Belum pulih sawah dan permukiman yang rusak diterjang
banjir Bengawan Solo pada awal 2008 masyarakat sudah dikejutkan oleh banjir
bandang yang melanda Pasuruan dan Bondowoso. Banjir kali ini menerjang
permukiman, persawahan, serta memutus arus transportasi dan urat nadi
ekonomi. Bahkan menelan korban jiwa.
Jakarta juga tidak luput dari amukan Sungai Ciliwung,
Cisadane, dan kali Pesanggrahan, sehingga transportasi dari dan ke Bandara
Soekarno-Hatta lumpuh total dua hari. Pertanyaannya, mengapa malapetaka banjir
terjadi di mana-mana dan terus meningkat baik intensitas, frekuensi, durasi,
lokasi dan korbannya.
Penyelesaian menyeluruh masalah banjir mutlak
diperlukan, tetapi sebelum itu diformulasikan, terlebih dulu semua pihak perlu
menyepakati faktor penyebab banjir. Selama ini banyak pihak selalu condong dan
berlindung bahwa hujan merupakan faktor determinan penyebab banjir, bukan manusia.
Sikap kurang bertanggung jawab ini harus secepatnya dihentikan agar kerugian dan korban akibat banjir tidak terus berjatuhan. Selama tidak ada kesadaran, penyadaran, serta pengakuan semua pihak bahwa penyebab utama banjir, belakangan ini, adalah manusia selama itu pula penyelesaian banjir tidak akan pernah memberikan hasil yang maksimal.
Sikap kurang bertanggung jawab ini harus secepatnya dihentikan agar kerugian dan korban akibat banjir tidak terus berjatuhan. Selama tidak ada kesadaran, penyadaran, serta pengakuan semua pihak bahwa penyebab utama banjir, belakangan ini, adalah manusia selama itu pula penyelesaian banjir tidak akan pernah memberikan hasil yang maksimal.
Secara matematis, banjir terjadi akibat asupan curah
hujan yang tidak dapat ditampung oleh sistem daerah aliran sungai (DAS) dan
dialirkan menuju laut (outlet). Berdasarkan
pemahaman atas definisi tersebut maka hampir semua DAS di Pulau Jawa sangat
sensitif terhadap asupan hujan. Yang menyedihkan lagi, tingkat sensitivitas itu
terus meningkat, sehingga jangankan hujan deras dalam waktu lama, hujan dengan
intensitas sedang dalam waktu dua jam saja langsung terjadi banjir.
Meningkatnya sensitivitas DAS terhadap asupan hujan ini
akibat menurunnya luas lahan bervegetasi penyerap air secara signifikan. Alih
fungsi lahan: sawah, hutan, pembangunan di bantaran sungai, menutup secara
permanen daerah resapan air yang tidak terkendali merupakan pangkal utamanya.
Ironisnya, prestasi utama gubernur, bupati dan wali kota yang dominan saat ini
adalah membangun mal, apartemen, pusat perbelanjaan, hotel, ruko, dan restoran
sekalipun harus menabrak aturan tata ruang.
Pada awalnya pelanggaran tata ruang sekalipun terlihat,
namun belum terasa dampaknya. Tetapi, akumulasi pelanggaran yang melebihi daya
sangga DAS itu kini terlihat dan dirasakan langsung oleh semua orang dengan
munculnya banjir bandang. Data kuantitatif rasio debit maksimum terhadap debit
minimum juga mencerminkan memburuknya kualitas DAS di Jawa. Terjadinya
pergeseran kualitas DAS dari kritis menjadi beresiko tinggi pada sungai utama
di Pulau Jawa menunjukkan bahwa proses penghancuran lingkungan terus
berlangsung. Investasi dalam berbagai bentuk, mulai penghutanan kembali,
penghijauan, serta konservasi tanah dan air terbukti tidak berdaya menahan laju
degradasi yang besarannya diprakirakan dua kali lipat dari kemampuan
pemulihannya. Tidak ada lagi argumen untuk berkelit bahwa banjir merupakan
fenomena alam, karena faktanya tidak ada satu DAS yang kualitasnya
membaik.Sebaliknya hampir semua DAS kualitasnya cenderung menurun.
Aksi Nyata Terukur
Diperlukan tiga aksi nyata terukur yang transparan untuk
menyelesaikan masalah banjir secara tuntas. Pertama, menurunkan volume air
limpasan dan kecepatannya. Kedua, menumbuhkan tanaman berakar dalam di zona
prioritas. Ketiga, mengedukasi pengambil kebijakan dan masyarakat akan perlunya
penyelesaian masalah banjir.
Hasil penelitian beberapa kejadian banjir menunjukkan
bahwa banjir terjadi apabila lebih dari 60 persen curah hujan tidak dapat
disimpan oleh DAS dengan kecepatan aliran permukaan lebih dari 1.2 meter/detik.
Untuk menurunkan besaran banjir kecepatan aliran permukaan secara bertahap
harus diturunkan menjadi kurang dari 0.7 meter/detik agar cukup waktu bagi
tanah dan vegetasi untuk menyerap air hujan. Apabila kecepatan limpasan dapat
diturunkan menjadi kurang dari 0.1 meter/detik maka air hujan akan menjadi
aliran bawah permukaan. Bahkan jika dapat diturunkan lagi menjadi kurang dari
0.01 meter/detik dapat menjadi penyumbang terbentuknya mata air tanah.
Untuk menurunkan kecepatan aliran permukaan dan volume
limpasan harus dilakukan pemanenan aliran permukaan (run off harvesting) baik secara sipil teknis maupun
vegetatif. Supaya penurunan kecepatan aliran permukaan dan pemanen aliran
permukaan efektif, maka lahan di zona prioritas harus bervegetasi, sehingga
penanaman di zona ini menjadi agenda utama.
Aksi penanaman 10 juta pohon dalam rangka mendukung
mitigasi dan adaptasi pemanasan global akan lebih optimal kontribusinya
terhadap perubahan iklim serta penanggulangan banjir apabila dilakukan di zona
prioritas. Wilayah dengan kerapatan alur aliran air paling tinggi merupakan
penciri utama zona prioritas. DAS yang baik biasanya zona prioritasnya
merupakan hutan lindung yang tidak boleh dijamah. Informasi perubahan kecepatan
aliran permukaan, pemanen aliran permukaan secara vegetatif dan sipil teknis,
serta implikasinya terhadap banjir harus diedukasikan kepada masyarakat dan
para pengambil kebijakan agar dapat diimplementasikan secara bertahap di
lapangan.
Satu Tujuan
Harus ada komitmen dan tanggung jawab Pemerintah dan
masyarakat bahwa masalah banjir harus diselesaikan secepatnya. Kalau tidak,
dipastikan Indonesia akan semakin ketinggalan dari negara lain, yang kini
melaju dengan kecepatan maksimalnya. Pemerintah bersama legislatif, yudikatif
dan masyarakat harus menjadikan penyelesaian banjir sebagai top priority dalam
pembangunan. Artinya penyelesaian banjir harus diposisikan tertinggi
prioritasnya, karena apapun yang diperbuat, kalau banjir terus mendera, maka
energi, dan pikiran akan terkuras habis untuk menyelesaikan banjir.
Penyelesaian banjir harus menggunakan hati, karena tanpa
hati yang tulus, maka pekerjaan itu hanya menjadi proyek siang-malam yang
menyedot energi, dan waktu, tetapi tidak ada bekas dan manfaatnya.Semua pihak
harus berkontribusi secara nyata dan terukur dalam menyelesaikan masalah
banjir.
Hasil pemantauan banjir di beberapa DAS menunjukkan
bahwa pemangku kepentingan bergerak dengan arah yang berbeda, bahkan seringkali
bertentangan satu dengan yang lain. Ada yang menanam, tetapi banyak yang
menebang. Ironisnya yang ditanam jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang
ditebang. Itulah sebabnya malapetaka banjir sampai kapanpun tidak akan pernah
dapat diselesaikan, apalagi jika penebangan hutan dibekingi oknum aparat
penegak hukum yang seharusnya mencegah terjadinya penebangan.
Akhirnya, harus dijatuhkan sanksi tegas terhadap
pelanggaran tata ruang, siapapun pelakunya. Pemerintah provinsi, kabupaten/kota
harus memberikan akses yang proporsional bagi masyarakat tentang rencana tata
ruang kabupaten/kota sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Tata Ruang agar masyarakat dapat membantu mengawasi apabila terjadi
pelanggaran. Kalau semuanya itu dilaksanakan maka cepat dan pasti malapetaka
banjir dapat diminimalkan. Sebaliknya, jika itu tidak dilakukan, maka kita tinggal
menunggu secara bergiliran tenggelam ditelan banjir.
(di muat di Suara Pembaharuan, 12 Februari
2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar