Kontroversi
atas harga beras yang konsisten tinggi dan peningkatan produksi beras 2,45
persen (ARAM III BPS 2010) menyisakan tanda tanya besar.
Benarkah harga beras dibentuk oleh
mekanisme pasar atau didikte kelompok tertentu? Ke mana surplus beras 5 juta
ton saat panen raya Maret-Mei 2010? Siapa yang menyimpan?
Kewaspadaan terhadap kenaikan harga
pangan merupakan keharusan. Ini karena, menurut BPS, kenaikan 10 persen harga
beras akan menambah jumlah penduduk miskin 2,5 juta jiwa.
Spekulan Pangan
Mewaspadai ”spekulan pangan” merupakan
keharusan bagi Indonesia untuk menghindari terjadinya huru-hara politik akibat
amuk massa. Penggorengan harga pangan oleh spekulan pangan saat panen raya dan
paceklik akan mendestruksi sistem dan infrastruktur produksi pangan nasional.
Implikasinya, gairah berproduksi dan produksi pangan nasional merosot sehingga
bergantung pada pangan impor.
Sebagai ilustrasi, Indonesia pada
1990-an merupakan eksportir sapi. Namun, destruksi oleh daging impor murah
menghancurkan sistem produksi ternak nasional sehingga Indonesia menjadi
importir sapi hingga kini.
Indonesia juga pernah mencapai
swasembada kedelai pada 1992, tetapi pada 1998 hancur dengan dibukanya keran
perdagangan bebas. Tragisnya, para ekonom neoliberal selalu berpandangan, tak
perlu memproduksi di dalam negeri kalau impor kedelai lebih murah. Ambruklah
sistem produksi kedelai nasional dan sulit bangkit lagi.
Harga cabai dan sapi hidup menjadi
eksperimen spekulan pangan berikutnya. Ketika harga cabai di pasar mencapai Rp
80.000-Rp 100.000, harga di tingkat petani hanya Rp 18.000-Rp 22.000.
Disparitas harga yang tajam ini pasti ada auktor intelektualisnya.
Destruksi harga sapi hidup sampai titik
nadir pun terjadi bukan tanpa sebab. Akibat impor daging menjelang Idul Fitri
2010, spekulan daging membanting harga sapi hidup. Petani di Kertosono, Jawa
Timur, mengeluh karena saat beli sapi harganya Rp 6 juta per ekor. Setelah
dipelihara delapan bulan hanya laku dijual Rp 5,5 juta. Benarkah ini akibat
mekanisme pasar semata?
Saat ini giliran komoditas gula dan
terigu diguncang. Spekulan pangan dengan akses ekonomi, sosial, dan politik
melakukan penetrasi untuk memengaruhi pengadaan cadangan pangan.
Cadangan pangan Pemerintah yang
terbatas dengan gangguan distribusi tinggi serta keterbatasan Pemerintah dalam
memetakan jalur distribusi dan perdagangan pangan dimanfaatkan spekulan pangan
untuk mengeruk keuntungan.
Impor Jadi Pemicu
Dalam posisi sulit, Pemerintah memilih
instrumen yang tidak populer, yaitu membuka keran impor. Saat itulah destruksi
sistemis sistem produksi pangan nasional dimulai. Oleh karena itu, diperlukan
regulasi pangan dan pengembangan cadangan pangan alternatif melalui
infrastruktur pangan yang memadai.
Regulasi pangan melalui revisi UU Nomor
7 Tahun 1996 tentang Pangan mutlak dilakukan, yang sedang dilaksanakan Komisi
IV DPR bersama Pemerintah. Usulannya, antara lain, perlunya sinergi BUMN
pertanian.
Fenomena perubahan iklim perlu
diantisipasi dengan memperhitungkan kesiapan prasarana dan sarana, termasuk
asuransi perlindungan petani.
Pembentukan holding BUMN pertanian, PT
Sang Hyang Seri (Persero), PT Pertani (Persero), dan PT Berdikari (Persero),
perlu diwujudkan. Selanjutnya, holding BUMN pertanian dapat mengembangkan BUMN
alat mesin pertanian.
Hal yang sama dapat dilakukan untuk
pengembangan pembiayaan pertanian agar petani mandiri dan tak bergantung kepada
bank lagi. Pengalaman Perancis mendirikan Credit
Agricole du Midi dan kemudian menjadi salah satu bank pertanian terbesar di
Eropa bisa menjadi contoh.
Holding BUMN pertanian juga dapat
mengembangkan produk pangan olahan berbahan baku lokal, seperti mocaf (modified cassava flour, tepung singkong
yang dimodifikasi sebagai pengganti terigu) untuk campuran bakso, mi, pempek,
dan makanan berbahan terigu lain.
Tingkatkan Singkong
Tersedianya pasar mocaf yang besar akan memicu peningkatan produktivitas singkong
dalam negeri dari 18,75 menjadi 55 ton per hektar melalui penggantian varietas
unggul. Belum lagi peningkatan luas areal panen dari 1,17 juta hektar menjadi 5
juta hektar. Jika asumsi harga singkong mentah Rp 700 per kilogram, akan
dihasilkan uang Rp 192,5 triliun (hampir 20 persen dari APBN).
Pemerintah all out untuk pengamanan produksi pangan nasional, terutama padi,
melalui bantuan langsung benih unggul, bantuan langsung pupuk, subsidi pupuk,
pestisida, serta mobilisasi gerakan masyarakat agar kokoh menghadapi perubahan
iklim.
Pengamanan pascapanen dan pemasaran ini
penting agar pasar tidak lagi dikendalikan oleh para spekulan pangan dan petani
tidak menjadi korban.
(Dimuat di Harian
Umum Kompas, 21 Februari 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar