Predikat
sebagai komoditas strategis dan politik yang disandang beras tampaknya justru
menjadikan komoditas ini sarat intervensi yang lebih banyak madarot-nya
dibandingkan manfaatnya. Begitu banyaknya intervensi ekonomi dan politik Pemerintah
melalui Departemen Perdagangan dan Bulog ditambah lagi intervensi swasta
melalui tengkulak menyebabkan petani selalu mengalami ketidakadilan harga saat
panen raya. Petani yang sebagian besar miskin ”terpaksa dan dipaksa” menerima
”harga senyatanya dan bukan harga yang seharusnya” (harga pokok pembelian Pemerintah/HPP).
Ironisnya lagi, mengapa hanya beras saja yang diperlakukan tak adil, sementara
harga kedelai dan minyak goreng lebih mudah disesuaikan?
Mengapa disparitas harga beras dalam dan
luar negeri yang mencapai Rp 1.800 tidak bisa dinikmati petani?
Bahkan, sebaliknya, harga gabah kering panen petani hanya dihargai Rp 1.700. Logika ekonomi dan matematika mana yang dapat menjelaskan ketidakadilan tersebut?
Bahkan, sebaliknya, harga gabah kering panen petani hanya dihargai Rp 1.700. Logika ekonomi dan matematika mana yang dapat menjelaskan ketidakadilan tersebut?
Ekspor
Gelap dan ”Distrust”
Ada dua implikasi konkret yang perlu
diwaspadai berkaitan dengan ketidakadilan harga beras petani: (i) terjadinya
ekspor gelap dan (ii) melunturnya kepercayaan petani (distrust) terhadap
program, aparat, dan citra Departemen Pertanian. Pemerintah tampaknya ”sedikit
terlambat” merespons naiknya harga beras dunia dibandingkan para pedagang.
Disparitas harga beras dalam dan luar negeri dimanfaatkan pedagang di daerah
perbatasan untuk melakukan ”ekspor gelap” yang benefitnya tak dinikmati petani.
Fenomena ekspor gelap ini sangat
berbahaya karena akan menyedot cadangan beras dan mengacaukan harga beras,
bahkan stabilitas politik dalam negeri. Jika kekacauan iklim akibat perubahan
iklim yang dialami produsen pangan dunia, Amerika, China, Vietnam, Eropa, dan
Australia, terus berlanjut, bahkan terjadi juga di Indonesia, lonjakan harga
pangan dunia sulit dielakkan. Peningkatan kewaspadaan nasional terhadap gejolak
pangan harus ditumbuhkan dan dipersiapkan dari tingkat keluarga, sekarang juga.
Untuk meraih manfaat maksimal dari
melonjaknya pangan dunia, Pemerintah secepatnya perlu melakukan ”ekspor beras
terbatas” untuk memperoleh devisa dan mengatrol harga dalam negeri. Selain
mencegah terjadinya permanent distrust, juga dapat memacu pencapaian program
swasembada gula 2009. Jagung, daging, dan kedelai pada 2010.
Indikasi terjadinya distrust mulai
terlihat ketika petani diminta meningkatkan produksi kedelai. Pertanyaan
pertama yang mengemuka adalah bagaimana jaminan harganya dan siapa yang membeli
produksinya? Pertanyaan itu sampai saat ini belum bisa dijawab karena beras
yang ada HPP-nya saja tidak bisa dipenuhi, apalagi kedelai yang dibebaskan.
Stimulan
dan Insentif
Melambungnya harga beras dalam negeri
merupakan ”stimulan tidak berbiaya ekonomi” bagi Pemerintah dan ”insentif tak
terduga” bagi petani untuk menggenjot produksi dalam negeri dan pendapatan
petani. Rencana Pemerintah mengekspor beras telah mengubah secara fundamental
”citra dan posisi Indonesia” dari negara pengimpor beras terbesar menjadi
negara eksportir beras. Selain membanggakan bagi bangsa Indonesia, meraih
kembali swasembada beras yang sempat lepas merupakan pembuktian eksistensi
predikat negara agraris.
Pesimisme berbagai kalangan akan
terjadinya kelangkaan pangan dijawab dengan produksi dalam negeri yang melimpah
melalui kerja sama semua pihak. Ledakan produksi lebih dahsyat semestinya
terjadi jika tidak ada bencana banjir awal tahun, dan apabila itu terjadi,
Indonesia menjadi eksportir beras dunia.
Momentum ini harus direbut untuk
mendongkrak pendapatan sehingga petani dapat melakukan perbaikan infrastruktur
irigasi yang selama ini sebagian terbengkalai akibat keterbatasan pendanaan Pemerintah.
Harga beras yang atraktif mendorong semua pihak mengusahakan padi sehingga
dengan pasokan air yang terbatas, akan terjadi peningkatan efisiensi pemberian
air irigasi secara alamiah secara signifikan. Kemungkinan pengenaan iuran
pemakaian air yang selama ini tidak berjalan juga dapat diimplementasikan
kembali.
Mengapa peluang yang demikian besar belum
dimanfaatkan pengambil kebijakan untuk menyejahterakan petani hanya demi
menekan terjadinya inflasi? Bukankah inflasi yang produktif dengan efek
penguatan yang positif dan luas sampai batas tertentu sangat direkomendasikan?
Keputusan Pemerintah merupakan suatu pilihan, tetapi akan lebih bijak kalau
kebijakan dapat dilakukan untuk mengakhiri ketidakadilan terhadap yang lemah,
jumlahnya banyak dan selama ini sudah lama menderita, yaitu petani.
(di muat di Harian Umum Kompas – 8 April 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar