Senin, 11 Agustus 2014

PERTANYAAN SEORANG ANAK PETANI

Beberapa pertanyaan ini saya goreskan ketika hati ini sedih dan geram karena gelombang globalisasi perdagangan pangan semakin menggerogoti dan menghancurkan eksistensi petani di segala lini. Pertanyaan selanjutnya muncul dari naluri anak seorang petani yang melihat peluang usaha pemberdayaan petani yang dibiarkan berlalu, sehingga nasib petani belum beranjak baik dengan posisi tawar yang kuat seperti yang terjadi di Negara-negara maju.
Deraan liberalisasi pangan telah menimbulkan ambivalensi antara kesetaraan memperoleh akses pangan dengan harga yang sehat dan dumping yang mempunyai daya bunuh dan tumpas terhadap kompetitor yang luar biasa.
 Gotong royong sebagai nilai luhur falsafah bangsa yang lembut terpaksa harus bertempur melawan individualisme yang menjadi inti neoliberalisme. Sebagai pertarungan ekonomi dan budaya, maka dipastikan pangan global akan mengeliminasi pangan lokal kita. Hancurnya sistem produksi kedelai nasional, anjloknya harga wortel, bawang merah, bawang putih merupakan teladan konkretnya. Ironisnya, masih ada saja yang mengatakan, daripada membeli produk dalam negeri mahal, lebih baik impor dengan harga yang murah.
 Tengoklah di supermarket, sebagian besar didominasi buah impor murah sarat dumping. Tragisnya, pembelinya pegawai negeri bahkan pejabat Pemerintah yang nota benenya digaji dari pajak yang dikutip dari petani sebagai salah komponen masyarakat. Sadarkah kita bahwa pola konsumsi produk impor minded pimpinan nasional (formal maupun nonformal) akan menjadi trend setter masyarakat?.
Pembusukan sistemik yang dilakukan bangsa sendiri terhadap petani sebagai modal dasar pembangunan nasional harus dihentikan karena merupakan kekerasan atau bahkan kejahatan peradaban yang sulit termaafkan. Menyedihkan memang, menururt AC Nielsen (2006), konsumen kita di semua strata sangat sensitif terhadap discount price. Tanpa melihat dari mana sumber discount, kita merasa bangga membeli produk murah yang dihasilkan dari menekan harga dari pemasok.
 Ujung-ujungnya, jelas petani yang akan kena dampaknya. Berpikir instan, pragmatis tanpa keberpihakan dan memikirkan ketahanan nasional merupakan pintu masuk liberalisasi perdagangan barang dan jasa yang siap menerkam Indonesia yang tinggal menunggu bom waktunya saja. Pertanyaannya, mampukah kita keluar dari belenggu imperialisme pangan agar tidak menghancurkan ketahanan ekonomi dan budaya nasional?
 Apa yang harus dilakukan secepatnya, tahap yang paling mudah, murah, dan practicable adalah menggerakkan peran perbankan sebagai agen perubahan untuk memainkan fungsi intermediasi dalam menghapus pemburu rente yang selama ini mengeruk keuntungan dari ketidakberdayaan petani. Menjembatani kelompok tani dengan retail besar melalui dana talangan yang dikenai bunga komersial sekalipun akan jauh lebih sehat dibandingkan dijual ke tengkulak. Mengapa para petinggi bank BUMN lebih suka menjual cerita dan janji manis di depan petinggi Republik saja? Mengapa alokasi kredit hanya untuk segelintir orang yang nasionalismenya tidak bisa dipertanggungjawabkan? Sadarkah para pemimpin bank BUMN bahwa petani merupakan salah satu pemilik kedaulatan negeri ini, sehingga menolong petani berarti menolong bangsa ini dari kemelaratan, kemiskinan, kebodohan yang selama ini telah banyak menghabiskan tenaga, waktu, dan dana Pemerintah?
 Pertanyaan berikutnya, sudahkah sampah yang selama ini menjadi ciri dan citra serta masalah fundamental kota-kota besar di Indonesia dikembangkan menjadi kompos skala rumah tangga, sehingga tidak memerlukan tempat pembuangan akhir sampah yang besar? Bukankah harga mesin pencacah sampah sangat murah dan dapat disediakan di tingkat RT/RW? Sadarkah kita bahwa sampah itu uang yang tidur belum bangun? Mengapa kelangkaan pupuk nasional tidak diselesaikan melalui pendayagunaan sampah yang tidak memerlukan high cost and technology? Mengapa kita tidak mengembangkan bisnis sampah yang sangat menjanjikan ini? Mengapa pula, air kita yang begitu berlimpah dibuang percuma ke sungai terus ke laut, sehingga menimbulkan banjir di musim penghujan dan menyebabkan kekeringan di musim kemarau? Sadarkah kita bahwa harga air jauh lebih mahal dibandingkan harga bensin, mengapa perilaku kita terhadap air masih tetap begitu? Kita tahu bahwa 80 persen tubuh manusia, hewan, dan tumbuhan terdiri atas air, sehingga ketiadaan air berarti tanpa kehidupan, tetapi mengapa air sebagai nyawanya kehidupan dibuang percuma saat berlebihan?
 Sebagain anak petani, saya juga bertanya, mengapa gubernur dan bupati/wali kota memilih mendepositokan uang rakyat di Sertifikat Bank Indonesia atau membeli surat utang negara demi memburu bunga? Bukankah menggarap lahan tidur yang underutilized pasti menghasilkan pangan, uang, dan membuka tenaga kerja, serta mengatasi kemiskinan? Mengapa keberpihakan itu hanya dijanjikan saat mencalonkan gubernur, bupati/wali kota saja? Mengapa ketahanan pangan desa, kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi begitu rapuh terhadap guncangan spekulan dan gelontoran pangan impor? Mengapa mereka belum banyak memberdayakan petani menjadi subjek pembangunan, karena terbukti paling tahan terhadap guncangan krisis ekonomi selama ini?
 Mengapa ketahanan nasional kita yang luar biasa yaitu petani, pedagang kaki lima, usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) belum digarap dengan serius? Padahal kita tahu, kekuatan mereka luar biasa, daya saingnya sangat tinggi, mengapa dibiarkan melakukan survival menghendaki gempuran globalisasi? Mengapa petani dan UMKM tidak dikelola sehingga menjadi sumber daya yang luar biasa. Mengapa Pemerintah Kota Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada bisa hidup berdampingan secara damai dan saling bersinergi dengan UMKM, sementara di lain tempat menjadi musuh aparat keamanan dan ketertiban? Padahal kita tahu, kaki lima merupakan outlet produk pertanian dan industri kecil, mikro, dan menengah nasional. Mengapa kita begitu memberi tempat terhormat ke pemilik modal besar yang eksploitatif, sementara meminggirkan mereka yang sangat berjasa menopang negeri ini?
 Di hilir, mengapa industri pangan kita lebih mengembangkan pangan berbahan baku impor gandum dibandingkan berbahan baku ketela, ubi kayu, umbi-umbian menjadi bahan makanan yang berkelas? Kita harus sadar bahwa demokrasi pangan yang dibawa arus globalisasi merupakan soft terror yang siap menelan korbannya. Mengapa taste kita begitu mudah beralih dari rasa lokal ke rasa global, dari ayam kampung ke ayam broiler dari singkong, ubi, dan pisang goreng ke kentang goreng? Bukankah produk lokal kita selain sehat, aman, juga mampu memutar roda ekonomi masyarakat. Sadarkah kita, kalau usaha itu diorganisasi dapat menjadi kekuatan dahsyat yang luar biasa? Bukankah di negeri ini begitu banyak ekonom yang tidak hanya hebat berdebat dan mengkritik tetapi juga hebat dalam bekerja? Mengapa kearifan lokal kita dibiarkan hancur berantakan menjadi tidak berdaya tergerus arus modernisasi yang sangat menyesatkan? Sadarkah kita bahwa kearifan lokal itu sebenarnya merupakan ideologi-nya petani, sehingga tidak akan pernah punah. Mengapa kita tidak menjadikannya sebagai modal dasar untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi petani? Bukankah itu merupakan kekayaan intelektual bangsa Indonesia yang tidak ternilai harganya?

 Sebagai anak seorang petani, saya hanya bisa menggugah dan memulai untuk diri saya dan keluarga serta teman-teman untuk berpihak lebih banyak kepada petani dengan memberikan bukti dan bukan janji. Mari kita tanggalkan egoisme, bantu petani tanpa melihat siapa yang memimpin negeri ini. Pastikan itu, bahwa rakyat akan mencatat dan menilai yang pasti akan terefleksi dalam pemilu 2009 nanti.

(di muat di Harian Umum Republika, 2 Juli 2008)

Tidak ada komentar: