Jumat, 08 Agustus 2014

KEKERINGAN & PREMANISNE AIR

JAWA Barat sebagai provinsi lumbung air terbesar di Pulau Jawa karena iklim dan curah hujannya paling basah dengan luas hutan lebih baik, terpaksa harus mengalami kekeringan bahkan di beberapa tempat pada periode tertentu harus mengalami krisis air. Ironis memang, tetapi itulah faktanya.
Menyedihkan lagi, wilayah yang terkena kekeringan tidak hanya daerah endemik kekeringan konvensional seperti Cirebon, Indramayu, dan sebagian Karawang, melainkan juga terjadi di Cianjur yang secara historis merupakan daerah basah. Perubahan drastis dari daerah non endemik menjadi daerah endemik kekeringan pasti ada faktor determinan dan akar masalah yang belum terpecahkan. Diperlukan sinergi semua pemangku kepentingan untuk menyatukan langkah, menanggalkan ego pribadi, kelompok atau golongan dalam rangka mengatasi masalah kekeringan.

Akar masalah
Menurut data waduk besar, sungai, situ, dan potensinya, Jawa Barat merupakan salah satu provinsi dengan kapasitas produksi air yang sangat besar. Ditinjau dari segi pasokan air, Jawa Barat memiliki tiga waduk besar dengan total volume effektif Saguling, Cirata, dan Jatiluhur sebesar 1.415,12 juta meter kubik dengan rincian berturut-turut 169,07; 237,64, dan 1.008,42 Juta meter kubik. Belum lagi dengan sumber air setempat dan bendungan lainnya seperti Salam Darma serta waduk Jati Gede yang sedang dalam taraf pembangunan.
Disain awal pembangunan waduk Jatiluhur diharapkan mampu mengairi wilayah mulai Bekasi, Subang, Karawang, Indramayu, Cirebon, Tegal bahkan sampai Pekalongan. Namun karena parahnya kerusakan daerah tangkapan air dan tata kelola air yang buruk di hampir semua strata, menyebabkan pasokan air hanya sampai di Indramayu bagian barat.
 Hasil pemantauan di lapangan menunjukkan bahwa paling tidak ada tiga faktor determinan penyebab kekeringan: (i) pasokan air dan distribusi antar wilayah (spasial) dan antar waktu (temporal) yang tidak merata, (ii) tidak ditaatinya pola tanam dan penggolongan air, (iii) perusakan infrastruktur dan illegal pumping. Terjadinya kerusakan lingkungan utamanya akibat alih fungsi lahan bervegetasi ke lahan non vegetasi menjadi penyebab utama menurunya pasokan air terutama pada musim kemarau, karena pengisian cadangan air tanah melalui infiltrasi dan intersepsi menurun drastis.
Berkaitan dengan distribusi, adanya waduk dapat mengurangi kesenjangan pasokan air antara musim hujan dan kemarau. Langkah penting yang harus dilakukan adalah meningkatkan efisiensi pemanfaatan air mulai dari penyimpanan, pengaliran sampai di petakan. Saat ini sebagian besar petani Jawa Barat masih menggunakan air berlebihan, kecuali wilayah yang mulai menerapkan konsep bertanam padi pola system of rice intensification (SRI), Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) maupun yang mengairi sawahnya secara gilir giring.
Masalah mendasar berikutnya yang menjadikan penggunaan air menjadi boros adalah dilanggarnya penggolongan air dan pola tanam. Sekalipun secara operasional sudah dilakukan perencanaan tanam yang bottom up dari petani sampai disahkan oleh Gubernur Jawa Barat, namun faktanya, penggolongan air dan pola tanam terus dilanggar. Petani di hulu dan yang akses airnya baik mengambil air yang bukan menjadi hak nya sehingga petani yang dihilir tidak kebagian air untuk mengolah tanahnya.
Kondisi ini menyebabkan petani di hilir hanya bertanam sekali dalam setahun dengan mengandalkan musim hujan. Kondisi ini memicu terjadinya perselisihan apabila tidak segera diselesaikan. Pemantauan lapangan 18 Agustus 2007 saat mendampingi Menteri Pertanian menunjukkan, petani di hulu menganggap air yang mengalir untuk petani di bagian hilir, dianggap sebagai air yang mubazir, sehingga tanpa merasa bersalah langsung mengambil air yang bukan menjadi haknya.
Petani tersebut menyadari bahwa keberadaannya tanam ke tiga pada musim kemarau 2007 ini sudah beberapa kali didemo oleh petani yang di hilir. Aparat kelurahan dan kecamatan tampaknya tidak berdaya mengatasi persoalan tersebut. Destruksi infrastruktur sosial ini sangat berbahaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, karena akan menjadi preseden buruk dan merembet ke seluruh sektor kehidupan.
Perusakan infrastruktur irigasi dan maraknya illegal pumping merupakan masalah ketiga penyebab kekeringan yang sangat mencemaskan. Sarana irigasi yang dibangun Pemerintah untuk kepentingan petani dihancurkan untuk kepentingan sesaat yang sesat. Tanpa ada rasa memiliki atas infrastruktur irigasi, maka perusakan oleh masyarakat yang berkepanjangan akan memicu perselisihan dan konflik yang memosisikan Pemerintah berhadapan dengan petani atau petani melawan petani. Konflik ini sangat membahayakan apabila terakumulasi tanpa penyelesaian yang menyeluruh, karena biaya sosial, ekonomi, dan politiknya sangat mahal.

Premanisme Air
Permintaan air yang terus meningkat dengan pasokan yang terus menurun memosisikan air menjadi barang ekonomi, sehingga di lapangan melahirkan bisnis air illegal dalam bentuk premanisme air. Setiap pintu air yang layanannya luas merupakan tempat menarik bagi preman air untuk melancarkan aksi dan terornya demi kepentingan pribadinya. Fenomena ini dapat ditemukan di beberapa tempat di Jawa Barat yang secara faktual akses aparat keamanannya jauh lebih baik dibandingkan di luar Jawa. Menyedihkan memang, tetapi begitulah faktanya. Fatalnya lagi, masyarakat takut melawan dan oknum aparat justru memanfaatkan peluang tersebut dengan menggunakan preman sebagai kepanjangan tangannya dalam memungut upeti.
 Fenomena ini harus secepatnya dihentikan, karena berdasarkan hasil super impose peta lahan sawah dan peta rawan kekeringan menggunakan analisis citra Landsat TM, peta rawan kebanjiran menunjukkan bahwa 43,14% sawah di Jawa Barat rawan kekeringan, 5,54% rawan banjir, 5,59% rawan banjir dan kekeringan serta hanya 45,38% yang belum rawan banjir dan kekeringan. Itu artinya potensi peningkatan jumlah preman dan luas daerah kekuasaannya diprediksi terus meningkat akibat berkembangnya hukum permintaan dan penawaran air.
Apalagi diprakirakan sawah yang rawan banjir, rawan kekeringan, serta rawan banjir dan kekeringan dipastikan akan terus meningkat. Kondisi ini dapat memosisikan Jawa Barat sebagai lumbung padi nasional berangsur cepat dan pasti menjadi defisit pangan apabila tidak ada upaya luar biasa semua pihak.
Ironisnya, sekalipun banyak pihak mengetahui terjadinya penurunan produksi air Jawa Barat utamanya musim kemarau, namun faktanya belum ada upaya signifikan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kegiatan di hulu, tengah, dan hilir yang berkaitan dengan peningkatan kualitas dan sistem produksi air terus dilakukan, anggaran semakin membesar bahkan tidak jarang terjadi tumpang tindih, tetapi realitanya, harus diakui produksi air musim kemarau tanpa anomali iklim sekalipun terus menurun.
Berita yang paling menyedihkan adalah, matinya mata air besar akibat rusaknya tata air di bagian hulunya. Berdasarkan pemantauan lapangan, krisis pasokan air ternyata lebih dahsyat dibandingkan krisis bahan bakar, minyak goreng bahkan beras sekalipun. Krisis air ditandai dengan meningkatnya agresivitas manusia, yang ditandai dengan dibawanya senjata tajam setiap saat. Suasana ini hampir selalu terjadi pada saat puncak musim kemarau di sekitar pantai utara Jawa Barat. Demi menyelamatkan standing crop, petani rela menyabung nyawa dengan sesamanya. Potret ini menunjukkan bahwa masalah kekeringan bukan masalah biasa, karena nyawa menjadi taruhannya.

Penyelesaian Partisipatif
Antisipasi kekeringan hampir dipastikan tidak dapat dilakukan oleh instansi Pemerintah Jawa Barat sendiri tanpa peran aktif pemangku kepentingan lainnya. Harus ada mobilisasi sumberdaya secara maksimal, sehingga keluaran dan dampak yang dihasilkan dapat dimaksimalkan. Prinsip partisipasi di setiap strata pemangku kepentingan menjadi sangat penting untuk menghasilkan sinergi maksimum dalam mereduksi risiko termasuk benturan sosial yang mungkin terjadi.
Pertanyaannya: bagaimana dengan Jawa Barat yang selama ini menjadi lumbung air dan lumbung pangan serta penyangga produksi pangan nasional? Skenario apa yang dapat dipilih agar ada tenggat waktu bagi semua pihak untuk melakukan antisipasi kekeringan? Akankah pola budidaya padi sistem penggenangan masih mengandalkan pola konvensional yang selama ini sangat boros air? Ataukah kita akan memindahkan sentra produksi pangan nasional secara bertahap di luar Jawa yang sarat dengan pembatas baik infrastruktur fisik, sosial maupun budaya?
Dalam jangka pendek rasanya Jawa khususnya Jawa Barat masih menjadi tumpuan bagi pasokan produksi pangan nasional. Untuk itu, maka Pemerintah propinsi Jawa Barat harus meletakkan agenda penyelesaian krisis air di atas agenda apapun, termasuk agenda ekonomi, karena krisis air permanen akan membunuh secara permanen pula kehidupan generasi mendatang.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air Departemen Pertanian sejak tahun 2005 telah memulai dan akan terus mengembangkan teknik water harvesting dengan embung, dam parit, sumur resapan, long storage, waduk lapangan untuk menampung dan menambah cadangan air dalam tanah. Jumlah tersebut masih jauh dari memadai, sehingga peran Pemerintah propinsi, kabupaten/kota dalam memperbanyak, memperluas program tersebut sangat diharapkan. Peningkatan pasokan air adalah solusi fundamentalnya, karena begitu ada air, mulai kehidupan berkembang.
Semua pihak, baik Pemerintah propinsi dan masyarakat Jawa Barat harus yakin sepenuhnya, tidak ada lembaga donor mana pun yang bersedia dan dapat menyelesaikan masalah krisis air secara menyeluruh, selain masyarakat Jawa Barat sendiri. Agenda yang mendesak dilakukan adalah memanfaatkan setiap jengkal tanah untuk menumbuhkan tanaman, sehingga secara langsung akan menambah wadah untuk menyerap dan menyimpan air.

Pemerintah dapat memobilisasi tokoh masyarakat untuk menumbuhkan kembali kesadaran dalam menyelesaikan masalah kekeringan dan krisis air. Model pengawalan dapat dilakukan mulai tataran terendah yaitu RT/RW sampai tingkat kalurahan, kecamatan bahkan sampai tingkat kabupaten. Dalam waktu dua sampai tiga tahun dipastikan akan terjadi perubahan jenis dan komposisi tutupan lahan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan penyelesaian melalui projek yang lebih banyak mudarat dibandingkan manfaatnya.

(Tulisan ini dimuat pada: Harian Umum Pikiran Rakyat, 11 September 2007)

Tidak ada komentar: