Pertanyaan pada judul itu
pasti dan terus mengemuka ke Pemerintah karena kian banyaknya petani bertanah
air Indonesia tidak memiliki tanah (landless),
termasuk air, sebagai komponen utama kehidupan.
Kondisi ini menyebabkan terjadinya
peningkatan intensitas kemiskinan masyarakat yang amat sulit ditolong dengan
cara dan dana berapa pun besarnya. Sayang, dalam menyikapi persoalan mendasar
itu, Pemerintah lebih banyak aman (safety
playing) dengan mengedepankan pendekatan teknologi dibandingkan dengan
memecahkan masalah esensialnya, yaitu keadilan lahan dan air.
Indikatornya, Pemerintah
lebih banyak berinvestasi untuk teknologi baru dalam rangka meningkatkan
produktivitas lahan ketimbang memikirkan alokasi dan distribusi pemilikan lahan
dan air sebagai faktor pembatas (limiting
factor).
Dampaknya, peningkatan
produksi yang diperoleh tidak proporsional daripada investasi teknologi, waktu,
tenaga, dan biaya. Buktinya, pendapatan dan keuntungan usaha tani kian
memprihatinkan, petani kian susah kehidupannya.
Implikasi langsungnya,
generasi muda yang berpendidikan (educated
young generation) cenderung menghindari berprofesi sebagai petani. Meski
berpendidikan sarjana pertanian, pilihan menjadi petani biasanya karena
terpaksa dan merupakan alternatif terakhir.
Berdasarkan ilustrasi itu,
maka pola, strategi, dan pendekatan peningkatan kesejahteraan petani harus
dirombak secara mendasar dari pendekatan berbasis teknologi (technological base) semata ke kombinasi
berbasis akses sumber daya (resources
access base) didukung basis politik pemasaran (marketing political base) yang proporsional.
Argumennya, dengan akses
sumber daya memadai, skala usaha minimal, unit pengolahan hasil dan wilayah
pengembangan, pendapatan usaha tani, serta daya saing produk dapat
dioptimalkan.
Bagaimana petani dapat
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya jika lahan yang dimiliki sebagai
satu-satunya gantungan dan pegangan hidup kurang dari 0,3 hektar, dengan
ketidakpastian distribusi dan alokasi air antar wilayah dan antar waktu yang
amat tinggi dan selalu dikorbankan saat terjadi kelangkaan air?
Ironisnya, meski derita,
impitan petani sudah kian mengenaskan. Namun, Pemerintah baru bekerja pada
tataran political will, belum pada political
action dalam hal alokasi sumber daya, terutama lahan dan air. Diperlukan
keadilan distribusi dan alokasi air apabila Pemerintah serius memperbaiki nasib
dan masa depan petani.
Keadilan Distribusi serta Alokasi Lahan dan Air
Indonesia perlu belajar
dari negara serumpun, seperti Malaysia dan Filipina, dalam mewujudkan keadilan
lahan dan air bagi rakyatnya. Tahapan mendasar yang harus segera dikerjakan Pemerintah
adalah mengurangi terjadinya konsentrasi/pemusatan kepemilikan dan penguasaan
lahan dan air oleh segelintir elite dan mendistribusikan kepada generasi baru
terdidik untuk diusahakan dengan dukungan pembiayaan dan pemasaran Pemerintah. Generasi
muda berpendidikan inilah yang diharapkan dapat mereformasi dan memodernisasi
pertanian masa depan.
Keadilan lahan dan air
harus diwujudkan karena berdasar nisbah (ratio) antara luas lahan sawah
nasional yang 11,97 juta hektar dimiliki 25.6 juta keluarga petani, sementara pemilik
konsesi hak penguasaan hutan yang 266 menguasai lahan lebih dari 27 juta
hektar.
Dengan kecenderungan luas
rata-rata pemilikan lahan sawah yang terus menurun akibat: (1) laju alih fungsi
lahan yang sangat tinggi (33.000 hektar per tahun) di Jawa; (2) pasokan air
untuk pertanian yang terus menurun akibat lemahnya posisi tawar (bargaining position) terhadap sektor
domestik, municipal, dan industri; (3) hukum waris yang memungkinkan
sawah/kebun dibagi secara fisik sehingga sikap dan posisi tegas Pemerintah amat
diperlukan.
Langkah awal yang dapat
dilakukan Pemerintah adalah mengalihkan lahan hak guna usaha dan kawasan hutan
produksi yang underutilized untuk
kepentingan masyarakat yang secara fisik tidak memiliki akses, kontrol,
partisipasi, serta manfaat lahan di sekitarnya.
Pendekatan itu harus
didukung tindakan dan kontrol nyata presiden atas gubernur, bupati/wali kota
yang melakukan alih fungsi lahan produktif karena sebenarnya Indonesia telah
memiliki instrumen yang amat memadai guna mencegah alih fungsi lahan. Tanpa
wibawa dan teladan presiden dan jajarannya yang kuat, masalah keadilan lahan
dan pencegahan alih fungsi lahan tidak akan pernah dapat diwujudkan.
Dalam hal keadilan air, Pemerintah
harus segera meninjau kembali tanpa harus merasa kalah, Undang-Undang (UU) No.
7 Tahun 2004 tentang sumber daya air yang memberi peluang hak guna air kepada
swasta yang secara nyata bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
Selain menyengsarakan
masyarakat dan petani, dampak negatif langsung dari implementasi UU itu sudah
amat mengganggu sistem produksi pertanian nasional. Teladannya, terjadinya
penurunan indeks pertanaman di wilayah sekitar mata air dari 2,5 menjadi 1,8 dengan
pendapatan yang amat rendah, bahkan tidak layak dibandingkan dengan upah
minimum sekalipun.
Pemerintah harus segera
memberi alokasi dan distribusi sumber daya air kepada masyarakat secara memadai
karena merekalah pemilik sejati (the real
owner/stakeholder). Pertanyaannya, bagaimana meningkatkan kesejahteraan
petani secara nyata?
Meningkatkan Kesejahteraan
Petani
Spirit peningkatan
kesejahteraan petani dalam arti sebenarnya tampaknya mendapat perhatian
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang kebetulan dilahirkan di daerah lahan
kering. Hal ini, antara lain, tercermin dari persetujuan Presiden atas usul
Menteri Pertanian untuk membentuk Direktorat Jenderal Pengelolaan Sumber Daya
Lahan dan Air sebagai mesin kerja dalam peningkatan kesejahteraan rakyat.
Lahan dan air diangkat
peran dan posisinya sebagai basis utama dalam peningkatan produktivitas,
pendapatan, dan kesejahteraan petani. Berkaitan dengan rencana pembentukan
direktorat jenderal baru itu, ada empat usulan strategis.
Pertama, pengelolaan sumber
daya air dan pengembangan irigasi suplementer (supplementary irrigation) lahan kering. Kedua, pengelolaan sumber
daya lahan. Ketiga, pembukaan dan pengembangan wilayah pertanian baru. Keempat,
rehabilitasi lahan terdegradasi.
Argumennya, luas lahan kering
dan potensi air nasional amat besar, tetapi alokasi, distribusi, dan
pemanfaatannya masih underutilized,
sementara potensi produksi dan diversifikasi komoditasnya amat menjanjikan.
Pengalaman negara-negara
maju di Eropa, Amerika Serikat, dan Australia dapat dijadikan teladan karena
terbukti dapat memenuhi kebutuhan produksi pertanian sekaligus mendorong
ekspor.
Perkebunan tebu swasta di
Lampung, pengembangan sayuran, buah-buahan, dan florikultura terbukti amat
menjanjikan (permisible) dan
membuktikan lahan kering yang didukung irigasi suplementer dapat memberi
pendapatan jauh lebih tinggi ketimbang lahan sawah irigasi teknis sekalipun.
Pengembangan irigasi lahan
kering ini dilakukan untuk mengimbangi penyusutan lahan sawah sekaligus
mengantisipasi terjadinya kelangkaan air (water
scarcity). Pengelolaan sumber daya lahan diperlukan guna memberi dukungan
teknologi pada lahan marjinal dan terdegradasi serta alokasi lahan untuk
meningkatkan pendapatan petani secara berkelanjutan.
Sementara pembukaan lahan baru
harus dilakukan Pemerintah untuk menyediakan sandang, pangan, dan papan serta
lapangan kerja baru sekaligus mewujudkan keadilan lahan dan air. Rehabilitasi
lahan amat diperlukan karena luas lahan terdegradasi nasional masih amat
mencengangkan (lebih dari dua juta hektar), sementara kemampuan rehabilitasinya
selama empat tahun kurang dari 500.000 hektar.
Pengalaman
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dalam peningkatan produktivitas lahan
pasir dan Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Bogor, dalam meningkatkan
produktivitas lahan marjinal di Gunung Kidul dapat dijadikan pelajaran bahwa
lahan marjinal dan lahan terdegradasi sekalipun dapat ditingkatkan
produktivitasnya apabila dikelola dengan baik.
(Tulisan ini dimuat pada: Harian Umum Kompas – 24 Januari 2004)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar