Jumat, 08 Agustus 2014

LAHAN DAN AIR, UNTUK APA DAN SIAPA?

Pertanyaan pada judul itu pasti dan terus mengemuka ke Pemerintah karena kian banyaknya petani bertanah air Indonesia tidak memiliki tanah (landless), termasuk air, sebagai komponen utama kehidupan.
Kondisi ini menyebabkan terjadinya peningkatan intensitas kemiskinan masyarakat yang amat sulit ditolong dengan cara dan dana berapa pun besarnya. Sayang, dalam menyikapi persoalan mendasar itu, Pemerintah lebih banyak aman (safety playing) dengan mengedepankan pendekatan teknologi dibandingkan dengan memecahkan masalah esensialnya, yaitu keadilan lahan dan air.
Indikatornya, Pemerintah lebih banyak berinvestasi untuk teknologi baru dalam rangka meningkatkan produktivitas lahan ketimbang memikirkan alokasi dan distribusi pemilikan lahan dan air sebagai faktor pembatas (limiting factor).
Dampaknya, peningkatan produksi yang diperoleh tidak proporsional daripada investasi teknologi, waktu, tenaga, dan biaya. Buktinya, pendapatan dan keuntungan usaha tani kian memprihatinkan, petani kian susah kehidupannya.
Implikasi langsungnya, generasi muda yang berpendidikan (educated young generation) cenderung menghindari berprofesi sebagai petani. Meski berpendidikan sarjana pertanian, pilihan menjadi petani biasanya karena terpaksa dan merupakan alternatif terakhir.
Berdasarkan ilustrasi itu, maka pola, strategi, dan pendekatan peningkatan kesejahteraan petani harus dirombak secara mendasar dari pendekatan berbasis teknologi (technological base) semata ke kombinasi berbasis akses sumber daya (resources access base) didukung basis politik pemasaran (marketing political base) yang proporsional.
Argumennya, dengan akses sumber daya memadai, skala usaha minimal, unit pengolahan hasil dan wilayah pengembangan, pendapatan usaha tani, serta daya saing produk dapat dioptimalkan.
Bagaimana petani dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya jika lahan yang dimiliki sebagai satu-satunya gantungan dan pegangan hidup kurang dari 0,3 hektar, dengan ketidakpastian distribusi dan alokasi air antar wilayah dan antar waktu yang amat tinggi dan selalu dikorbankan saat terjadi kelangkaan air?
Ironisnya, meski derita, impitan petani sudah kian mengenaskan. Namun, Pemerintah baru bekerja pada tataran political will, belum pada political action dalam hal alokasi sumber daya, terutama lahan dan air. Diperlukan keadilan distribusi dan alokasi air apabila Pemerintah serius memperbaiki nasib dan masa depan petani.
Keadilan Distribusi serta Alokasi Lahan dan Air
Indonesia perlu belajar dari negara serumpun, seperti Malaysia dan Filipina, dalam mewujudkan keadilan lahan dan air bagi rakyatnya. Tahapan mendasar yang harus segera dikerjakan Pemerintah adalah mengurangi terjadinya konsentrasi/pemusatan kepemilikan dan penguasaan lahan dan air oleh segelintir elite dan mendistribusikan kepada generasi baru terdidik untuk diusahakan dengan dukungan pembiayaan dan pemasaran Pemerintah. Generasi muda berpendidikan inilah yang diharapkan dapat mereformasi dan memodernisasi pertanian masa depan.
Keadilan lahan dan air harus diwujudkan karena berdasar nisbah (ratio) antara luas lahan sawah nasional yang 11,97 juta hektar dimiliki 25.6 juta keluarga petani, sementara pemilik konsesi hak penguasaan hutan yang 266 menguasai lahan lebih dari 27 juta hektar.
Dengan kecenderungan luas rata-rata pemilikan lahan sawah yang terus menurun akibat: (1) laju alih fungsi lahan yang sangat tinggi (33.000 hektar per tahun) di Jawa; (2) pasokan air untuk pertanian yang terus menurun akibat lemahnya posisi tawar (bargaining position) terhadap sektor domestik, municipal, dan industri; (3) hukum waris yang memungkinkan sawah/kebun dibagi secara fisik sehingga sikap dan posisi tegas Pemerintah amat diperlukan.
Langkah awal yang dapat dilakukan Pemerintah adalah mengalihkan lahan hak guna usaha dan kawasan hutan produksi yang underutilized untuk kepentingan masyarakat yang secara fisik tidak memiliki akses, kontrol, partisipasi, serta manfaat lahan di sekitarnya.
Pendekatan itu harus didukung tindakan dan kontrol nyata presiden atas gubernur, bupati/wali kota yang melakukan alih fungsi lahan produktif karena sebenarnya Indonesia telah memiliki instrumen yang amat memadai guna mencegah alih fungsi lahan. Tanpa wibawa dan teladan presiden dan jajarannya yang kuat, masalah keadilan lahan dan pencegahan alih fungsi lahan tidak akan pernah dapat diwujudkan.
Dalam hal keadilan air, Pemerintah harus segera meninjau kembali tanpa harus merasa kalah, Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air yang memberi peluang hak guna air kepada swasta yang secara nyata bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
Selain menyengsarakan masyarakat dan petani, dampak negatif langsung dari implementasi UU itu sudah amat mengganggu sistem produksi pertanian nasional. Teladannya, terjadinya penurunan indeks pertanaman di wilayah sekitar mata air dari 2,5 menjadi 1,8 dengan pendapatan yang amat rendah, bahkan tidak layak dibandingkan dengan upah minimum sekalipun.
Pemerintah harus segera memberi alokasi dan distribusi sumber daya air kepada masyarakat secara memadai karena merekalah pemilik sejati (the real owner/stakeholder). Pertanyaannya, bagaimana meningkatkan kesejahteraan petani secara nyata?
Meningkatkan Kesejahteraan Petani
Spirit peningkatan kesejahteraan petani dalam arti sebenarnya tampaknya mendapat perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang kebetulan dilahirkan di daerah lahan kering. Hal ini, antara lain, tercermin dari persetujuan Presiden atas usul Menteri Pertanian untuk membentuk Direktorat Jenderal Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air sebagai mesin kerja dalam peningkatan kesejahteraan rakyat.
Lahan dan air diangkat peran dan posisinya sebagai basis utama dalam peningkatan produktivitas, pendapatan, dan kesejahteraan petani. Berkaitan dengan rencana pembentukan direktorat jenderal baru itu, ada empat usulan strategis.
Pertama, pengelolaan sumber daya air dan pengembangan irigasi suplementer (supplementary irrigation) lahan kering. Kedua, pengelolaan sumber daya lahan. Ketiga, pembukaan dan pengembangan wilayah pertanian baru. Keempat, rehabilitasi lahan terdegradasi.
Argumennya, luas lahan kering dan potensi air nasional amat besar, tetapi alokasi, distribusi, dan pemanfaatannya masih underutilized, sementara potensi produksi dan diversifikasi komoditasnya amat menjanjikan.
Pengalaman negara-negara maju di Eropa, Amerika Serikat, dan Australia dapat dijadikan teladan karena terbukti dapat memenuhi kebutuhan produksi pertanian sekaligus mendorong ekspor.
Perkebunan tebu swasta di Lampung, pengembangan sayuran, buah-buahan, dan florikultura terbukti amat menjanjikan (permisible) dan membuktikan lahan kering yang didukung irigasi suplementer dapat memberi pendapatan jauh lebih tinggi ketimbang lahan sawah irigasi teknis sekalipun.
Pengembangan irigasi lahan kering ini dilakukan untuk mengimbangi penyusutan lahan sawah sekaligus mengantisipasi terjadinya kelangkaan air (water scarcity). Pengelolaan sumber daya lahan diperlukan guna memberi dukungan teknologi pada lahan marjinal dan terdegradasi serta alokasi lahan untuk meningkatkan pendapatan petani secara berkelanjutan.
Sementara pembukaan lahan baru harus dilakukan Pemerintah untuk menyediakan sandang, pangan, dan papan serta lapangan kerja baru sekaligus mewujudkan keadilan lahan dan air. Rehabilitasi lahan amat diperlukan karena luas lahan terdegradasi nasional masih amat mencengangkan (lebih dari dua juta hektar), sementara kemampuan rehabilitasinya selama empat tahun kurang dari 500.000 hektar.
Pengalaman Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dalam peningkatan produktivitas lahan pasir dan Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Bogor, dalam meningkatkan produktivitas lahan marjinal di Gunung Kidul dapat dijadikan pelajaran bahwa lahan marjinal dan lahan terdegradasi sekalipun dapat ditingkatkan produktivitasnya apabila dikelola dengan baik. 


(Tulisan ini dimuat pada: Harian Umum Kompas – 24 Januari 2004)

Tidak ada komentar: