Selasa, 27 November 2007

Peta Wilayah Rawan Banjir dan Genangan

FAKTA menunjukkan, sebagian kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung, dan Medan, ada di hilir sungai dan tidak satu pun yang terbebas dari banjir dan genangan. Bahkan, hasil pemantauan menunjukkan, intensitas dan frekuensi banjir dan genangan di kota-kota itu cenderung meningkat.

WILAYAH banjir dan genangan yang sebelumnya menjadi monopoli kota-kota besar kini sudah merambah ke daerah yang sebelumnya tidak pernah mengalami masalah banjir dan genangan, seperti terjadi di Aceh dan Nias. Lebih ekstrem lagi, kondisi itu terjadi pada tahun El Nino (tahun kering) dengan intensitas lemah, seperti tahun 2002.

Meningkatnya ancaman banjir dan genangan juga dapat dilihat di Jakarta. Bila terjadi hujan dalam satu hari dengan intensitas tinggi dan durasi di atas lima jam, maka di beberapa wilayah Jakarta sudah mulai tergenang dan arus lalu lintas sudah terganggu. Anehnya, meski tiap tahun didera, diancam banjir dan genangan, tidak satu pun program nyata, baik di tingkat pusat, provinsi, kabupaten, maupun kota, yang terukur (measurable) untuk mereduksi bahaya itu. Kalaupun ada program, sifatnya parsial dan tidak menyentuh esensi persoalan. Masyarakat hanya geram terhadap pemimpinnya saat terjadi banjir dan genangan, setelah itu tuntutan lenyap bagai ditelan bumi.

Bisa dibandingkan dengan negara-negara maju di Eropa, seperti Perancis, Jerman, Inggris, bahkan Irlandia yang relatif miskin, yang begitu care terhadap warganya, sehingga mereka tidak hanya memasang sistem peringatan dini tentang banjir (early warning system for flood), tetapi juga membuat peta evakuasi (evacuation plan), sekaligus sosialisasinya. Untuk meningkatkan tanggung jawab publiknya, pejabat terkait harus siap mempertanggungjawabkannya di depan tribunal bila terjadi banjir dan menelan korban jiwa. Wilayah yang kena banjir akan divalidasi bersama tim independen, apakah zona pembangunan untuk permukiman ada di luar wilayah rawan banjir dan genangan atau tidak. Sehingga, pemberian izin bangunan akan amat hati-hati karena ada pertanggungjawaban publik bila terjadi banjir dan genangan di kemudian hari.

Sementara itu, di Indonesia, pertanggungjawaban publik hampir tidak ada. Kebanjiran dan genangan yang banyak menelan korban jiwa, harta, dan menimbulkan trauma masyarakat dianggap musibah, sehingga tidak ada satu instansi yang harus dimintai pertanggungjawaban publik. Ironisnya, saat terjadi banjir pada Februari 2002, hampir semua sektor mengusulkan program, seperti, pembuatan sudetan dan memecah awan yang biayanya amat besar. Padahal, secara faktual, semua itu lebih banyak mudaratnya daripada manfaat, karena akhirnya rakyat yang harus menanggung beban itu.

Pertanyaannya, strategi apa yang harus diprogram untuk menekan risiko banjir dan genangan agar penanggulangan banjir dan genangan lebih terprogram? Penyusunan peta wilayah rawan banjir dan genangan merupakan salah satu jawabannya.

Peta wilayah rawan banjir dan genangan

Untuk menyusun peta rawan banjir dan genangan, diperlukan kuantifikasi besaran (magnitude) banjir dan genangan yang meliputi luas areal, tinggi, dan lamanya genangan, yang direpresentasikan dalam bentuk peta. Pemantauan kemungkinan perubahan magnitude banjir dan genangan akibat fluktuasi masukan (input) curah hujan dapat dikuantifikasi dan diprediksi dampaknya bila: (1) hubungan antara intensitas dan lama hujan atas magnitude banjir dan genangan (luas, tinggi, dan lama genangan) dapat diformulasikan; (2) perubahan magnitude banjir dan genangan (luas, tinggi, dan lama genangan) pada skenario tahun La Nina normal dan El Nino dapat direpresentasikan.

Hubungan intensitas dan lama hujan terhadap perubahan magnitude banjir dan genangan diperlukan untuk memprediksi fluktuasi wilayah yang rawan banjir dan genangan. Selanjutnya, informasi itu dapat bermanfaat untuk menyampaikan sistem peringatan dini tentang banjir dan genangan yang sampai saat ini belum dimiliki Indonesia. Sedangkan prediksi perubahan luas areal, tinggi genangan, dan lama genangan maksimum yang mungkin terjadi pada skenario tahun La Nina dan El Nino dapat digunakan sebagai alat bantu pengambil keputusan (decision support system) dalam mengintegrasikan penanggulangan banjir dan genangan dalam perencanaan jangka pendek, menengah, dan panjang untuk mereduksi risiko banjir dan genangan.

Mengapa skenario banjir dan genangan pada tahun El Nino harus dilakukan? Apakah pada tahun El Nino yang umumnya ditandai dengan penurunan curah hujan berpeluang terjadi banjir dan genangan? Demikian penjelasannya, terjadinya penurunan curah hujan tahunan seperti pada tahun 2002 dan meningkatnya lama musim kemarau akan berakibat singkatnya musim hujan. Meskipun volume air hujan mengalami penurunan, karena lama musim hujan yang singkat, maka intensitas hujannya menjadi amat tinggi dengan durasi singkat.

Akibatnya, kemampuan tanah dan tanaman untuk menyerap air amat terbatas sehingga bahaya banjir dan genangan yang ditimbulkan akan amat luar biasa, bahkan bisa melebihi tahun La Nina. Lebih jauh, pada tahun El Nino banyak tanaman dan semak mati akibat kekeringan, sehingga kemampuan menahan laju aliran permukaan dan mengintersepsi tajuk pada awal musim hujan sangat terbatas. Oleh karena itu, sebagian besar volume air hujan akan menimbulkan banjir dan genangan di hilir.

Untuk keperluan pembuatan peta wilayah rawan banjir dan genangan, diperlukan rekaman data citra satelit secara series. Dengan demikian, informasi menurut ruang dan waktu yang dikumpulkan dapat dipantau secara utuh dan diinterpretasi dengan jujur (fair). Berdasarkan pengalaman penggunaan citra satelit Landsat TM yang mempunyai resolusi spasial 30 x 30 meter dengan periode rekaman gambar dua kali dalam satu bulan yang divalidasi di lapangan, direkomendasikan dalam penyusunan peta wilayah rawan banjir dan genangan.

Penggunaan citra mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan metode klasik, karena dengan citra, deliniasi awal wilayah banjir dan genangan akan mudah dilakukan sebelum divalidasi di lapangan.

Wilayah yang tergenang dan kebanjiran mempunyai respons spektral yang berbeda (umumnya terlihat gelap) dibandingkan wilayah yang tak tergenang (terlihat terang/merah). Peta wilayah rawan banjir dan genangan ini akan lebih powerfull bila dapat ditumpangtindihkan (superimpose) dengan peta jaringan hidrologi sungai (hydrological network), peta topografi, karena dengan demikian dapat dipantau wilayah yang berpotensi mengalami genangan berikutnya bila debit sungai atau curah hujan terus meningkat.

Lebih jauh, wilayah penyumbang air utama dapat dirunut sehingga dapat dirancang strategi antisipasinya. Pendekatan ini selain akurat, juga akan mengurangi pemborosan tenaga, waktu, dan biaya. Bahkan, dengan telah tersedianya citra dengan resolusi tinggi (1 x 1 meter), maka tingkat ketelitian peta wilayah banjir dan genangan dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan yang akan dicapai. Prototipe peta wilayah banjir dan genangan ini sudah berhasil dilakukan untuk daerah aliran sungai (DAS) Brantas, dan secara ilmiah tentu dapat dilakukan untuk DAS Ciliwung untuk Jakarta, DAS Kali Garang untuk Semarang, dan DAS lain yang memerlukannya.

Pembuatan peta wilayah rawan banjir dan genangan ini akan lebih efisien bila dilakukan di tingkat nasional, karena: (1) seringkali antarwilayah ada dalam cakupan citra, sehingga pemanfaatan citra dapat dilakukan bersama (multiple users); (2) citra yang sama dapat digunakan untuk berbagai keperluan (multiple purposes), misalnya citra landsat dapat digunakan untuk pertanian (memantau kekeringan), kebanjiran (Kimpraswil) dan kebakaran hutan (Kehutanan), bahkan untuk memantau potensi sumber daya alam.

Manfaat peta wilayah

Di lapangan, peta wilayah rawan banjir dan kekeringan yang disajikan menurut ruang (spasial) dan waktu (temporal) amat besar manfaatnya, antara lain untuk: (1) zonasi wilayah rawan/endemik kebanjiran dan genangan secara akurat; (2) kecenderungan perubahan magnitude banjir dan genangan dalam DAS akibat alih fungsi lahan; (3) memantau hasil tindakan penanggulangan banjir dan genangan yang telah dilakukan; dan (4) menyusun strategi alokasi bantuan tanggap darurat apabila terjadi banjir dan genangan.

Manfaat pertama, zonasi wilayah banjir dan genangan secara transparan dapat digunakan untuk memberikan peringatan (warning) bagi masyarakat yang bermukim di wilayah itu tentang bahaya banjir dan genangan. Bagi pemerintah provinsi, kabupaten, dan atau kota dapat digunakan dalam menyusun rencana (plan) relokasi penduduk, dan sebagai pedoman dalam pemberian izin mendirikan bangunan. Lebih jauh, zoning juga dapat memberi petunjuk bagi masyarakat dalam pengawasan pelaksanaan pembangunan.

Manfaat kedua, kecenderungan perubahan/peningkatan magnitude banjir dan genangan dapat dijadikan acuan tentang daya dukung DAS akibat alih guna lahan. Paling tidak, dapat diestimasi berapa persen dan di mana alih guna lahan dari lahan berpenutup vegetasi ke lahan berpenutup permanen masih dapat ditoleransikan.

Manfaat ketiga, peta wilayah rawan banjir dan genangan yang diperbarui (update) akan dapat memantau apakah tindakan penanggulangan banjir dan genangan yang dilakukan sudah memberi hasil nyata atau tidak. Dengan kata lain, peta wilayah rawan banjir dan genangan dapat dijadikan alat evaluasi implementasi program penanggulangan banjir dan genangan yang telah dan akan dilakukan.

Manfaat keempat, tersedianya peta wilayah rawan banjir dan genangan dapat meminimalkan kesalahan alokasi dana untuk penanggulangan banjir maupun penyaluran bantuan sosial. Dengan demikian, peluang terjadinya penumpukan bantuan sosial yang sering terjadi selama ini dapat diantisipasi lebih dini.

Pertanyaan terakhir, maukah pemerintah melakukan itu agar penanggulangan banjir dan kekeringan dapat dilakukan lebih terencana? Tanggal publikasi : Senin, 16 Desember 2002, Harian Umum Kompas

"Panen Hujan" untuk Atasi Banjir dan Kekeringan

KETUA Kelompok Tani Desa Bunder, Jiwo (60), dan anggotanya sebanyak 14 orang dari Desa Bunder, Kecamatan Patok, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, pertengahan bulan ini bersiap-siap melaksanakan panen perdana atas tanaman padi di lahan kering seluas 3 hektar. Semula seperti halnya lahan lain di seputar Gunung Kidul, lahan itu tidak begitu produktif karena hanya ditanami singkong.

Sejak awal bulan puasa pertengahan November 2001, kelompok tani di Desa Bunder menjadi proyek percontohan pengembangan Teknologi Panen Hujan dan Aliran Permukaan yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Tanah dan Agroklimat Balitbang Pertanian Bogor dengan CIRAD, Lembaga Riset dan Pengembangan Pertanian Perancis yang didukung Kedutaan Perancis di Indonesia.

Teknologi itu sebenarnya sederhana saja, berupa upaya menampung air hujan dan aliran permukaan (air yang mengalir di permukaan tanah) pada jaringan hidrologi di sebuah penampungan air ukuran panjang 20 meter, lebar 5 meter, dan kedalaman sekitar 3 meter.

"Waduk kecil" ini mampu menampung aliran air permukaan sekitar 300 meter kubik. Air inilah yang kemudian dipergunakan untuk mengairi lahan kering yang dicetak menjadi sawah untuk ditanami padi. Di lokasi proyek percontohan ini, dibangun dua "waduk kecil".

"Kami gembira karena di lahan yang kami tanami padi ini, menunjukkan hasil nyata setelah memperoleh air secukupnya. Semula lahan di sini ditanami singkong melulu. Untuk padi hasilnya kurang baik," kata Jiwo kepada Kompas yang bersama Dr Gatot Irianto meninjau perkembangan pilot proyek Teknologi Panen Hujan dan Aliran Permukaan, pekan lalu, di Desa Bunder.

Gatot adalah doktor bidang pemodelan hidrologi dari ENSA Rennes Perancis. Ia menyebutkan, pihaknya memberikan bantuan dana pembuatan model waduk kecil kemudian memberikan petunjuk cara menampung dan mengalirkan air. Pengerjaannya dilakukan oleh kelompok tani. Mereka pula yang menyediakan bibit padi dan pupuknya. Air yang mengalir pada jaringan hidrologi melewati Desa Bunder itu, sebelum masuk ke sungai utama dicegat dan ditampung dalam waduk kecil.

***

DENGAN waduk kecil tersebut, petani setempat dapat menanam padi varietas lokal karena tanahnya kini menjadi gembur. "Air yang disimpan dalam waduk kecil bukan hanya dapat dipergunakan pada musim hujan, tetapi juga dipergunakan untuk tanam padi pada musim kering, serta tanaman lainnya seperti sayuran, melinjo, dan mangga," kata Gatot.

Teknologi panen hujan dan aliran air permukaan itu, menurut Gatot, memang multiguna. Teknik itu dapat menurunkan kecepatan aliran permukaan, mengurangi volume air yang mengalir, dan menyimpan air untuk musim kemarau.

"Teknologi panen hujan dan aliran permukaan sangat ideal untuk diterapkan di Puncak guna menahan laju aliran dan mengurangi volume air yang mengalir. Cara ini juga sangat tepat untuk mengembangkan usaha pertanian di lahan kering seperti Gunung Kidul, Cianjur Selatan maupun Sukabumi Selatan. Dananya tidak sebesar membangun bendungan," tambahnya.

"Waduk kecil" yang sedang diuji coba ini, bila dibuat dalam jumlah ribuan di sepanjang aliran Sungai Ciliwung dan Cisadane mulai dari hulu sampai hilir akan mampu menurunkan kecepatan aliran dan mengurangi volume air, dengan cara meretensi air di dalam waduk buatan itu.

"Di Indonesia saat ini tercatat sekitar 40 juta lahan kering, kalau 10 persen saja dari 40 juta itu dapat ditanami padi dengan teknologi panen hujan dan aliran permukaan, maka ada 4 juta hektar lahan kering jadi produktif. Bila 1 hektar sekurang-kurangnya menghasilkan 4 ton, maka dalam setahun diperoleh 16 juta ton padi," kata Gatot Irianto. Tanggal Publikasi : Selasa, 12 Februari 2002, Harian Umum Kompas (pun)

Orang Jakarta Tenggelamkan Jakarta

PERNYATAAN itu sepintas mungkin terlihat amat provokatif bila didengar oleh masyarakat. Namun, bila kita lihat kenyataan di lapangan, maka itulah kondisi yang sebenarnya terjadi. Salah satu indikatornya antara lain terlihat dari sebagian besar kegiatan pembangunan di Jakarta maupun wilayah hulu (Bogor) cenderung meningkatkan volume dan mempercepat akumulasi aliran permukaan (run off) di Jakarta. Pembangunan villa dan rumah mewah di kawasan Puncak, Jawa Barat, dengan menutup sebagian besar atau seluruh permukaan tanah dengan aspal adalah fakta yang banyak kita temukan. Demikian pula pengurukan alur-alur sungai di Jakarta untuk keperluan permukiman (pembangunan perumahan Pantai Indah Kapuk), pembangunan sarana transportasi jalan tol ke Bandara Soekarno-Hatta merupakan bukti, secara kolektif dan sadar kita sedang menenggelamkan Jakarta.

Sebagai salah satu kota terpadat di dunia sekaligus ibu kota negara, tentu masalah ini tidak boleh dianggap sederhana, karena bila masalah ini terus terjadi, maka bukan mustahil suatu saat ibu kota negara harus dipindahkan. Perpindahan kerajaan Demak Bintoro ke Pajang, Surakarta, akibat sering mengalami banjir dan genangan, merupakan ilustrasi yang baik tentang perlunya kita mengamankan Jakarta supaya tidak tenggelam akibat banjir dan genangan yang makin mengkhawatirkan. Berikut ini disajikan beberapa fenomena yang mendukung hipotesis bahwa Jakarta sedang menuju tenggelam.

Beberapa fenomena

Banjir dan genangan yang terjadi belakangan ini terus meningkat intensitas dan frekuensinya, sehingga sebagai daerah paling ujung, Jakarta akan menerima luapan air paling banyak. Hal ini diperburuk dengan adanya perubahan fenomena iklim global yang mengarah pada terjadinya hujan lebat dengan durasi lama. Dampaknya terlihat dari meningkatnya luas areal yang mengalami banjir atau genangan. Lebih mengkhawatirkan lagi, menurut catatan, tinggi air dan lama genangan terus meningkat. Daerah yang sebelumnya tidak pernah kebanjiran, kini harus menghadapi banjir yang amat mencemaskan. Peningkatan risiko dan bahaya genangan dan banjir ini akan menyebabkan kerugian lebih besar lagi, bila tidak ditangani lebih dini.

Penurunan permukaan tanah (subsidence) akibat ekploitasi air tanah Jakarta yang berlebihan, menyebabkan posisi Jakarta terhadap laut makin rendah. Kondisi ini diperburuk dengan kecenderungan meningkatnya muka air laut sampai hampir di sebagian besar kota-kota dunia akibat pemanasan global (global warming). Penurunan daratan di Ancol dan meningkatnya risiko terjadinya banjir dan genangan ini dapat dijadikan salah satu indikator tentang Jakarta sedang menuju tenggelam. Kejadian serupa juga dialami Kota Semarang, Jawa Tengah.

Peningkatan permukaan air laut dari tahun ke tahun menyebabkan lantai sebuah kantor pemerintah harus ditinggikan setiap tahun untuk meminimalkan terjadinya genangan. Sampai suatu saat, tahun 1995 lantai kantor itu tidak mungkin ditinggikan lagi, karena jarak lantai-plafon, tidak dapat digunakan untuk orang berdiri, sehingga kantor itu harus dipindah ke daerah yang lebih tinggi.

Siapa yang menenggelamkan Jakarta?

Orang Jakarta adalah penyebab utama tenggelamnya Kota Jakarta. Secara pribadi penulis amat tidak sependapat dengan tudingan selama ini bahwa masyarakat Bogor yang menenggelamkan Jakarta. Ada dua alasan penting yang dapat menjelaskannya: (1) Pembangunan rumah mewah yang cenderung tidak meloloskan air (impermeable) dan itu dilakukan orang berduit yang sebagian besar adalah orang Jakarta. (2) Peraturan perundangan dan penegakannya untuk mengamankan kawasan Bogor-Puncak-Cianjur dibuat dan dilanggar oleh sebagian besar orang yang berasal dari Jakarta. Sementara itu masyarakat di hulu, perambah hutan sekalipun, hanya menggunakan lahan itu untuk budidaya dan hanya sedikit saja yang digunakan untuk permukiman. Bahkan keberhasilan sosialisasi tentang peran hutan terhadap konservasi sumber daya air dan pencegahan banjir, mendorong masyarakat di beberapa kawasan hutan sudah menyadari sepenuhnya tentang perlunya mempertahankan hutan sebagai bagian dari sistem daerah aliran sungai (DAS).

Sebaliknya di Jakarta, akibat tuntutan bisnis yang kuat di satu pihak dan lemahnya penegakan hukum di lain pihak, menyebabkan banyak areal yang mestinya tidak layak bangun karena merupakan daerah bantaran banjir tetap didirikan areal permukiman. Demikian pula dengan penimbunan rawa yang sebenarnya dapat berfungsi sebagai penampung dan penyimpan air terus dilakukan, sehingga aliran air dari hulu ke hilir tertahan dan menyebabkan genangan. Penyempitan dan penyumbatan kanal dan sungai utama, juga merupakan pangkal penyebab genangan yang belakangan ini makin mengkawatirkan. Lalu pertanyaannya, bagaimana antsipasinya, agar masalah proses tengelamnya Jakarta ini dapat dicegah lebih dini?

Strategi antisipasi

Pengalaman menunjukkan, antisipasi banjir dan genangan yang dilakukan pemerintah saja, selama ini tidak cukup tanpa didukung peran masyarakat. Sebaliknya, masyarakat sendiri tidak mampu mengatasi persoalan banjir dan genangan. Diperlukan perencanaan yang utuh dan transparan dengan melibatkan tokoh masyarakat, LSM, perguruan tinggi, dan lembaga penelitian agar dapat diperoleh masukan yang komprehensip.

Berikut ini diusulkan beberapa strategi yang dapat ditempuh untuk mencegah tenggelamnya Jakarta: (1) transfer air antar-DAS; (2) reformasi pemilikan lahan (land reform) untuk pertanian di bagian hulu; (3) menata kembali pembangunan Jakarta. Transfer air antar-DAS (water transfer from basin to basin) ini untuk kasus Jakarta dapat dilakukan dari Ciliwung yang basah ke Cisadane (Tangerang) yang relatif kering. Selain dapat menurunkan debit maksimum (peak discharge) dan waktu puncak (time to peak discharge) di Jakarta, maka dapat memberi tambahan pasokan air di wilayah Tangerang yang lebih kering. Upaya ini akan amat bermanfaat karena akan dapat mendorong pengembangan pertanian di wilayah itu. Lebih jauh transformasi air dapat dilakukan antarwilayah, sehingga risiko kebanjiran di daerah basah dapat ditekan dan dampak kekeringan di wilayah kering dapat diminimalkan. Pulau Lombok merupakan contoh yang baik bagaimana transfer air antar-DAS dilakukan.

Reformasi pemilikan lahan pertanian amat berperan penting dalam meningkatkan produktivitas lahan bagian di hulu. Akumulasi pemilikan lahan kawasan hulu oleh masyarakat nonpetani akan mendorong sebagian besar lahan tidak dibudidayakan dan cenderung mengalihfungsikan lahan pertanian ke lahan nonbudidaya (permukiman, bangunan) dengan pertimbangan pemeliharaan yang lebih mudah. Pada kondisi itu, air kurang dihargai, karena di kawasan hulu umumnya tersedia sepanjang tahun. Sebaliknya, bila budidaya lahan untuk pertanian berhasil dilakukan, secara langsung akan meningkatkan apresiasi penggunaan air untuk budidaya.

Meski kawasan hulu sudah dikelola dengan baik, tanpa didukung pembangunan yang memadai di kawasan Jakarta, maka upaya itu akan kurang memuaskan. Perusakan alur sungai alamiah untuk keperluan apa pun, harus diakhiri. Bahkan, bila perlu dipikirkan normalisasi sungai utama di hilir agar tenggelamnya Jakarta dapat dihindari.

Dipublikasikan di Harian Umum Kompas. Kamis, 31 Januari 2002

MENYOAL ALIH FUNGSI LAHAN, KEKERINGAN, DAN KETAHANAN PANGAN

MESKI topik yang dibahas dalam sidang kabinet adalah kekeringan dan ketahanan pangan, masalah alih fungsi lahan pertanian subur justru mendapat perhatian luar biasa. Kita tahu, sudah banyak perangkat hukum, mulai dari Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 53 Tahun 1989, Keppres No 33/1990, hingga Surat Edaran (SE) Menteri Negara Agraria No 410-2261 1994, yang mengatur alih fungsi lahan pertanian subur, terutama lahan sawah ke lahan industri. Bahkan, Departemen Pertanian mengusulkan perlunya sawah abadi sebagai pemasok pangan nasional jangka panjang.
Ada tiga pertanyaan esensial, mengapa alih fungsi lahan pertanian subur mendapat perhatian besar. Pertama, faktor apa yang menyebabkan laju alih fungsi lahan pertanian subur demikian tinggi?
Kedua, bagaimana pengaruh alih fungsi lahan terhadap kekeringan dan ketahan pangan nasional?
Ketiga, implikasi kebijakan apa yang harus diambil pemerintah bersama masyarakat agar masalah kekeringan dan ketahanan pangan dapat dipecahkan?

Gatot Irianto, Bawa Waduk ke Gunung Kidul

TANAMAN padi varietas lokal, varietas unggul membramo dan IR 64 di sebuah lahan kering di Desa Bunder, Kecamatan Patok, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta, tampak tumbuh subur dan buah padinya bernas. Pertengahan atau selambat-lambatnya akhir bulan ini, diperkirakan sudah dapat dipanen. Ini merupakan panen perdana tanaman padi pada lahan kering yang dijadikan Pilot Proyek Pengembangan Teknologi Panen Hujan dan Aliran Permukaan Puslitbangtanak (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat) Bogor dan CIRAD, sebuah lembaga Riset dan Pengembangan Pertanian Perancis yang didukung Kedutaan Besar Perancis di Jakarta.

Padi tersebut ditanam sejak pertengahan bulan November 2001 di atas lahan kering. Sekitar tiga hektar lahan kering di Desa Bunder milik kelompok petani setempat dijadikan lahan pilot proyek penerapan teknologi sederhana yang mudah dibuat dan digunakan serta tak sulit perawatannya. Teknologi tersebut didesain di Bogor, kemudian diaplikasikan ke daerah Gunung Kidul oleh Gatot Irianto (42), doktor bidang pemodelan hidrologi dari ENSA Rennes Perancis yang kini menjadi ahli peneliti muda dan Ketua Kelompok Peneliti Agroklimat dan Hidrologi Puslitbangtanak serta Pengurus Pusat Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia (Perhimpi).

Daerah Gunung Kidul dipilih menjadi pilot proyek, dimaksudkan untuk menjadi pembanding pilot proyek yang telah berlangsung sejak tiga tahun. Pilot proyek pembanding ini adalah embung (tempat penampungan air hujan dan aliran permukaan) di Nawungan, Kecamatan Imogiri, Bantul, DI Yogyakarta. Embung ini dibuat di lahan produktif milik petani setempat. Embung itu kini telah mampu "mengubah" usaha petani setempat dengan berbagai macam tanaman, yakni padi, bawang merah, cabai, melinjo, tembakau, dan mangga. Sesuatu yang tadinya tak mungkin dilakukan, kini dapat dikerjakan karena persediaan air cukup. Pertumbuhan tanaman terjamin karena memperoleh pengairan yang baik.

Kelompok tani Desa Bunder kini tampak gembira karena teknologi sederhana yang didesain oleh Gatot dari Bogor ini mampu mengubah lahan kering yang semula hanya dapat ditanami singkong, kini menjadi lahan subur. Tanah kering itu menjadi gembur karena memperoleh air secukupnya. Dengan demikian, padi, sayuran, dan palawija dapat ditanam dengan hasil yang tampaknya cukup menjanjikan. Sudjiwo (65), Ketua Kelompok Tani Bunder, wajahnya berseri-seri ketika mengetahui perubahan nyata dari lahan pertanian. "Pertengahan bulan ini atau selambat-lambatnya panen perdana sudah dapat kami lakukan," kata Sudjiwo dengan nada gembira pada Kompas, Selasa (5/2) pekan lalu.

Di Desa Bunder itu, saat ini dibuat dua waduk kecil dengan ukuran panjang 20 meter, lebar lima meter, dan kedalaman sekitar tiga setengah meter, dengan kapasitas tampung air sekitar 300 meter kubik. Air aliran permukaan pada jaringan hidrologi di permukaan daerah aliran sungai (DAS) sebelum masuk ke sungai, "dicegat", lalu dibuat pintu air untuk masuknya air ke dalam waduk kecil, selanjutnya dibuat pintu air lainnya untuk mengalirkan air turun ke bawah mengikuti kembali jaringan hidrologi yang menuju ke sungai utama.

Waduk kedua dibuat di bawah waduk pertama. "Kami hanya mendesain waduk dan memberikan petunjuk teknis, selanjutnya mereka yang mengerjakan, demikian pula untuk tanaman padi dan pemeliharaan tanamannya kami serahkan kepada petani setempat," kata Gatot yang beristrikan Dra Sri Dwi Hartati MM (39), Kepala SMUN IV Bogor dan dikaruniai tiga anak (dua lekaki dan satu perempuan).

***

WADUK kecil yang diterapkan di Desa Bunder saat ini diharapkan di masa depan akan mendatangkan perubahan ekonomi petani setempat. Melalui sentuhan teknologi sederhana dengan biaya yang relatif murah itu, diharapkan akan mampu meningkatkan kesejahteraan warga desa setempat karena pendapatan dari usaha taninya meningkat.

Gatot Irianto alumnus Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta yang kini menjadi dosen Analisis Sistem Hidrologi pada Program Pascasarjana IPB ini menyebutkan, waduk kecil itu sangat ideal untuk dikembangkan untuk usaha tani pada lahan kering seperti di daerah Gunung Kidul, Cianjur Selatan, Sukabumi Selatan, dan daerah-daerah yang mempunyai potensi lahan kering lainnya.

Diperkirakan, di Indonesia saat ini terdapat sekitar 40 juta hektar lahan kering. "Bila 10 persen saja dari itu bisa digarap, maka sekitar empat juta lahan kering dapat ditanami padi. Dan bila sekurang-kurangnya satu tahun sekali dapat dipanen dengan hasil serendah-rendahnya tiga ton per hektar maka akan diperoleh 12 juta ton, kan, luar bisa hasilnya. Bisa jadi tak perlu impor beras lagi," kata Gatot.

Waduk kecil itu bukan hanya dapat diterapkan untuk mengairi lahan pertanian saja, tetapi juga dapat digunakan untuk mengatasi banjir yang terjadi saat ini. "Sangat bermanfaat bila dibuat di daerah Puncak, Bogor, jadi tak perlu membuat situ yang cukup besar," kata Gatot lagi. Ia menambahkan, waduk kecil ini bila dibuat dengan jumlah yang banyak dari hulu di kawasan Puncak sampai ke Jakarta akan berfungsi menahan kecepatan aliran air yang turun dan mengurangi volume air yang mengalir ke hilir. "Kalau ditahan cukup banyak, maka aliran air itu akan turun perlahan-lahan karena kecepatan aliran permukaan itu tertahan," kata Gatot

Gatot yang memilih bidang keahlian hidrologi ini menyebutkan, perbaikan sistem DAS selama ini lebih ditekankan pada peningkatan jumlah dan kualitas vegetasi penutup tanah. Pengalaman menunjukkan bahwa selain memerlukan biaya besar, waktu lama, sering kali sulit mengukur dampaknya, karena persentase tanaman yang mati akibat kekeringan sangat besar dan laju penebangan lebih tinggi dibandingkan penanamannya.

Panen hujan dan aliran permukaan dengan menampung sebagian besar air hujan dan aliran permukaan pada jaringan hidrologi di seluruh permukaan DAS merupakan pilihan yang lebih baik, karena volume air yang ditampung lebih besar dibandingkan yang diintersepsi vegetasi sehingga dampaknya lebih cepat dirasakan.

Lebih jauh lagi, katanya, teknologi ini dapat menyediakan air secara merata di seluruh permukaan DAS, sehingga dapat menambah cadangan air DAS di musim kemarau. Dengan demikian, selain dapat menurunkan banjir (debit maksimum) dan memperpanjang waktu respons DAS (selang antara hujan maksimum dan debit maksimum), juga dapat menambah cadangan air pada musim kemarau lebih banyak sehingga dapat bersinergi dengan upaya reboisasi dan penghijauan di kawasan hutan.

Di lahan pertanian, hasil panen hujan dan aliran permukaan dapat digunakan sebagai air irigasi tambahan pada musim kemarau untuk budidaya komoditas bernilai ekonomi tinggi (sayuran dan buah-buahan). Pada daerah perkotaan yang terletak di pantai, upaya panen hujan dan aliran permukaan sangat bermanfaat untuk menahan instrusi air laut, sekaligus mendorong berkembangnya perikanan seperti di wilayah sekitar Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng.

Bersamaan dengan panen hujan dan aliran permukaan pada jaringan hidrologi, menurut Gatot, dapat dilakukan pengecekan apakah terjadi penyempitan saluran air/jaringan hidrologi akibat pembangunan permukiman atau tidak.

Gatot menambahkan, perkerjaan tersebut sebaiknya dilakukan oleh masyarakat setempat dengan dibantu pemerintah agar bangunan di bantaran sungai dapat diselesaikan di tingkat komunitas sendiri. Sumber pendanaan awal dapat diambil dari sebagian kecil alokasi dana subsidi BBM serta peran serta masyarakat.

Dengan demikian, menurut Gatot, aplikasi teknologi panen hujan dan aliran permukaan sangat bermanfaat dalam meningkatkan produktivitas lahan sesuai lokasi dan fungsinya. "Sebenarnya konsep ini sudah saya perkenalkan sejak lima tahun lalu, namun tingkat adopsi di tingkat pengambil kebijakan masih terbatas, sebaliknya adopsi petani jauh lebih menggembirakan," kata Gatot (FX Puniman) Dipublikasikan di Harian Umum Kompas pada hari Rabu, 13 Februari 2002.

Kamis, 15 November 2007

AIR, KRISIS ENERGI, PEMBAKARAN HUTAN DAN JASA LINGKUNGAN

Krisis energi akibat melonjaknya harga BBM dan “pembakaran hutan (karena disengaja)” yang melepas energi bebas ke atmosfer (free energy release to the atmosfer) merupakan dua masalah nasional yang intensitas, frekuensi dan durasinya diprakirakan masih terus meningkat. Masalah pertama memukul telak sendi perekonomian nasional terutama industri yang berbasis energi dan masyarakat miskin dalam bentuk penurunan daya beli akibat meningkatnya biaya hidup dan harga kebutuhan pokok yang tidak diimbangi peningkatan penghasilan. Padahal, biomasa dalam pembakaran hutan sesungguhnya merupakan sumber energi potensial terbarukan (potential renewable energy) yang mudah didapat, murah sebagai substitusi sumber energi fosil yang harganya melonjak. Sayangnya, masalah krisis energi dan pembakaran hutan masih digarap secara sectoral fragmented, sehingga tidak pernah menyelesaikan masalah fundamentalnya. Indikatornya, krisis energi jalan terus demikian juga masalah asap akibat pembakaran hutan meluas mengganggu di dalam dan luar negeri. Mengapa para pakar energi belum mendayagunakan biomasa pada pembakaran hutan sebagai sumber produksi energi dalam pemecahan masalah krisis energi dan pembakaran hutan dan lahan secara simultan dan menyeluruh? Padahal Indonesia mempunyai banyak teknologi dan pengalaman untuk itu, misalnya tungku arang almarhum Prof Herman Yohanes. Kerjasama lintas sektor non konvensional antara Depertemen Energi dan Sumberdaya Mineral, Departemen Kehutanan dan Departemen Pertanian seharusnya segera dikembangkan. Sudah sepantasnya keunggulan energi matahari dan air dalam produksi biomasa dimanfaatkan sebagai sumber substitusi energi. Krisis energi dan masalah pembakaran hutan diprakirakan masih meningkat karena harga minyak mentah kecenderungannya naik, demikian juga puncak musim kemarau diprakirakan terjadi pada akhir September.

Pilihan kedua dalam penyelesaian krisis energi dan masalah pembakaran hutan adalah: penyediaan air yang memadai menurut ruang (spatial) dan waktu (temporal). Melalui pengembangan panen hujan dan aliran permukaan (rainfall and water harvesting), maka produksi energi hydropower, serat, biomasa dan bahan pangan dapat dioptimalkan. Tersedianya air di wilayah endemik pembakaran hutan seperti di Riau, Jambi, Palembang, Kalimantan Barat, Tengah dan Selatan pada musim kemarau memungkinkan kecepatan perambatan api (fire propagation) dapat direduksi pemadaman lebih mudah dilakukan, karena sumber airnya tersedia. Pertanyaannya: mengapa pemerintah tidak mengangkat program rainfall and water harvesting melalui pengembangan channel reservoir menjadi program dan gerakan nasional untuk menyelesaikan masalah krisis energi dan pembakaran hutan dan lebih memilih penyelesaian yang bersifat ad hock, temporary? Pemetaan lokasi, dan dimensi channel reservoir dapat dilakukan dengan menggunakan citra satelit sesuai dengan keperluan dan kondisi wilayahnya. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Badan Litbang Pertanian dan Pusat Data Inderaja, LAPAN berpengalaman dalam pemanfaatan citra untuk keperluan tersebut. Ada tiga pertimbangan mengapa air dipilih sebagai terobosan dalam penyediaan krisis energi dan pembakaran hutan: (1) produk energinya sangat diversified, renewable, sustainable dan biayanya murah (2) dapat mengatur suhu dan kelembaban sehingga kenyamanan lingkungan (environment conformability) meningkat dan lahan serta hutannya tidak mudah terbakar (3) tingkat pastisipasi seluruh lapisan masyarakat sangat tinggi, karena air dibutuhkan semua makhluk hidup kapan dan di manapun berada.

Keunggulan komparatif dan kompetif lain pengembangan energi berbasis sumberdaya air dibandingkan energi fosil lainnya adalah terbentuknya mekanisme pelayanan jasa lingkungan (environmental services) yang sudah banyak digarap negara maju dan belum banyak digarap di Indonesia. Pasokan air untuk turbin listrik yang dihasilkan hutan yang dikelola masyarakat bagian hulu (up stream) dapat dibayarkan jasa lingkungannya oleh PLN yang memproduksi listrik, sehingga masyarakat miskin dan marginal memperoleh manfaat ekonomi, lingkungan dan sosial secara simultan. Dampak positifnya, masyarakat akan menjaga kelestarian hutan untuk kebutuhan ekonomi dan energinya serta menjadi lebih aware dalam pengelolaannya. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, peningkatan ketersediaan air menurut ruang dan waktu juga dapat meningkatkan jenis, kualitas, produktivitas komoditas yang diusahakan. Ringkasnya, masyarakat dapat menggunakan air yang tersedia tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonominya saja tetapi juga untuk mengelola kehidupan sosial maupun politiknya. Itulah sebabnya wilayah yang airnya melimpah sepanjang tahun, masyarakatnya lebih damai dan sejahtera. Sayangnya pelajaran penting ini belum diadopsi pemerintah dan para politisi dalam mengelola kehidupan politik nasional terutama dalam pelaksanaan pilkada. Tingginya intensitas, frekuensi dan durasi konflik baik pra, saat maupun pasca Pilkada diprakirakan terjadi akibat pemilihan waktu (timing) pelaksanaan yang kurang tepat yaitu musim kemarau. Periode tersebut umumnya terjadi: paceklik, suhu dan kelembabannya tinggi sehingga kenyamanan lingkungan marginal dan masyarakat lebih sensitif terhadap provokasi. Masalahnya akan jauh berbeda apabila Pilkada dilakukan pada musim hujan, suhunya dingin, panennya bagus, sehingga masyarakat lebih tenang dan jernih melaksanakan hak dan kewajiban konstitusinya. == Dibuat pada 22 Oktober 2005, pukul 19:06:20 ==

Benarkah Tahun 2002 Akan Terjadi El Nino dengan Intensitas Lemah?

Memasuki musim kemarau tahun 2002, para pengambil kebijakan di sektor pertanian, Bulog, permukiman dan prasarana wilayah, lingkungan hidup, kehutanan, dan sektor terkait lainnya selalu dihadapkan dengan persoalan klasik tentang bagaimana karakteristik musim kering yang akan terjadi pada tahun ini?

Detail pertanyaan itu antara lain meliputi:

  1. Bagaimana perkembangan indikator anomali iklim lebih lanjut dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya El Nino dengan intensitas lemah seperti yang disampaikan Badan Meteorologi dan Geofisika pada saat jumpa pers awal musim kemarau bulan Februari 2002.
  2. Adakah pergeseran musim hujan dan kemarau dibandingkan kondisi normalnya, kapan dan kemungkinan berapa lama musim kemarau akan terjadi pada tahun ini?
  3. Berapa penyimpangan curah hujan musim kemarau dibandingkan rata-ratanya? Kepastian ini penting bagi pengambil kebijakan dan petani sebelum menentukan pola dan masa tanam serta teknologi antisipasinya.

Selanjutnya, bagaimana dampaknya bagi keberhasilan pencapaian program sektor pertanian? Pertanyaan ini semakin mengemuka, karena berdasarkan hasil prakiraan musim, awal kemarau semestinya terjadi bulan pada April. Sementara itu, faktanya curah hujan di sebagian wilayah di Jawa masih relatih tinggi.

Indikator Anomali iklim

Ada tiga indikator utama yang dapat digunakan sebagai petunjuk tentang kemungkinan terjadinya El Nino sekaligus prediksi tingkat kekeringan yang mungkin terjadi yaitu:

  1. anomali suhu muka laut (sea surface temperature/SST) di Nino 3.4.
  2. indeks osilasi selatan (Southern Oscillation Index).
  3. angin pasat (trade wind).

Perkembangan ketiga indikator sampai dengan 3 April 2002 berturut-turut disajikan pada Gambar 1, 2, 3, dan 4.

Berdasarkan Gambar 1, 2, dan 3, terlihat bahwa sampai saat ini indikator anomali suhu muka laut masih di bawah 0,20C. Sementara menurut kriteria sementara Tim Pokja antisipasi anomali iklim, El Nino dengan intensitas lemah mulai terjadi apabila anomali suhunya lebih besar 0,5-1,50C selama enam bulan berturut-turut, dengan indeks osilasi selatan antara -10 sampai dengan -20 dengan kecenderungan negatif (rapid falling), dengan sebagian arah angin pasat berbalik ke arah Equador, sehingga di kawasan Indonesia tidak menerima curah hujan. Resume dari ketiga indikator kemungkinan terjadinya anomali iklim disajikan pada Tabel 1.

Berdasarkan hasil perbandingan antara indikator terjadinya El Nino dengan kondisi saat ini dapat disimpulkan bahwa tanda-tanda peluang terjadinya El Nino tahun 2002 dengan intensitas lemah sekalipun belum ada. Kesimpulan sementara tentang belum adanya tanda-tanda El Nino ini sejalan dengan fakta masih tingginya curah hujan di beberapa wilayah di Indonesia. Bahkan, Jakarta sendiri baru-baru ini juga menerima hujan yang cukup tinggi, sehingga sempat tergenang beberapa saat. Kalau demikian halnya, apakah relevan Bulog meminta untuk mengimpor beras secara berlebihan? Bagaimana pula dengan permintaan daerah untuk mendanai rehabilitasi saluran, mengantisipasi kekeringan secara berlebihan sementara tanda-tanda El Nino belum muncul. Kalaupun peluang terjadinya El Nino lemah sangat kecil, bagaimana dengan kemungkinan terjadinya pergeseran musim hujan dan kemarau serta dampaknya terhadap curah hujan?

Pergeseran Musim dan Perubahan Karakteristik Curah hujan.

Pemerintah dan masyarakat perlu mengetahui secara kuantitatif pergeseran musim sebagai dampak anomali iklim El Nino, sehingga kalaupun terjadi El Nino, kita sudah dapat menyiapkan teknologi antisipasinya. Berdasarkan hasil analisis data curah hujan di beberapa sentra produksi pangan, maka dampak anomali iklim El Nino pada tiga macam kondisi yaitu El Nino kuat (tahun 1997), sedang (tahun 1994) dan lemah (tahun 1991) terhadap pergeseran musim hujan dan kemarau dan perubahan karakteristik curah hujan umumnya berbeda (Tabel 2).

Terlihat dari Tabel 2 bahwa musim kemarau berpeluang mengalami percepatan sampai dengan empat dasarian, demikian juga awal musim hujannya juga dapat mundur sampai dengan empat dasarian. Artinya, musim kemarau menjadi lebih lama sekitar 80 hari dibandingkan kondisi normalnya. Dengan kata lain, periode musim hujan akan mengalami pengurangan yang sama. Sedangkan penurunan curah hujan maksimum yang pernah terjadi mencapai 21 milimeter selama 21 dasarian (210 hari). Pergeseran musim dan penurunan curah hujan musim kemarau ini perlu diantisipasi agar risiko pertanian yang mungkin terjadi dapat diminimalkan dampaknya.

Mengingat dampak anomali iklim El Nino terhadap sektor pertanian sangat luas dan kompleks, maka diperlukan upaya yang sistematis dan terencana untuk antisipasinya. Ada tiga pendekatan antisipasi kekeringan yang dapat dilakukan yaitu (1) pendekatan strategis (2) pendekatan taktis, dan (3) pendekatan operasional. Pendekatan strategis dapat dilakukan melalui identifikasi wilayah rawan kekeringan dan dampaknya terhadap pergeseran musim serta curah hujan.

Pendekatan taktis dapat diimplementasikan melalui peningkatan kemampuan prakiraan iklim utamanya curah hujan. Sedangkan pendekatan operasional dapat dilakukan melalui pengembangan panen hujan dan aliran permukaan. Implementasinya dapat diwujudkan melalui pemanfaatan bekas galian C, alur sungai, cekungan alami untuk menampung air hujan dan aliran permukaan untuk kemudian dimanfaatkan pada musim kemarau. Untuk mendukung keberhasilan usaha tersebut, maka perlu ditopang sistem budidaya pertanian yang antisipatif terhadap kekeringan, sehingga penanggulangan kekeringan tidak bersifat sementara (ad hoc) melainkan melekat (built in) dengan sistem budidaya.

== Tulisan ini dimuat pada Harian Kompas tanggal 12 Mei 2002 ==

Bogor dan Jakarta "Ribut" soal Peraturan Daerah Penyangga

Kabupaten Bogor yang memiliki wilayah strategis Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur) sebagai hinterland (daerah penyanga) bagi DKI Jakarta sebetulnya tidak memiliki Peraturan Daerah (Perda) Penyangga. Ancaman terjadinya kembali banjir bandang di Jakarta dan sekitarnya, seperti terjadi pada Januari-Februari 2002, seharusnya menjadi pelajaran penting bagi semua pihak untuk melakukan perencanaan secara komprehensif, bukan hanya tanggung jawab daerah penyangga.

Hal itu dikemukakan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bogor Yuyun Muslihat kepada wartawan, Senin (23/12) siang. Yuyun dimintai tanggapannya tentang pernyataan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, yang dilansir sejumlah media massa, yang menuding Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor telah mencabut Perda Penyangga.

Sejauh ini, sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 48 Tahun 1983 tentang penataan ruang kawasan Bopunjur, Pemkab Bogor sebetulnya tidak mempunyai Perda Kawasan Penyangga. "Kami hanya memiliki Perda Tata Ruang karena kawasan Bogor kerap dipandang sebagai daerah resapan air. Namun, terhadap Perda ini pun, Pemkab Bogor tidak pernah merencanakan pencabutannya," ujar Yuyun.

Pemkab Bogor, yang memiliki 122 situ sebagai tempat penampung air yang mengalir dari hulu sungai, memiliki tugas untuk memelihara situ-situ tersebut sebaik-baiknya. Selain itu, meski tidak memperoleh kontribusi dari daerah-daerah hilir seperti Jakarta, Pemkab Bogor pun telah berusaha menjadi daerah penyangga.

Caranya, pertama adalah membangun 3.000-5.000 sumur resapan di daerah Megamendung dan Cisarua. Proyek yang berlangsung sejak tahun 1999 tersebut menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kedua, program rehabilitasi lahan kritis di sepanjang aliran Sungai Ciliwung maupun Cisadane.

Selama ini, Rancangan Perda Provinsi Jawa Barat tentang Kawasan Lindung masih terus digodok. Sedangkan, Pemkab Bogor hanya berpegang pada Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang dan Keppres Nomor 114 Tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bopunjur. Di dalam UU tersebut disebutkan, kawasan penyangga itu meliputi kawasan lindung maupun budidaya.

Kepala Bidang Sarana Prasarana Badan Perencana Daerah (Bapeda) Kabupaten Bogor Gunawan menjelaskan, dulunya kawasan budidaya, produksi, dan konservasi juga merupakan bagian dari kawasan penyangga. Hutan produksi pun, dengan nomenklaturnya, merupakan bagian dari kawasan tersebut. Jadi, perda yang secara khusus memaparkan daerah penyangga tidak pernah ada dan tidak pernah dibuat oleh Pemkab Bogor.

Hulu dan hilir

Sementara itu, ahli hidrologi Institut Pertanian Bogor (IPB) Gatot Irianto PhD mengatakan, perubahan fungsi kawasan penyangga menjadi kawasan pengembangan akan sangat berdampak mengerikan bagi daerah-daerah hilir, seperti Jakarta.

Gatot menjelaskan, peralihan fungsi lahan pertanian ke lahan bukan pertanian akan meningkatkan percepatan dan koefisien aliran permukaan air dan menurunkan laju infiltrasi, sehingga sebagian besar air hujan ditransfer secara langsung, tanpa mampu diserap lagi oleh tanah dan tumbuh-tumbuhan.

Konsekuensinya, papar Gatot, pertama adalah kemampuan penyerapan air berkurang akibat laju infiltrasi tanah sehingga air hujan akan lebih banyak dan cepat menuju ke bagian hilir sungai. Secara ilmiah, ketika debit puncak semakin tinggi dengan waktu respons semakin singkat, maka tak ayal lagi akan terjadilah aliran air yang begitu besar, alias banjir.

Kedua, sistem recharging (penyimpanan) air tanah sangat rendah sehingga pasokan air di musim kemarau akan merosot. Akibatnya, risiko bahaya kekeringan akan semakin tinggi. "Lihat saja, daerah-daerah di kawasan hulu yang sebelumnya tidak pernah dilanda kekeringan, seperti Desa Kuta, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, belakangan ini justru mengalami kekeringan yang begitu hebat," ujar Gatot

"Gubernur Sutiyoso sebaiknya jangan hanya mengusulkan pembuatan situ raksasa di daerah-daerah penyangga tanpa memberikan kontribusi sedikit pun. Situ raksasa yang diharapkan dapat menampung sejumlah air dari kawasan hulu tentu juga sangat bermanfaat bagi kawasan daerah hilir sungai, seperti Jakarta. Jadi, bantuan finansial pembangunan sebagai sharing keuangan juga sangat dibutuhkan, khususnya oleh Pemerintah Kabupaten Bogor," katanya.

== Tulisan ini dimuat pada Harian Kompas tanggal 24 Desember 2002 ==