Selasa, 04 Desember 2007

Tanda-tanda Banjir Bandang di Tengah El Nino

SETELAH mengalami cekaman air (water stress) akibat kekeringan yang berkepanjangan sebagai dampak anomali iklim El Nino, tampaknya derita petani dan masyarakat kecil belum ada tanda-tanda akan berakhir. Ada dua masalah yang muncul sekaligus sebagai dampak anomali iklim El Nino dengan berakhirnya musim kering dan dimulainya musim hujan di sebagian wilayah Indonesia.

PERTAMA, curah hujan masih di bawah normal sehingga masa tanam belum dapat dimaksimalkan seperti terjadi di Kalimantan Timur (Babulu Darat, Kota Bangun), Sulawesi Tenggara (Asera, Kendari), Lampung (Blambangan Umpu, Menggala), bahkan hal itu terjadi di jalur pantura Sukamandi yang merupakan salah satu lumbung pangan nasional.

Kedua, mulai meningkatnya curah hujan di sebagian wilayah Indonesia sehingga menimbulkan banjir, genangan, dan tanah longsor seperti di Aceh Singkil, Medan, dan Mojokerto, baru-baru ini.

Berkaitan dengan kondisi peralihan musim yang kurang menguntungkan dan dampak anomali iklim terhadap lamanya musim kering dan mundurnya awal musim hujan, maka wilayah yang perlu mendapatkan perhatian akan kemungkinan terjadinya kekurangan air adalah:

(1) Wilayah yang mempunyai curah hujan di bawah normal dengan awal hujan normal, berarti curah hujan bulanan akan lebih rendah dibandingkan rata-ratanya. Kondisi ini memerlukan penyesuaian jenis tanaman dan pola tanamnya, karena secara faktual air yang tersedia tidak akan mencukupi untuk budidaya dengan pola tanam normalnya.

(2) Wilayah dengan curah hujan di bawah normal dengan awal musim hujan mundur. Kondisi ini akan berdampak terhadap menurunnya intensitas tanam dengan jenis tanaman yang berumur genjah dan hemat air.

(3) Wilayah dengan curah hujan di bawah normal dengan awal musim hujan mundur. Kondisi ini dapat menurunkan intensitas tanam sekaligus memunculkan ancaman baru berupa banjir dan genangan, karena meskipun curah hujan berkurang, namun karena periode hujannya singkat, maka intensitas hujan menjadi tinggi dan itu dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir dan genangan.

Sementara itu, wilayah yang perlu mendapatkan penekanan dalam hal kemungkinan terjadinya banjir, genangan dan tanah longsor adalah:

(1) Wilayah dengan curah hujan di atas normal dengan awal musim hujan normal. Wilayah ini secara potensial terletak di ujung barat Sumatera dan merupakan daerah bahaya banjir karena volume air hujannya sangat tinggi. Secara potensial wilayah ini dapat digunakan untuk perluasan areal tanam untuk mengompensasi penurunan luas tanam akibat kekeringan.

(2) Wilayah dengan curah hujan di atas normal dengan awal musim hujan mundur. Wilayah ini yang sangat berbahaya karena risiko banjir yang mungkin terjadi adalah yang terbesar diantara wilayah lainnya.

Berdasarkan dua peluang ketersediaan air (kekeringan dan banjir), maka pemerintah secara simultan harus menyediakan teknologi untuk membantu masyarakat dalam mengatasi kekurangan air di satu pihak dan menyediakan teknologi untuk menekan risiko banjir di lain pihak.

Untuk itu pemantauan perkembangan indikator anomali iklim perlu dilakukan agar masalah kekeringan dan peluang terjadinya banjir bandang di tengah El Nino dapat diantisipasi lebih dini.

Indikator anomali iklim di Indonesia

Ada empat indikator penting yang dapat digunakan untuk memantau perubahan iklim di Indonesia.

(1) Anomali suhu muka laut (Sea Surface Temperature/SST) di Nino 3.4.

(2) Indeks osilasi selatan (Southern Oscilation Index/SOI).

(3) Zona depresi sirkulasi angin pasat.

(4) Beda suhu muka laut antara Samudra Hindia dengan Samudra Pasifik.

Berdasarkan seri pengamatan indikator pertama, yaitu anomali suhu muka laut di Nino 3.4 dari 23 Oktober sampai 12 Desember 2002 menunjukkan bahwa telah terjadi pendinginan suhu muka laut di Samudra Pasifik secara signifikan dari 2.5 oC menjadi 1.5 oC (Gambar 1a dan 1b), dan (2) anomali SST di Samudra Hindia berkisar 0.5-1 oC serta lebih hangat dibandingkan dengan SST di sekitar kepulauan Indonesia.

Artinya, kecenderungan anomali SST masih sebesar 1.0-1.5 oC (Gambar 2.) dan pengaruh anomali iklim sampai dengan akhir bulan Februari 2003 masih terasa meskipun lemah.

Indikasinya terlihat dari masih rendahnya pergerakan uap air (hujan) dari bagian barat Samudra Pasifik dan Lautan Hindia ke wilayah Indonesia sehingga peluang pembentukan awan hujan di atas wilayah Indonesia masih kecil dan curah hujan Indonesia cenderung di bawah normal sampai normal seperti yang kita alami sampai dengan pertengahan bulan Desember 2002.

Sementara itu kecenderungan fluktuasi SOI sebagai indikator kedua sejak Januari sampai akhir November 2002 masih konsisten negatif. Namun, memasuki awal bulan Desember SOI mulai bergerak konsisten menuju nol.

Kecenderungan nilai SOI tersebut perlu terus dipantau apakah kecenderungannya naik atau turun untuk mengetahui dampaknya terhadap curah hujan di Indonesia (Gambar 3). Tanda-tanda kecenderungannya positif berarti terdapat peluang terjadinya pergerakan massa uap air ke Darwin tampaknya belum meyakinkan, sehingga diprakirakan pengaruh terhadap peningkatan pembentukan awan hujan di wilayah Indonesia masih lemah. Artinya, Indonesia masih berpeluang mengalami curah hujan di bawah normal sampai normal.

Indikator ketiga adalah sirkulasi angin pasat, dari dasarian III-Oktober sampai dasarian II-Desember menunjukkan telah terjadi penghangatan permukaan laut di sekitar Kepulauan Papua dengan anomali SST yang makin rendah dari 2.5 oC menjadi 1.5 oC.

Penurunan suhu yang signifikan tersebut akan menggeser pusat tekanan rendah (zone konveksi) dari Pasifik Timur ke Barat, artinya belum terjadi peningkatan massa uap air di atas wilayah Indonesia secara signifikan. Artinya, penambahan curah hujan akibat gerakan massa uap air dari Pasifik Barat ke Indonesia masih belum signifikan. Oleh karena itu, arah pergeseran zone depresinya perlu terus diamati agar dampak anomali iklim dapat diantisipasi lebih dini.

Sementara indikator ke empat yaitu beda suhu muka laut antara Samudra Hindia dengan Samudera Pasifik tidak signifikan sehingga sulit diharapkan adanya gerakan uap air atau tambahan uap air ke wilayah Indonesia. Berdasarkan hasil pemantauan keempat parameter pengamatan tersebut di atas dapat diprakirakan dampak anomali iklim masih lemah sampai bulan Februari 2003.

Meskipun sifat hujan diperkirakan masih di bawah normal sampai normal, namun bahaya banjir bandang tetap harus dipantau. Penurunan curah hujan tahunan dengan musim kemarau lebih lama akan menyebabkan periode musim hujan semakin singkat. Penurunan curah hujan dengan diikuti periode musim hujan yang singkat akan menghasilkan hujan dengan intensitas tinggi dengan durasi singkat.

Kondisi ini akan memicu terjadinya banjir bandang, tanah longsor, dan genangan. Untuk itu perlu meningkatkan kewaspadaan terhadap banjir dan genangan, terutama di areal pertanian di sepanjang Pantai Utara Jawa, daerah hilir aliran sungai, cekungan, dan daerah endemik banjir.

Banjir bandang di tengah El Nino

Berdasarkan uraian tentang perkembangan indikator perubahan iklim tampaknya selain masalah kekurangan air sebagai dampak anomali iklim El Nino yang masih terasa, di sebagian wilayah Indonesia lainnya terutama yang daerah aliran sungainya telah rusak berpeluang mengalami banjir bandang di tengah kondisi El Nino.

Curah hujan di bawah normal dengan pola hujan berintensitas tinggi dan durasi singkat serta kemampuan intersepsi tajuk dan infiltrasi tanah terbatas merupakan tanda-tandanya. Kondisi ini sering tidak disadari karena El Nino sering kali dihubungkan dengan kekeringan, akibatnya antisipasi terjadinya banjir tidak dilakukan secara proporsional.

Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam rangka mitigasi bencana banjir, genangan, dan tanah longsor antara lain:

(1) Deliniasi wilayah rawan banjir dan genangan perlu dilakukan agar dapat dijadikan sebagai pedoman masyarakat dalam menekan risiko banjir dan genangan.

(2) Pemantauan cuaca perlu diintensifkan agar peluang terjadinya curah hujan eksepsionel dapat diinformasikan kepada masyarakat sehingga risiko banjir dapat diminimalkan.

Dalam kondisi keterbatasan ketersediaan air di satu pihak dan ancaman banjir di lain pihak, maka pemerintah bersama masyarakat perlu memikirkan penanganan banjir dan kekeringan secara menyeluruh.

Hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah (Jateng) dalam pengembangan dam parit (channel reservoir in cascade) tampaknya merupakan teknologi yang menjanjikan.

Air yang tersedia di hulu ditampung pada reservoir pertama dimanfaatkan untuk budidaya, kemudian air drainasenya ditampung pada reservoir berikutnya untuk dapat dimanfaatkan wilayah di bawahnya sehingga air benar-benar digunakan sangat efisien.

Salah satu indikatornya pada musim kemarau tahun 2002, wilayah ini terbebas sama sekali dari kekeringan bahkan sebaliknya dapat mengusahakan komoditas unggulan bernilai ekonomi tinggi. Musim hujan ini merupakan saat yang tepat untuk menyimpan air sehingga tidak menimbulkan banjir dan selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk menekan kekeringan di musim kemarau. Konsep ini sangat mudah diucapkan, tetapi sampai saat ini implementasinya masih sangat rendah. Pertanyaannya, maukah kita mengatasi banjir dan kekeringan secara komprehensif? Tanggal Publikasi : Rabu, 29 Januari 2003, harian Umum Kompas

Radar Hujan untuk Antisipasi Banjir

Pemerintah daerah yang wilayahnya sering dilanda banjir sehingga aktivitas masyarakatnya terganggu, sebaiknya memanfaatkan radar hujan yang bisa memprediksi curah hujan sesaat, sebagai bagian dalam sistem peringatan dini banjir. Alat ini dapat memprediksi intensitas dan lamanya hujan yang akan terjadi hingga H minus 4.

Demikian diungkapkan Gatot Irianto, doktor bidang pemodelan hidrologi dari ENSA Rennes Perancis yang juga Sekretaris Pokja Antisipasi Anomali Iklim, Badan Litbang Pertanian kepada Kompas pekan lalu. "Teknologi ini sudah lama diterapkan di negara-negara maju misalnya di Kota Nimes, Perancis," tambahnya.

Menurut Gatot, hasil prediksi intesitas dan lamanya hujan yang akan terjadi dapat dikombinasikan dengan perhitungan karakteristik sistem DAS (Daerah Aliran Sungai), sehingga dapat diperkirakan berapa besar banjir yang mungkin terjadi. Bila kemungkinan banjir sudah diketahui sejak dini, maka masyarakat bisa mengantisipasinya.

"Peringatan dini banjir dapat dilakukan mulai H minus 4 sampai H minus 1 dengan menginformasikan pada instansi terkait, sehingga evakuasi korban dapat diantisipasi lebih dini dan kerugian yang ditimbulkan dapat diminimalkan," paparnya.

Ia mengakui, untuk itu memang dibutuhkan biaya yang relatif mahal, namun kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan tampaknya perlu memikirkan peluang aplikasinya.

Risiko banjir itu sendiri, dapat diminimalkan dengan perbaikan sistem DAS. Gatot menyarankan peningkatan jumlah dan kualitas vegetasi penutup tanah maupun daya tampung jaringan hidrologi DAS. Caranya antara lain dengan menanami kembali kawasan DAS dengan tanaman yang akarnya mampu meretensi air dan melakukan perbaikan bila terdapat penyempitan saluran air atau jaringan hidrologi.

"Panen hujan dan aliran permukaan (rainfall and runoff harvesting) yang sebagian besar bisa ditampung jaringan hidrologi DAS merupakan pilihan yang baik," katanya.

Jaringan hidrologi yang optimal akan membantu menyediakan air secara merata di seluruh permukaan DAS, menurunkan banjir, memperpanjang waktu respons DAS berupa selang antara hujan maksimum dan debit maksimum. Serta dapat menambah cadangan air DAS di musim kemarau. Tanggal Publikasi : Selasa, 29 Januari 2002, Harian Umum Kompas