Istar
Husain, seorang warga Banglades, menggambarkan bencana banjir yang mendera
negerinya tahun 2007 dengan teramat getir: "Begitu banyak hujan saat ini
yang menghanyutkan tepian sungai dengan cepat. Tidak ada tempat yang dapat
dituju karena lahan kami menjadi sungai dan kini kami tak punya apa-apa
lagi."
Ilustrasi di atas relevan karena sama
persis dengan yang dialami ratusan ribu atau bahkan jutaan warga Indonesia saat
ini. Banjir yang menerjang sebagian besar kabupaten di Indonesia saat ini
sungguh luar biasa.
Manusia terseret arus, tertimbun lumpur,
dan terkubur hidup- hidup. Korban tewas terus berjatuhan, nyawa seakan tidak
berharga, sawah dan permukiman mereka berantakan diterjang banjir. Bendung
jebol, jembatan ambruk, jalan tertutup air dengan aliran yang sangat deras
sehingga transportasi dan urat nadi perekonomian terputus.
Biaya tambahan akibat banjir ini harus
ditanggung dan dibayar warga miskin, termasuk akibat kacaunya pasokan dan harga
bahan pangan.
Dari
Kritis ke Berisiko Tinggi
Benarkah banjir yang terjadi kali ini
memang dapat dikategorikan exceptional
flood? Ditinjau dari besaran dan distribusinya, maka banjir kali ini memang
di luar kelaziman. Banjir terjadi dari Sabang sampai Merauke, diperparah puting
beliung, tanah longsor, genangan, gelombang pasang laut yang sangat besar
sehingga luas wilayah yang terkena, jumlah korban dan dampak kerugian yang
ditimbulkan jauh lebih besar dibandingkan banjir konvensional sebelumnya.
Banjir yang lebih dahsyat diprakirakan
masih akan terjadi sampai bulan Januari 2008. Argumennya, berdasarkan prakiraan
BMG, hujan dengan intensitas lebih tinggi disertai gelombang pasang laut
berpeluang terjadi. Kondisi ini diperburuk dengan degradasi kualitas daerah
aliran sungai yang bergeser dari kritis menjadi berisiko tinggi.
Data Direktorat Jenderal Sumber Daya Air
(2007) menunjukkan bahwa dari 16 sungai utama di Pulau Jawa yang dipantau,
rasio debit maksimum terhadap debit minimum (Qmak/Qmin) bervariasi dari 318
(Kali Brantas) sampai 12.500 (Sungai Citanduy). Artinya, semua sungai di Jawa
yang dipantau telah bergeser dari kritis dengan (Qmak/Qmin) antara 30-100
menjadi berisiko tinggi dengan (Qmak/Qmin) melampaui 100.
Ilustrasi ini menunjukkan warming up
banjir saja sudah demikian mengerikan, lalu bagaimana dengan puncak banjirnya?
Berhenti
Berwacana
Semua pihak di segala strata harus
menahan diri, berhenti berwacana dan membuat pernyataan politik. Bekerja
berdasarkan apa yang seharusnya dilakukan (must
be done), bukan apa yang dapat dikerjakan (can be done). Kita harus yakin bahwa banjir bukan kejadian alamiah,
tetapi merupakan buatan manusia sehingga pasti dapat diselesaikan.
Paling tidak ada tiga langkah fundamental
untuk penyelesaian banjir yang mendesak dilakukan: (i) reorientasi basis
pembangunan dari ekonomi ke lingkungan (ii) reformulasi desentralisasi/otonomi,
dan (iii) moratorium alih fungsi lahan.
Pemerintah harus melepas kacamata kuda
mazhab ekonomi makronya yang lebih meng-utamakan pengamanan nilai tukar,
inflasi, dan pertumbuhan ekonomi tanpa berpikir sumber pertumbuhan, kualitas,
dan tingkat kesehatan pertumbuhannya. Pertumbuhan yang berbasis eksploitasi
sumber daya alam dan tidak menyentuh akar rumput, sekalipun tinggi, dipastikan
sangat rawan dan berisiko karena hasilnya akan digerogoti dan digerus bencana
lingkungan seperti yang terjadi saat ini.
Revisi otonomi berkaitan tugas sektor
lingkungan dari kabupaten/kota ke provinsi merupakan keharusan agar rentang
kendali dan penyelesaian masalah pembangunan lingkungan dapat lebih cepat.
Semua pemangku kepentingan harus
realistis menyikapi banjir karena realitasnya Pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota kurang/tidak tertarik untuk menyelesaikan masalah bencana
lingkungan. Selain biayanya mahal, memerlukan tenaga dan waktu banyak, benefit
finansialnya tidak terukur.
Artinya, penyerahan pengelolaan
lingkungan melalui mekanisme otonomi/desentralisasi sama saja menyerahkan
bencana kepada mekanisme pasar. Dead lock
akibat kesalahan menerjemahkan otonomi ini harus dibuka secara transparan,
dianalisis dan dicari solusinya. Diskoneksi hubungan vertikal ini harus
direformulasi agar masa depan bangsa dan generasi mendatang tidak musnah
ditelan bencana lingkungan.
Betonisasi dan aspalisasi serta alih
fungsi lahan bervegetasi menjadi lahan nonvegetasi merupakan masalah yang harus
secepatnya diselesaikan. Moratorium alih fungsi lahan dalam segala bentuk,
termasuk rencana Pemerintah membangun ruas jalan tol, merupakan pilihan pahit
yang harus ditelan Pemerintah. Secara simultan, penanaman pohon dan pemulihan
DAS harus terus dikembangkan, baik jumlah maupun lokasinya.
Prinsip alone we can do so little; together
we can do so much yang dikumandangkan Helen Keller tampaknya dapat
dijadikan pegangan bersama dalam mendobrak kebuntuan penyelesaian masalah
banjir selama ini.
(di muat di Harian Umum Kompas – 2 Januari 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar