Beberapa pertanyaan ini saya goreskan ketika hati ini
sedih dan geram karena gelombang globalisasi perdagangan pangan semakin
menggerogoti dan menghancurkan eksistensi petani di segala lini. Pertanyaan
selanjutnya muncul dari naluri anak seorang petani yang melihat peluang usaha
pemberdayaan petani yang dibiarkan berlalu, sehingga nasib petani belum
beranjak baik dengan posisi tawar yang kuat seperti yang terjadi di Negara-negara
maju.
Deraan liberalisasi pangan telah menimbulkan ambivalensi
antara kesetaraan memperoleh akses pangan dengan harga yang sehat dan dumping
yang mempunyai daya bunuh dan tumpas terhadap kompetitor yang luar biasa.
Gotong royong
sebagai nilai luhur falsafah bangsa yang lembut terpaksa harus bertempur
melawan individualisme yang menjadi inti neoliberalisme. Sebagai pertarungan
ekonomi dan budaya, maka dipastikan pangan global akan mengeliminasi pangan
lokal kita. Hancurnya sistem produksi kedelai nasional, anjloknya harga wortel,
bawang merah, bawang putih merupakan teladan konkretnya. Ironisnya, masih ada
saja yang mengatakan, daripada membeli produk dalam negeri mahal, lebih baik
impor dengan harga yang murah.
Tengoklah di
supermarket, sebagian besar didominasi buah impor murah sarat dumping.
Tragisnya, pembelinya pegawai negeri bahkan pejabat Pemerintah yang nota
benenya digaji dari pajak yang dikutip dari petani sebagai salah komponen
masyarakat. Sadarkah kita bahwa pola konsumsi produk impor minded pimpinan
nasional (formal maupun nonformal) akan menjadi trend setter masyarakat?.
Pembusukan sistemik yang dilakukan bangsa sendiri
terhadap petani sebagai modal dasar pembangunan nasional harus dihentikan
karena merupakan kekerasan atau bahkan kejahatan peradaban yang sulit
termaafkan. Menyedihkan memang, menururt AC Nielsen (2006), konsumen kita di
semua strata sangat sensitif terhadap discount
price. Tanpa melihat dari mana sumber discount, kita merasa bangga membeli
produk murah yang dihasilkan dari menekan harga dari pemasok.
Ujung-ujungnya,
jelas petani yang akan kena dampaknya. Berpikir instan, pragmatis tanpa
keberpihakan dan memikirkan ketahanan nasional merupakan pintu masuk
liberalisasi perdagangan barang dan jasa yang siap menerkam Indonesia yang
tinggal menunggu bom waktunya saja. Pertanyaannya, mampukah kita keluar dari
belenggu imperialisme pangan agar tidak menghancurkan ketahanan ekonomi dan
budaya nasional?
Apa yang harus
dilakukan secepatnya, tahap yang paling mudah, murah, dan practicable adalah menggerakkan peran perbankan sebagai agen
perubahan untuk memainkan fungsi intermediasi dalam menghapus pemburu rente
yang selama ini mengeruk keuntungan dari ketidakberdayaan petani. Menjembatani
kelompok tani dengan retail besar melalui dana talangan yang dikenai bunga
komersial sekalipun akan jauh lebih sehat dibandingkan dijual ke tengkulak.
Mengapa para petinggi bank BUMN lebih suka menjual cerita dan janji manis di
depan petinggi Republik saja? Mengapa alokasi kredit hanya untuk segelintir
orang yang nasionalismenya tidak bisa dipertanggungjawabkan? Sadarkah para pemimpin
bank BUMN bahwa petani merupakan salah satu pemilik kedaulatan negeri ini,
sehingga menolong petani berarti menolong bangsa ini dari kemelaratan,
kemiskinan, kebodohan yang selama ini telah banyak menghabiskan tenaga, waktu,
dan dana Pemerintah?
Pertanyaan
berikutnya, sudahkah sampah yang selama ini menjadi ciri dan citra serta
masalah fundamental kota-kota besar di Indonesia dikembangkan menjadi kompos
skala rumah tangga, sehingga tidak memerlukan tempat pembuangan akhir sampah
yang besar? Bukankah harga mesin pencacah sampah sangat murah dan dapat
disediakan di tingkat RT/RW? Sadarkah kita bahwa sampah itu uang yang tidur
belum bangun? Mengapa kelangkaan pupuk nasional tidak diselesaikan melalui
pendayagunaan sampah yang tidak memerlukan high
cost and technology? Mengapa kita tidak mengembangkan bisnis sampah yang
sangat menjanjikan ini? Mengapa pula, air kita yang begitu berlimpah dibuang
percuma ke sungai terus ke laut, sehingga menimbulkan banjir di musim penghujan
dan menyebabkan kekeringan di musim kemarau? Sadarkah kita bahwa harga air jauh
lebih mahal dibandingkan harga bensin, mengapa perilaku kita terhadap air masih
tetap begitu? Kita tahu bahwa 80 persen tubuh manusia, hewan, dan tumbuhan
terdiri atas air, sehingga ketiadaan air berarti tanpa kehidupan, tetapi
mengapa air sebagai nyawanya kehidupan dibuang percuma saat berlebihan?
Sebagain anak
petani, saya juga bertanya, mengapa gubernur dan bupati/wali kota memilih
mendepositokan uang rakyat di Sertifikat Bank Indonesia atau membeli surat utang
negara demi memburu bunga? Bukankah menggarap lahan tidur yang underutilized
pasti menghasilkan pangan, uang, dan membuka tenaga kerja, serta mengatasi
kemiskinan? Mengapa keberpihakan itu hanya dijanjikan saat mencalonkan
gubernur, bupati/wali kota saja? Mengapa ketahanan pangan desa, kecamatan,
kabupaten/kota, dan provinsi begitu rapuh terhadap guncangan spekulan dan
gelontoran pangan impor? Mengapa mereka belum banyak memberdayakan petani
menjadi subjek pembangunan, karena terbukti paling tahan terhadap guncangan
krisis ekonomi selama ini?
Mengapa ketahanan
nasional kita yang luar biasa yaitu petani, pedagang kaki lima, usaha mikro
kecil dan menengah (UMKM) belum digarap dengan serius? Padahal kita tahu,
kekuatan mereka luar biasa, daya saingnya sangat tinggi, mengapa dibiarkan
melakukan survival menghendaki
gempuran globalisasi? Mengapa petani dan UMKM tidak dikelola sehingga menjadi
sumber daya yang luar biasa. Mengapa Pemerintah Kota Yogyakarta, Universitas
Gadjah Mada bisa hidup berdampingan secara damai dan saling bersinergi dengan
UMKM, sementara di lain tempat menjadi musuh aparat keamanan dan ketertiban?
Padahal kita tahu, kaki lima merupakan outlet produk pertanian dan industri
kecil, mikro, dan menengah nasional. Mengapa kita begitu memberi tempat
terhormat ke pemilik modal besar yang eksploitatif, sementara meminggirkan
mereka yang sangat berjasa menopang negeri ini?
Di hilir, mengapa
industri pangan kita lebih mengembangkan pangan berbahan baku impor gandum
dibandingkan berbahan baku ketela, ubi kayu, umbi-umbian menjadi bahan makanan
yang berkelas? Kita harus sadar bahwa demokrasi pangan yang dibawa arus
globalisasi merupakan soft terror
yang siap menelan korbannya. Mengapa taste kita begitu mudah beralih dari rasa
lokal ke rasa global, dari ayam kampung ke ayam broiler dari singkong, ubi, dan
pisang goreng ke kentang goreng? Bukankah produk lokal kita selain sehat, aman,
juga mampu memutar roda ekonomi masyarakat. Sadarkah kita, kalau usaha itu
diorganisasi dapat menjadi kekuatan dahsyat yang luar biasa? Bukankah di negeri
ini begitu banyak ekonom yang tidak hanya hebat berdebat dan mengkritik tetapi
juga hebat dalam bekerja? Mengapa kearifan lokal kita dibiarkan hancur
berantakan menjadi tidak berdaya tergerus arus modernisasi yang sangat menyesatkan?
Sadarkah kita bahwa kearifan lokal itu sebenarnya merupakan ideologi-nya
petani, sehingga tidak akan pernah punah. Mengapa kita tidak menjadikannya
sebagai modal dasar untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi petani? Bukankah
itu merupakan kekayaan intelektual bangsa Indonesia yang tidak ternilai
harganya?
Sebagai anak
seorang petani, saya hanya bisa menggugah dan memulai untuk diri saya dan
keluarga serta teman-teman untuk berpihak lebih banyak kepada petani dengan
memberikan bukti dan bukan janji. Mari kita tanggalkan egoisme, bantu petani
tanpa melihat siapa yang memimpin negeri ini. Pastikan itu, bahwa rakyat akan
mencatat dan menilai yang pasti akan terefleksi dalam pemilu 2009 nanti.
(di muat di Harian Umum Republika, 2 Juli 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar