Jumat, 08 Agustus 2014

PERTANIAN DALAM ACFTA

Suka atau tidak, ratifikasi perdagangan bebas ASEAN dan China melalui Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004 merupakan keniscayaan. Pemerintah optimistis kerja sama ekonomi, perdagangan, dan investasi dapat digenjot meski ada saja pengusaha yang khawatir dengan liberalisasi ini dengan berbagai argumennya.
Faktanya, tahap awal sektor pertanian menghasilkan surplus perdagangan 2,4 miliar dollar AS dibandingkan dengan impornya 800 juta dollar AS. Komoditas kelapa sawit, karet, kakao, kopra dan buah eksotik tropika (salak, mangga, manggis, duku) penyumbang devisanya. Bawang putih, bawang merah, jeruk mandarin, apel, pir, leci merupakan komoditas yang diimpor dari China. Pertanyaan fundamental: (i) mampukah Indonesia meningkatkan surplus secara konsisten, (ii) bagaimana jika situasi berbalik sehingga menimbulkan gejolak ekonomi, sosial, dan politik?
Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) harus dijadikan persiapan sekaligus pembelajaran untuk meningkatkan daya saing produk pertanian agar mampu memenangkan perdagangan global. Fokus pada komoditas eksotik perkebunan dan hortikultura tropika dan sinergi lintas sektor bersama masyarakat diikuti penghapusan biaya tinggi harus dilakukan. Sinergi mudah diucapkan, tetapi tidak mudah diimplementasikan di lapangan.
Paling tidak ada empat filter yang diakui internasional dapat dilakukan Indonesia dalam mereduksi dampak negatifnya: (i) sanitary dan phytosanitary, (ii) codex for alimentation, (iii) komoditas sangat sensitif, dan (iv) pangan segar halal. Ketentuan karantina untuk tak mengizinkan daun bawang merah dan akarnya masuk ke Indonesia karena mengandung penyakit terbukti efektif memfilter masuknya bawang merah impor sekaligus menjaga stabilitas harga bawang merah domestik saat panen raya. Selain biaya potong daun dan akar mahal, aroma bawang juga berkurang dan tidak tahan lama sehingga praktis impor terhenti.
Padahal, membanjirnya bawang impor saat panen raya yang memukul produk lokal selalu terjadi. Penerapan codex for alimentation juga dipastikan akan mereduksi produk pertanian impor yang dapat masuk di Indonesia. Komoditas yang masuk daftar high sensitive list, seperti beras, jagung, kedelai, dan gula, tarifnya diturunkan pada 1 Januari 2015.
Sementara komoditas sensitive list, yaitu cengkeh dan tembakau, baru diturunkan tarifnya 20 persen, 1 Januari 2012. Artinya, komoditas yang menyangkut hajat hidup orang banyak dilindungi. Ketentuan impor buah segar juga akan mengeliminasi buah impor yang selama ini disimpan di gudang dalam waktu lama yang kualitasnya sudah anjlok. Posisi Indonesia makin kuat jika ketentuan halal diterapkan atas produk impor yang mengandung daging. Implikasi lainnya, Indonesia dapat membuka jasa produksi makanan halal dan sertifikasi serta supervisinya.

Koloni Ekonomi
Implikasi jangka panjang yang harus diwaspadai adalah berbaliknya neraca perdagangan sehingga Indonesia jadi pasar produk China dan ASEAN lain. Dengan cadangan devisa 2,13 triliun dollar AS dan dalam 6 bulan pertama 2009 bertambah 185,6 miliar dollar AS, secara apriori China dapat memborong sumber komoditas ekspor sektor pertanian di Malaysia, Thailand, dan Indonesia.
Apalagi hubungan Pemerintah China dengan masyarakat China perantauan di seluruh dunia sangat kuat. Implikasinya, China akan jadi raksasa kelapa sawit, karet, kakao, dan gula dunia. Dengan kekuatan itu, China mampu mengintegrasikan ASEAN dan menjadikannya koloni ekonomi, sosial, dan politik. Apalagi, populasi warga keturunan China di hampir semua negara ASEAN semakin besar pertumbuhannya dibandingkan dengan pribumi.
Empat instrumen yang perlu segera diimplementasikan agar produk pertanian memenangkan persaingan: bantuan langsung, subsidi langsung, pemberian insentif langsung, dan fasilitasi langsung Pemerintah di hulu, on farm, dan hilir. Wujudnya, bantuan benih, pupuk organik, subsidi pupuk anorganik, insentif harga bagi yang mencapai produktivitas 25 persen di atas produktivitas nasional, fasilitasi infrastruktur pascapanen, pengolahan hasil, dan pemasaran.

Melalui subsidi, bantuan, dan fasilitasi langsung, target (petani) menerima manfaat langsung dan terjadinya disparitas harga yang memicu kebocoran barang subsidi akibat disparitas harga (pupuk, misalnya) di luar target subsidi dapat dieliminasi. Dukungan riset dan pengawalan teknologi akan menjadikan pertanian Indonesia bisa memengaruhi pasar (pasokan, harga), seperti yang dilakukan Amerika Serikat, China, dan Eropa di pasar Internasional.

(di muat di Harian Umum Kompas,  1 Februari 2010)

Tidak ada komentar: