/Qmin) melampaui 100.
       Ilustrasi ini menunjukkan warming up banjir saja sudah demikian mengerikan, lalu bagaimana dengan puncak banjirnya?

Berhenti Berwacana
       Semua pihak di segala strata harus menahan diri, berhenti berwacana dan membuat pernyataan politik. Bekerja berdasarkan apa yang seharusnya dilakukan (must be done), bukan apa yang dapat dikerjakan (can be done). Kita harus yakin bahwa banjir bukan kejadian alamiah, tetapi merupakan buatan manusia sehingga pasti dapat diselesaikan.
       Paling tidak ada tiga langkah fundamental untuk penyelesaian banjir yang mendesak dilakukan: (i) reorientasi basis pembangunan dari ekonomi ke lingkungan (ii) reformulasi desentralisasi/otonomi, dan (iii) moratorium alih fungsi lahan.
       Pemerintah harus melepas kacamata kuda mazhab ekonomi makronya yang lebih meng-utamakan pengamanan nilai tukar, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi tanpa berpikir sumber pertumbuhan, kualitas, dan tingkat kesehatan pertumbuhannya. Pertumbuhan yang berbasis eksploitasi sumber daya alam dan tidak menyentuh akar rumput, sekalipun tinggi, dipastikan sangat rawan dan berisiko karena hasilnya akan digerogoti dan digerus bencana lingkungan seperti yang terjadi saat ini.
       Revisi otonomi berkaitan tugas sektor lingkungan dari kabupaten/kota ke provinsi merupakan keharusan agar rentang kendali dan penyelesaian masalah pembangunan lingkungan dapat lebih cepat.
       Semua pemangku kepentingan harus realistis menyikapi banjir karena realitasnya Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota kurang/tidak tertarik untuk menyelesaikan masalah bencana lingkungan. Selain biayanya mahal, memerlukan tenaga dan waktu banyak, benefit finansialnya tidak terukur.
       Artinya, penyerahan pengelolaan lingkungan melalui mekanisme otonomi/desentralisasi sama saja menyerahkan bencana kepada mekanisme pasar. Dead lock akibat kesalahan menerjemahkan otonomi ini harus dibuka secara transparan, dianalisis dan dicari solusinya. Diskoneksi hubungan vertikal ini harus direformulasi agar masa depan bangsa dan generasi mendatang tidak musnah ditelan bencana lingkungan.
       Betonisasi dan aspalisasi serta alih fungsi lahan bervegetasi menjadi lahan nonvegetasi merupakan masalah yang harus secepatnya diselesaikan. Moratorium alih fungsi lahan dalam segala bentuk, termasuk rencana Pemerintah membangun ruas jalan tol, merupakan pilihan pahit yang harus ditelan Pemerintah. Secara simultan, penanaman pohon dan pemulihan DAS harus terus dikembangkan, baik jumlah maupun lokasinya.

       Prinsip alone we can do so little; together we can do so much yang dikumandangkan Helen Keller tampaknya dapat dijadikan pegangan bersama dalam mendobrak kebuntuan penyelesaian masalah banjir selama ini.

(di muat di Harian Umum Kompas – 2 Januari 2008)

Tidak ada komentar: