Minggu, 10 Agustus 2014

EKSPLOSI PENDUDUK DAN ANCAMAN KELAPARAN

Ketersediaan lahan untuk usaha pertanian merupakan syarat absolut untuk  membangun kedaulatan pangan. Tanpa adanya perubahan politik atas akses dan penguasaan lahan, maka kedaulatan pangan hanya menjadi retorika dan cita cita tanpa realita sampai kapanpun juga. Indonesia  hanya memiliki luas lahan sawah 8,1 juta hektar (BPS, 2012). Sekalipun subur, dengan laju konversi dari sawah menjadi bangunan, dan dari sawah menjadi perkebunan, menjadikan pasokan pangan berada dalam ancaman di depan mata. Ironisnya, para pihak sebagai pengambil kebijakan cenderung mengabaikan situasi kritikal tersebut. Cepat dan pasti apabila dibiarkan dan tanpa ada langkah radikal, maka Indonesia yang sedang mengalami ekplosi penduduk dipastikan menghadapi ancaman kelaparan.
 

Distruksi sistemik sistem produksi pertanian utamanya lahan akan terus terjadi dan semakin diperburuk dengan cara pemenuhan pangan melalui impor. Selain tidak produktif, memboroskan devisa, juga secara langsung mengkerdilkan peran/kontribusi petani dalam pemenuhan pangan nasional. Dalam jangka panjang, kekuatan petani akan termarginalkan, sehingga daya tahannya terhadap gejolak ekonomi terus melemah. Hancurnya ekonomi petani dipastikan akan merapuhkan ketahanan ekonomi, sosial dan politik dalam menghadapi dinamika perubahan lingkungan strategis baik, nasional, regional maupun internasional. 
Letak geografis Indonesia yang sangat strategis menjadikan semua bangsa di dunia berusaha menguasai baik langsung (direct) maupun tidak langsung (indirect). Sejarah mencatat mulai perdagangan rempah oleh bangsa Portugis dan Spanyol di Maluku, Belanda dengan VOC nya di Jawa sampai WTO yang mencoba mengokupasi Indonesia melalui regulasi yang menegasi peran negara. Ini yang harus disadari, diwaspadai,dan diantisipasi secara dini agar tidak meluas secara sistemik dampaknya bagi masyarakat. Diperlukan kesadaran kolektif semua komponen bangsa agar masa depan Indonesia tidak menjadi sub ordinasi bangsa lain dalam bentuk dan cara apapun juga.

Ironis memang, bangsa yang besar dengan cita cita  mencapai kedaulatan pangan, memenuhi pangannya melalui impor. Celakanya, impor bukan hanya untuk memenuhi kekurangannya, tetapi untuk memburu rente. Perilaku ini tidak bisa dibiarkan dengan alasan apapun dan sampai kapanpun juga bangun kemandirian. Membangun kemandirian menuju kedaulatan pangan, bukan membangun wacana, opini tanpa bukti, tetapi membumikan pikiran luhur pada tatanan operasional yang sarat makna yang bisa dilihat, dirasakan oleh semua pihak. Tidak hanya komitmen kuat seluruh komponen bangsa yang diperlukan, tetapi pemimpin dan kepemimpin kuat (strong leadership) yang sarat akan teladan dan bukti nyata atas ucapan dan tindakan. Rakyat Indonesia perlu berkaca dan mengambil suri teladan dari Presiden Corazon Aquino istri mendiang Senator Aquino yang mati ditembak oleh rezim Marcos karena keberpihakannya dan kecintaannya kepada rakyat Filiphina. Beliau dan keluarganya menjalankan reforma agraria dari diri dan keluarganya melalui redistribusi lahan tebu milik pribadi dan keluarganya ke rakyat Filiphina yang bertanah air tetapi tidak memiliki tanah (landless).
Pertanyaan fundamentalnya, bisakah para pemimpin, konglomerat, tuan tanah Indonesia melakukannya, tanpa harus menunggu dijarah rakyat yang marah akibat ketidakadilan yang mereka terima? Tentu tidak jawabnya. Pertanyaan fundamental berikutnya, bagaimana menggerakkan hati dan pikiran para tuan tanah (landlord) untuk membangun keadilan dan keseimbangan baru, demi kemandirian dan kedaulatan pangan. Rasanya sulit dalam redistribusi lahan kalau dasarnya adalah pendekatan hukum. Kita akan berkutat dan berputar untuk menggilas waktu tanpa batas tanpa hasil yang sepadan. Pilihannya hanya dua yaitu kesadaran atau dirampas oleh amarah rakyat.

Masalah tanah, saat ini mendominasi hampir 80% konflik di tanah air, baik itu di pusat pemerintahan sampai di perdesaan. Situasinya semakin keras dan mengerikan dengan terjadinya eksplosi penduduk yang belum berhasil dikendalikan. Rasio pemilikan lahan semakin menyempit, kebutuhan hidup semakin meningkat, sehingga gesekan vertikal, horizontal maupun diagonal akibat konflik lahan dipastikan akan meningkat besarannya (magnitu) baik menurut ruang maupun waktu. Periode pemerintahan 2014-2019 akan menghadapi ujian dan tantangan yang sangat berat, karena akan menentukan nasib bangsa Indonesia dalam pergulatan globalisasi perdagangan yang semakin sulit diproteksi. Kita tentu tidak ingin menjadi penonton di kampung sendiri, tukang jahit untuk produk terkenal yang tidak pernah kita nikmati, tukang lem produk manufaktur dunia yang tidak pernah kita rasakan. Caranya hanya dengan menyediakan lahan bagi si miskin yang papa dan tidak berpunya.

Re-distribusi lahan dipastikan akan menumbuhkan semangat, spirit, daya juang dan rasa percaya diri si miskin untuk keluar dari jerat dan lumpur penderitaan. Muncul kelas menengah baru akan menghasilkan inovasi dan daya juang serta rasa percaya diri masyarakat, bahwa Indonesia memang bisa menyelesaikan masalah tanpa harus meminta bantuan pihak lain. Lebih jauh, secara filosofis lahan memiliki peran dan fungsi sentral bagi masyarakat Indonesia yang bercorak agraris, karena disamping memiliki nilai ekonomis lahan juga memiliki nilai sosial dan  religius. Tentu re-distribusi lahan juga harus diimbangi dengan bagaimana meningginya tekanan terhadap lahan. Tekanan untuk memenuhi kebutuhan pangan, papan, sandang dan infrastruktur pendukungnya dari penduduk yang pertumbuhannya tinggi dan kebutuhannya beragam. Peningkatan jumlah penduduk yang mencapai sekitar 1,49 persen per tahun disertai dengan kebutuhan  untuk pangan, pakan dan bahan bakar yang kian meningkat, sementara luas lahan yang ada relatif tetap, telah menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan terhadap sumberdaya lahan dan air terutama di Jawa. Sebagai gambaran, luas rata-rata kepemilikan lahan sawah di Jawa dan Bali hanya 0,34 ha per rumah tangga petani. Secara nasional jumlah petani gurem (petani dengan luas lahan garapan < 0,5 ha) meningkat dari 10,8 juta pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga petani pada tahun 2003, dengan rata-rata peningkatan sekitar 2,4 persen per tahun (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2005).

Melonjaknya jumlah petani gurem tersebut, menunjukkan usahatani tidak dapat mencapai skala ekonomi, sehingga menyebabkan usaha  intensifikasi untuk peningkatan produksi, kualitas dan daya saing dengan cara dan berapapun biayanya tidak mampu mengeluarkan petani dari lumpur kemiskinan. Artinya, Indonesia akan berada dalam pusaran dan perangkap kemiskinan secara permanen, siapapun pemimpinnya. Saat itulah, maka Indonesia dapat disebut negara gagal (failure state). Pertanyaan fundamentalnya adalah benarkah Indonesia dapat disebut negara gagal. Kalau disisir indikator makro dan mikro, maka sinyal menuju terjadinya negara gagal itu sudah ada. Misalnya, terjadinya kelaparan insitu akibat akses, ketersediaan dan keterjangkauan pangan masyarakat tertentu yang sangat minimum. Mereka tidak memegang uang cash dan tidak memiliki persediaan pangan dan hidupnya penuh ketidakpastian, karena mengharapkan buruh yang tidak tahu kapan mendapatkan pekerjaan. Peran negara yang cenderung memarginalisasi mereka, sehingga semakin terjepit dan tidak berdaya untuk sekedar mempertahankan hidupnya. Tanda tanda faktual ini harus dapat dibaca dan dicerna semua komponen bangsa termasuk kandidat pimpinan nasional yang saat ini sudah mendeklarasikan diri untuk bertarung di Pemilihan Presidan (Pilpres 2014).  

Menyempitnya rata-rata penguasaan lahan oleh petani, persaingan yang tidak seimbang dalam penggunaan lahan antara sektor pertanian dan non-pertanian serta pendekatan sesaat atas nilai ekonomi sewa lahan (land rent economics), memosisikan pertanian sebagai korbannya (Nasoetion dan Winoto,1996). Indikasinya, laju besaran konversi atau alih fungsi lahan pertanian dari tahun ke tahun meningkat. Konversi lahan sawah menjadi lahan non-pertanian dari tahun 1999-2002 diperkirakan  mencapai 330.000 ha atau setara dengan 110.000 ha/tahun.

Trend  Jumlah Penduduk  dan Proyeksi  Kebutuhan  Beras
Pada tahun  2000 jumlah  penduduk di Indonesia  hanya sejumlah 205.132.000 jiwa, pada tahun 2005 berkembang menjadi  218.869.000  (tumbuh sekitar  1,40%, selanjutnya pada tahun 2006 berkembang menjadi 218.869.000 tumbuh relatif konstan yaitu  telah turun menjadi 1,30% (Tabel 1). Pada Tahun 2015 laju pertumbuhan penduduk diperkirakan akan menurun menjadi  1,18% dan menurun lagi menjadi 0,92 % pada tahun 2025 dan relatif konstan sampai pada tahun 2030 yaitu hanya 0,93%. Asumsi konsumsi beras konstan dari tahun 2000 sampai tahun 2030, yaitu 139,15 kg/kapita/tahun, kebutuhan beras pada tahun 2000 yang awalnya hanya 28,54 juta ton, maka pada pada tahun 2030 diperkirakan akan meningkat menjadi 39,80 juta ton seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Untuk memenuhi kebutuhan beras tersebut, diperlukan tambahan luas panen sejumlah 3,63 juta ha, dan dengan produktivitas 6 ton GKG/ha dengan asumsi lingkungan  produksi dapat dikendalikan. Jika alih fungsi terus berlanjut, maka keseimbangan pasokan dan kebutuhan pangan terganggu.  Impor menjadi pilihan paling mudah bagi pemerintah yang opportunis yang mementingkan kepentingan sesaat.  Apabila proyeksi kebutuhan beras pada tahun 2014 diestimasi berdasarkan  kebutuhan  konsumsi penduduk yang datanya masih mencapai  139,15-130,98 kg/kap/thn dan  estimasi jumlah penduduk  pada tahun yang  sama masih  mencapai 252.034.317 orang, maka pada tahun 2014 tersebut, kebutuhan beras  akan mencapai 43.010.289 ton/tahun (Tabel 2), jauh lebih tinggi dibanding estimasi  kebutuhan beras berdasarkan data statistik tahun 2000-2030 (Tabel 1).

Tabel 1.
Proyeksi Pertumbuhan Penduduk dan Kebutuhan Beras
Tahun 2000-2030

Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa laju pertumbuhan penduduk dari tahun 2010-2014 masih mencapai  rata-rata 1,49%/tahun, di lain pihak  proyeksi pertumbuhan penduduk pada Tabel 1 dari tahun 2010-2014 hanya mencapai 1,3%/tahun dan  pada tahun  yang sama  volume yang  dikonsumsi  masih mencapai 139,15 kg/kapita/tahun (Tabel 1). Berdasarkan data yang telah dianalisis  pada Tabel 2, diharapkan sasaran surplus beras pada tahun 2014 dapat terealisasi.  Berdasarkan data statistik konsumsi beras per kapita saat ini telah menurun dan mencapai 139kg/kapita/tahun. Kementerian Pertanian menargetkan produksi gabah kering giling (GKG) tahun 2011 sebesar 70,6 juta ton. Target ini setara dengan 42,36 juta ton beras.  Berdasarkan angka terbaru dari BPS, jelas membuktikan bahwa kebutuhan beras nasional tahun 2011 turun dari 33,36 juta ton menjadi 27,24 juta ton beras. Bila dibandingkan dengan produksi beras, berdasarkan hitungan BPS, Indonesia berpotensi mengalami surplus beras hingga 15 juta ton. 

Tabel  2.
Proyeksi Kebutuhan dan Produksi Beras Tahun 2010-2014
             
    
Berdasarkan roadmap produksi beras nasional  Kementerian Pertanian (Kementan) di Jakarta mengungkapkan bahwa dalam dua tahun terakhir konsumsi beras penduduk Indonesia mengalami penurunan hingga 1,4%. Tahun 2008 konsumsi beras penduduk Indonesia mencapai 104,9 kg/kapita/tahun, kemudian turun menjadi 102,2 kg/kapita/tahun pada 2009 dan pada 2010 hanya 100,8 kg/kapita/tahun. Penurunan konsumsi beras sebesar 1,4% tersebut hampir mencapai sasaran Perpres No. 22 Tahun 2009 yang menargetkan penurunan konsumsi beras sebesar 1,5%/tahun.  Konsumsi pangan non beras justru meningkat yaitu pada minyak dan lemak  dari 7,9 kg/kapita/tahun menjadi 8,2 kg (3,8%), buah-buahan dari 23,1 kg menjadi 27,9 kg/kapita/tahun. Namun demikian konsumsi umbi-umbian sebagai sumber karbohidrat lain selain beras justru mengalami penurunan seperti singkong dari 9,6 kg/kapita/tahun pada 2009 menjadi 9,2 kg (4,1%), sagu dari 0,4 kg/kapita/tahun menjadi 0,3 kg (14,6%). Konsumsi ubi jalar dan kentang pada tahun 2009 terlihat mengalami kenaikan masing-masing dari 2,40 kg/kapita/tahun  menjadi 2,41 kg (0,01%) pada ubi jalar, dan dari 1,73 kg kentang menjadi 1,84 kg/kapita/tahun (6,4%).  Pemerintah menargetkan skor pola pangan harapan (PPH)  pada tahun 2014 sebesar 93,3 meningkat dari saat ini 80,6. Konsumsi beras tambahnya, ditargetkan menurun 1,5% per tahun dan diimbangi dengan peningkatan konsumsi per kapita hasil-hasil ternak, umbi, buah-buahan dan sayuran. “Dengan demikian tercapai pola konsumsi pangan beragam, bergizi seimbang dan aman.” Komposisi neraca bahan pangan dapat dilihat pada Tabel 3 (diakses 1 Desember 2011; www.google.com.).

Tabel 3.
Pedoman Penyusunan Neraca Bahan Pangan Berdasarkan Hasil Susenas Tahun 2004
Konsumsi beras per kapita di Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan, seperti dilaporkan BPS: 
  • Tahun 2002 rata-rata konsumsi beras per kapita mencapai 115,5 kilogram
  • Tahun 2003 turun menjadi 109,7 kilogram, karena masya-rakat mulai mengkonsumsi pangan dengan bahan yang beragam   
  • Tahun 2004 rata-rata konsumsi beras naik derastis  menjadi 138,81 kilogram       
  • Tahun 2005-2009 mencapai  139,15 kilogram per kapita  per tahun    

Peningkatan konsumsi beras per kapita tersebut tentu saja berdampak pada semakin tingginya kebutuhan beras dalam negeri. Berdasarkan data BPS (Susenas 2004), produksi padi secara nasional selama lima tahun terakhir menunjukkan peningkatan dari 54,08 juta ton gabah kering giling pada tahun 2004 menjadi 60,32 juta ton pada tahun 2008 dan pada tahun 2009 menjadi 63,84 juta ton. Sementara itu, kebutuhan beras untuk konsumsi penduduk sebesar 30,57 juta ton jika asumsi penduduk Indonesia 219 juta jiwa dengan konsumsi per kapita 139,15 kg per tahun. Tingkat konsumsi tersebut dinilai masih terlalu tinggi sehingga diharapkan pada tahun 2015 dapat turun menjadi 91,0 kg. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas, 2010) menunjukkan, bahwa konsumsi beras untuk masyarakat berpenghasilan rendah cenderung naik. Sebaliknya, mereka yang masuk tingkat ekonomi tinggi, hanya mengkonsumsi beras 75-90 kg per kapita per tahun, sedangkan  yang  berpenghasilan rendah  sekitar 120-130 kg per kapita per tahun.  Beras  merupakan salah satu jenis pangan yang menempati posisi paling strategis diantara jenis pangan lainnya, sehingga ada tuntutan masyarakat agar kebutuhan beras dapat terpenuhi dari produksi dalam negeri. Peningkatan permintaan beras tidak seimbang dengan ketersediaan beras dalam negeri, dan untuk memenuhi kebutuhan tersebut selama ini dilakukan melalui impor beras.  Meskipun produksi beras dalam negeri hingga saat ini masih mampu mencukupi kebutuhan penduduk, namun bukan berarti suatu saat tidak akan terjadi kekurangan, sehingga Indonesia harus mengimpor beras sebagaimana yang pernah terjadi pada tahun 2006 dan 2007. Data BPS menyebutkan, pada tahun 2006 impor beras Indonesia hampir mencapai 440 ribu ton kemudian pada tahun 2007 menjadi 1,3 juta ton namun pada tahun 2008 turun menjadi 289 ribu ton.

Kartel  Lahan  dan  Pangan
Sejumlah ilmuwan berpandangan bahwa politik pangan Indonesia lebih banyak menyuburkan para pelaku kartel dibandingkan dengan membangun kemampuan produksi pangan dalam negeri. Implikasinya, sektor pertanian semakin kurang diminati, sehingga terjadi penurunan 5,04 juta keluarga petani beralih profesi (BPS, 2013). Data tersebut diutarakan dalam diskusi  Kemandirian Bangsa Ke-9 dengan tema, Politik Pangan SBY, Kartel Disuburkan, Rakyat Dikorbankan,  Kamis (26/9/2013).  Kata Kartini Simon, pengamat dari Grain Asia, mengatakan bahwa, situasi pangan di Indonesia telah terjadi ketimpangan yang luar biasa dari sisi produksi. Padahal ada 50 persen dari total pangan dunia justru dihasilkan di Indonesia, tetapi justru yang mengalami kekurangan pangan adalah negara ini sendiri. Ini jelas mengherankan, tapi lantaran kebijakan pemerintah yang justru bukan untuk melindungi petani, wajar jika sebanyak 46 persen pekerja di sektor pertanian tidak menghasilkan apa-apa.  
Pengamat dari Koalisi Anti Hutang (KAH), Dani Setiawan menambahkan, pemerintah telah menggunakan devisa negara untuk melakukan impor pangan yang besar. Derasnya impor pangan seiring dengan telah absennya lembaga soal pangan dalam hal ini Bulog yang otoritasnya telah dihilangkan pasca liberalisasi IMF ditahun 1998-1999. Problem besarnya adalah bukan di petani yang tidak mampu menghasilkan swasembada, tetapi ada satu praktek monopoli, kartel pangan yang berlindung secara politik dengan lingkaran kekuasaan. Para pemburu rente beras, gula, jagung, kedelai, semua kokoh dan perkasa dengan aktivitas utamanya menggerogoti ekonomi masyarakat. Modusnya, sistem produksi pangan dalam negeri dihancurkan, setelah itu harga komoditas pangan didongkrak. Itu sudah terjadi berulang untuk kedelai, jagung, gula. Saat ini para kartel dan skondannya di luar negeri sedang berusaha maksimal untuk mendistruksi sistem produksi padi. Kalau itu berhasil dilakukan, maka Indonesia dipastikan dibawah telapak kaki konglomerasi pangan asing. Berbagai regulasi internasional dikembangkan, rezim perdagangan makin dibuka, sementara negara maju dengan berbagai argumen dan praktek dumping, subsidi, insentif dan proteksinya terus menggempur Indonesia agar sistem produksi pangan utamanya beras dapat dihancurkan. Ini merupakan bentuk perang baru yang menggunakan otak, akal dan strategi, yang sangat berbeda dengan perang konvensional.
        
Pengamat dari Indonesian Human Right Committe For Social Justice, Gunawan (2013) mengatakan untuk melakukan Somasi kepada presiden SBY. Menurut Gunawan, praktek monopoli pangan dan sumber penguasaan lahan sudah mengerucut pada penguasaan sumber agraria. Sejak awal 2013 lalu, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh kenaikan harga beberapa komoditas pangan pokok secara drastis. juga terjadi gejolak kenaikan harga kedelai,gula dan produk-produk pangan lainnya (www.google.com. November 2013). Menurut Dilon dalam suatu pertemuan  di Jakarta (www.google.com., 2013). Kartel dari dulu ada dimana-mana, dan terbesar adalah warisan zaman Belanda. Indonesia dikatakan sebagai republik yang belum pernah merdeka, karena praktek-praktek kolonial Belanda masih dilaksanakan terus. Lembaga swadaya, pelaku usaha, sampai pada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tampaknya belum berhasil memutus rantai dan praktek monopoli dan kartel pangan. Harga daging sapi yang stabil sangat tinggi sekalipun kran impor sudah dibuka lebar, menunjukkan bahwa para kartel mampu mendikte pasar untuk mengatur harga demi kepentingan sesaat mereka   (www.googlee.com., 2013). Kartel pangan sungguh nyata dan memang beroperasi di Indonesia, dan pemerintah sampai sekarang tidak pernah  serius memperjuangkan kepentingan swasembada pangan. Harga bibit anak ayam dan harga daging ayam serta pakan yang hanya dikendalikan beberapa gelintir pengusaha menunjukkan bahw pemerintah tidak berdaya menghadapinya.

Data Kementerian Pertanian menunjukkan  minimal 100.000 hektar lahan produktif beralih fungsi setiap tahun (BPS 1998-2002). Karenanya, kebijakan reformasi agraria untuk memberi lahan produktif pada rakyat secara cuma-cuma, mendesak dilakukan. Cara membesarkan pertanian itu yang pertama reforma agraria. Menurut Dilon tidak benar kalau dikatakan Indonesia tidak memiliki lahan. Pertanyaannya, mengapa lahan berjuta hektar tersebut diberikan kepada konglomerasi, bukan diberikan untuk mengentaskan masyarakat miskin, papa dan tidak berpunya. Pemerintah tidak memperhatikan petani. Sekali saja, ada yang memperhatikan, yaitu Bung Karno, dia keluarkan UU Pokok Agraria, UU Pokok Bagi Hasil. Soeharto lumayan, reforma agraria dilakukan melalui program transmigrasi, perkebunan inti rakyat, tambak inti rakyat, yang memungkinkan terjadinya redistribusi lahan dan sumber daya, sehingga memunculkan wilayah pertumbuhan ekonomi baru.

Dinamika Trend Konsumsi  Beras di Indonesia
Keragaan konsumsi beras sebagai salah satu komoditas terbesar dari kelompok pangan padi-padian antara tahun 1996 dan 1999  mengalami penurunan baik untuk konsumsi rumah tangga maupun dalam bentuk makanan jadi. Total konsumsi beras per kapita per tahun pada tahun 1996 sebesar 133,48 kg/kap/thn, kemudian pada tahun 1999 terjadi penurunan menjadi 123,96 kg/kap/thn.  Selanjutnya dari tahun ke tahun  konsumsi  beras per kapita di Indonesia menunjukkan peningkatan  seperti dilaporkan BPS pada tahun 2002 rata-rata konsumsi beras per kapita di Indonesia menunjukkan peningkatan, seperti dilaporkan BPS pada tahun 2002 rata-rata konsumsi beras per kapita mencapai 115,5 kilogram. Pada tahun 2003 turun lagi menjadi 109,7 kilogram, karena masyarakat mulai mengonsumsi pangan dengan bahan yang beragam. Selanjutnya pada tahun 2004 rata-rata konsumsi beras naik drastis menjadi 138,81 kilogram, dan sejak 2005 mencapai 139,15 kilogram per kapita per tahun. Fenomena peningkatan dan penurunan konsumsi beras per kapita ini menarik untuk dikaji. Benarkah penurunan konsumsi beras disebabkan peningkatan taraf hidup atau karena terjadinya pemiskinan, sehingga daya beli beras menurun.

Besarnya penurunan konsumsi tersebut disajikan pada     Tabel 4. Nilai penurunan koefisien regresi tertinggi terjadi pada penurunan konsumsi makanan jadi  dari bahan baku beras dengan nilai -8,4, menyusul konsumsi rumah tangga sebesar -6,8 (Tabel 4).

Tabel 4.  
Perkembangan Konsumsi Beras per kap/tahun pada
Tahun 1996 dan 1999

Tingkat konsumsi beras per kapita dipengaruhi oleh besarnya pengeluaran  per kapita. Pada tingkat nasional rata-rata konsumsi beras per kapita per minggu pada tahun 1999 mengalami kenaikan pada golongan pengeluaran di bawah Rp 150.000,- per bulan dan baru mengalami penurunan konsumsi beras pada golongan pengeluaran diatas Rp 150.000,- per bulan, demikian pula pada wilayah perkotaan. Fenomena yang sangat memprihatinkan pada golongan pengeluaran per kapita per bulan kurang dari Rp.40.000,- konsumsi beras per kapita per minggu hanya 0,994 kg (Tabel 5). Pada wilayah perdesaan kenaikan konsumsi beras per kapita per minggu terjadi sampai pada pengeluaran di bawah Rp 200.000,-. Keragaan tersebut secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel  5.
Rata-rata Konsumsi Beras per Kapita per Minggu
Menurut Golongan-golongan Pengeluaran per Kapita Sebulan
Tahun 1999

Bisa dibayangkan volume yang dikonsumsi pada tingkat penghasilan < Rp.40.000,-/bulan tersebut dari segi kalori sangat rendah (hanya 0,994 per kapita per minggu, atau 0,142 kg per hari), sedangkan konsumsi beras sebagai sumber  utama  kalori  pada tahun 1999 yang dihitung dari data SUSENAS 1999. Dengan demikian, pemanfaatan sumber pangan lokal perlu diidentifikasi mencapai 0,308 g/kapita/hari (SUSENAS 1999). Komposisi nutrisi dari beberapa komoditas yang bersumber dari bahan pangan lokal sebagai bahan subtitusi beras dan terigu, merupakan bahan pangan lokal yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai  subtitusi  beras dan subtitusi impor gamdum yang dapat dilihat pada Tabel 6. Berikut komposi nutrisi dari berbagai sumber karbohidrat sebagai bahan diversifikasi pangan.

Tabel 6. 
Komposisi Nutrisi dari Berbagai Sumber Karbohidrat
sebagai Bahan Diversifikasi Pangan

Tidak ada komentar: