Minggu, 10 Agustus 2014

MALAPETAKA BANJIR

Belum pulih sawah dan permukiman yang rusak diterjang banjir Bengawan Solo pada awal 2008 masyarakat sudah dikejutkan oleh banjir bandang yang melanda Pasuruan dan Bondowoso. Banjir kali ini menerjang permukiman, persawahan, serta memutus arus transportasi dan urat nadi ekonomi. Bahkan menelan korban jiwa.
Jakarta juga tidak luput dari amukan Sungai Ciliwung, Cisadane, dan kali Pesanggrahan, sehingga transportasi dari dan ke Bandara Soekarno-Hatta lumpuh total dua hari. Pertanyaannya, mengapa malapetaka banjir terjadi di mana-mana dan terus meningkat baik intensitas, frekuensi, durasi, lokasi dan korbannya.
Penyelesaian menyeluruh masalah banjir mutlak diperlukan, tetapi sebelum itu diformulasikan, terlebih dulu semua pihak perlu menyepakati faktor penyebab banjir. Selama ini banyak pihak selalu condong dan berlindung bahwa hujan merupakan faktor determinan penyebab banjir, bukan manusia.
Sikap kurang bertanggung jawab ini harus secepatnya dihentikan agar kerugian dan korban akibat banjir tidak terus berjatuhan. Selama tidak ada kesadaran, penyadaran, serta pengakuan semua pihak bahwa penyebab utama banjir, belakangan ini, adalah manusia selama itu pula penyelesaian banjir tidak akan pernah memberikan hasil yang maksimal.
Secara matematis, banjir terjadi akibat asupan curah hujan yang tidak dapat ditampung oleh sistem daerah aliran sungai (DAS) dan dialirkan menuju laut (outlet). Berdasarkan pemahaman atas definisi tersebut maka hampir semua DAS di Pulau Jawa sangat sensitif terhadap asupan hujan. Yang menyedihkan lagi, tingkat sensitivitas itu terus meningkat, sehingga jangankan hujan deras dalam waktu lama, hujan dengan intensitas sedang dalam waktu dua jam saja langsung terjadi banjir.
Meningkatnya sensitivitas DAS terhadap asupan hujan ini akibat menurunnya luas lahan bervegetasi penyerap air secara signifikan. Alih fungsi lahan: sawah, hutan, pembangunan di bantaran sungai, menutup secara permanen daerah resapan air yang tidak terkendali merupakan pangkal utamanya. Ironisnya, prestasi utama gubernur, bupati dan wali kota yang dominan saat ini adalah membangun mal, apartemen, pusat perbelanjaan, hotel, ruko, dan restoran sekalipun harus menabrak aturan tata ruang.
Pada awalnya pelanggaran tata ruang sekalipun terlihat, namun belum terasa dampaknya. Tetapi, akumulasi pelanggaran yang melebihi daya sangga DAS itu kini terlihat dan dirasakan langsung oleh semua orang dengan munculnya banjir bandang. Data kuantitatif rasio debit maksimum terhadap debit minimum juga mencerminkan memburuknya kualitas DAS di Jawa. Terjadinya pergeseran kualitas DAS dari kritis menjadi beresiko tinggi pada sungai utama di Pulau Jawa menunjukkan bahwa proses penghancuran lingkungan terus berlangsung. Investasi dalam berbagai bentuk, mulai penghutanan kembali, penghijauan, serta konservasi tanah dan air terbukti tidak berdaya menahan laju degradasi yang besarannya diprakirakan dua kali lipat dari kemampuan pemulihannya. Tidak ada lagi argumen untuk berkelit bahwa banjir merupakan fenomena alam, karena faktanya tidak ada satu DAS yang kualitasnya membaik.Sebaliknya hampir semua DAS kualitasnya cenderung menurun.

Aksi Nyata Terukur
Diperlukan tiga aksi nyata terukur yang transparan untuk menyelesaikan masalah banjir secara tuntas. Pertama, menurunkan volume air limpasan dan kecepatannya. Kedua, menumbuhkan tanaman berakar dalam di zona prioritas. Ketiga, mengedukasi pengambil kebijakan dan masyarakat akan perlunya penyelesaian masalah banjir.
Hasil penelitian beberapa kejadian banjir menunjukkan bahwa banjir terjadi apabila lebih dari 60 persen curah hujan tidak dapat disimpan oleh DAS dengan kecepatan aliran permukaan lebih dari 1.2 meter/detik. Untuk menurunkan besaran banjir kecepatan aliran permukaan secara bertahap harus diturunkan menjadi kurang dari 0.7 meter/detik agar cukup waktu bagi tanah dan vegetasi untuk menyerap air hujan. Apabila kecepatan limpasan dapat diturunkan menjadi kurang dari 0.1 meter/detik maka air hujan akan menjadi aliran bawah permukaan. Bahkan jika dapat diturunkan lagi menjadi kurang dari 0.01 meter/detik dapat menjadi penyumbang terbentuknya mata air tanah.
Untuk menurunkan kecepatan aliran permukaan dan volume limpasan harus dilakukan pemanenan aliran permukaan (run off harvesting) baik secara sipil teknis maupun vegetatif. Supaya penurunan kecepatan aliran permukaan dan pemanen aliran permukaan efektif, maka lahan di zona prioritas harus bervegetasi, sehingga penanaman di zona ini menjadi agenda utama.
Aksi penanaman 10 juta pohon dalam rangka mendukung mitigasi dan adaptasi pemanasan global akan lebih optimal kontribusinya terhadap perubahan iklim serta penanggulangan banjir apabila dilakukan di zona prioritas. Wilayah dengan kerapatan alur aliran air paling tinggi merupakan penciri utama zona prioritas. DAS yang baik biasanya zona prioritasnya merupakan hutan lindung yang tidak boleh dijamah. Informasi perubahan kecepatan aliran permukaan, pemanen aliran permukaan secara vegetatif dan sipil teknis, serta implikasinya terhadap banjir harus diedukasikan kepada masyarakat dan para pengambil kebijakan agar dapat diimplementasikan secara bertahap di lapangan.
Satu Tujuan
Harus ada komitmen dan tanggung jawab Pemerintah dan masyarakat bahwa masalah banjir harus diselesaikan secepatnya. Kalau tidak, dipastikan Indonesia akan semakin ketinggalan dari negara lain, yang kini melaju dengan kecepatan maksimalnya. Pemerintah bersama legislatif, yudikatif dan masyarakat harus menjadikan penyelesaian banjir sebagai top priority dalam pembangunan. Artinya penyelesaian banjir harus diposisikan tertinggi prioritasnya, karena apapun yang diperbuat, kalau banjir terus mendera, maka energi, dan pikiran akan terkuras habis untuk menyelesaikan banjir.
Penyelesaian banjir harus menggunakan hati, karena tanpa hati yang tulus, maka pekerjaan itu hanya menjadi proyek siang-malam yang menyedot energi, dan waktu, tetapi tidak ada bekas dan manfaatnya.Semua pihak harus berkontribusi secara nyata dan terukur dalam menyelesaikan masalah banjir.
Hasil pemantauan banjir di beberapa DAS menunjukkan bahwa pemangku kepentingan bergerak dengan arah yang berbeda, bahkan seringkali bertentangan satu dengan yang lain. Ada yang menanam, tetapi banyak yang menebang. Ironisnya yang ditanam jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang ditebang. Itulah sebabnya malapetaka banjir sampai kapanpun tidak akan pernah dapat diselesaikan, apalagi jika penebangan hutan dibekingi oknum aparat penegak hukum yang seharusnya mencegah terjadinya penebangan.

Akhirnya, harus dijatuhkan sanksi tegas terhadap pelanggaran tata ruang, siapapun pelakunya. Pemerintah provinsi, kabupaten/kota harus memberikan akses yang proporsional bagi masyarakat tentang rencana tata ruang kabupaten/kota sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang agar masyarakat dapat membantu mengawasi apabila terjadi pelanggaran. Kalau semuanya itu dilaksanakan maka cepat dan pasti malapetaka banjir dapat diminimalkan. Sebaliknya, jika itu tidak dilakukan, maka kita tinggal menunggu secara bergiliran tenggelam ditelan banjir.

(di muat di Suara Pembaharuan, 12 Februari 2008)

Tidak ada komentar: