Selasa, 27 November 2007

Orang Jakarta Tenggelamkan Jakarta

PERNYATAAN itu sepintas mungkin terlihat amat provokatif bila didengar oleh masyarakat. Namun, bila kita lihat kenyataan di lapangan, maka itulah kondisi yang sebenarnya terjadi. Salah satu indikatornya antara lain terlihat dari sebagian besar kegiatan pembangunan di Jakarta maupun wilayah hulu (Bogor) cenderung meningkatkan volume dan mempercepat akumulasi aliran permukaan (run off) di Jakarta. Pembangunan villa dan rumah mewah di kawasan Puncak, Jawa Barat, dengan menutup sebagian besar atau seluruh permukaan tanah dengan aspal adalah fakta yang banyak kita temukan. Demikian pula pengurukan alur-alur sungai di Jakarta untuk keperluan permukiman (pembangunan perumahan Pantai Indah Kapuk), pembangunan sarana transportasi jalan tol ke Bandara Soekarno-Hatta merupakan bukti, secara kolektif dan sadar kita sedang menenggelamkan Jakarta.

Sebagai salah satu kota terpadat di dunia sekaligus ibu kota negara, tentu masalah ini tidak boleh dianggap sederhana, karena bila masalah ini terus terjadi, maka bukan mustahil suatu saat ibu kota negara harus dipindahkan. Perpindahan kerajaan Demak Bintoro ke Pajang, Surakarta, akibat sering mengalami banjir dan genangan, merupakan ilustrasi yang baik tentang perlunya kita mengamankan Jakarta supaya tidak tenggelam akibat banjir dan genangan yang makin mengkhawatirkan. Berikut ini disajikan beberapa fenomena yang mendukung hipotesis bahwa Jakarta sedang menuju tenggelam.

Beberapa fenomena

Banjir dan genangan yang terjadi belakangan ini terus meningkat intensitas dan frekuensinya, sehingga sebagai daerah paling ujung, Jakarta akan menerima luapan air paling banyak. Hal ini diperburuk dengan adanya perubahan fenomena iklim global yang mengarah pada terjadinya hujan lebat dengan durasi lama. Dampaknya terlihat dari meningkatnya luas areal yang mengalami banjir atau genangan. Lebih mengkhawatirkan lagi, menurut catatan, tinggi air dan lama genangan terus meningkat. Daerah yang sebelumnya tidak pernah kebanjiran, kini harus menghadapi banjir yang amat mencemaskan. Peningkatan risiko dan bahaya genangan dan banjir ini akan menyebabkan kerugian lebih besar lagi, bila tidak ditangani lebih dini.

Penurunan permukaan tanah (subsidence) akibat ekploitasi air tanah Jakarta yang berlebihan, menyebabkan posisi Jakarta terhadap laut makin rendah. Kondisi ini diperburuk dengan kecenderungan meningkatnya muka air laut sampai hampir di sebagian besar kota-kota dunia akibat pemanasan global (global warming). Penurunan daratan di Ancol dan meningkatnya risiko terjadinya banjir dan genangan ini dapat dijadikan salah satu indikator tentang Jakarta sedang menuju tenggelam. Kejadian serupa juga dialami Kota Semarang, Jawa Tengah.

Peningkatan permukaan air laut dari tahun ke tahun menyebabkan lantai sebuah kantor pemerintah harus ditinggikan setiap tahun untuk meminimalkan terjadinya genangan. Sampai suatu saat, tahun 1995 lantai kantor itu tidak mungkin ditinggikan lagi, karena jarak lantai-plafon, tidak dapat digunakan untuk orang berdiri, sehingga kantor itu harus dipindah ke daerah yang lebih tinggi.

Siapa yang menenggelamkan Jakarta?

Orang Jakarta adalah penyebab utama tenggelamnya Kota Jakarta. Secara pribadi penulis amat tidak sependapat dengan tudingan selama ini bahwa masyarakat Bogor yang menenggelamkan Jakarta. Ada dua alasan penting yang dapat menjelaskannya: (1) Pembangunan rumah mewah yang cenderung tidak meloloskan air (impermeable) dan itu dilakukan orang berduit yang sebagian besar adalah orang Jakarta. (2) Peraturan perundangan dan penegakannya untuk mengamankan kawasan Bogor-Puncak-Cianjur dibuat dan dilanggar oleh sebagian besar orang yang berasal dari Jakarta. Sementara itu masyarakat di hulu, perambah hutan sekalipun, hanya menggunakan lahan itu untuk budidaya dan hanya sedikit saja yang digunakan untuk permukiman. Bahkan keberhasilan sosialisasi tentang peran hutan terhadap konservasi sumber daya air dan pencegahan banjir, mendorong masyarakat di beberapa kawasan hutan sudah menyadari sepenuhnya tentang perlunya mempertahankan hutan sebagai bagian dari sistem daerah aliran sungai (DAS).

Sebaliknya di Jakarta, akibat tuntutan bisnis yang kuat di satu pihak dan lemahnya penegakan hukum di lain pihak, menyebabkan banyak areal yang mestinya tidak layak bangun karena merupakan daerah bantaran banjir tetap didirikan areal permukiman. Demikian pula dengan penimbunan rawa yang sebenarnya dapat berfungsi sebagai penampung dan penyimpan air terus dilakukan, sehingga aliran air dari hulu ke hilir tertahan dan menyebabkan genangan. Penyempitan dan penyumbatan kanal dan sungai utama, juga merupakan pangkal penyebab genangan yang belakangan ini makin mengkawatirkan. Lalu pertanyaannya, bagaimana antsipasinya, agar masalah proses tengelamnya Jakarta ini dapat dicegah lebih dini?

Strategi antisipasi

Pengalaman menunjukkan, antisipasi banjir dan genangan yang dilakukan pemerintah saja, selama ini tidak cukup tanpa didukung peran masyarakat. Sebaliknya, masyarakat sendiri tidak mampu mengatasi persoalan banjir dan genangan. Diperlukan perencanaan yang utuh dan transparan dengan melibatkan tokoh masyarakat, LSM, perguruan tinggi, dan lembaga penelitian agar dapat diperoleh masukan yang komprehensip.

Berikut ini diusulkan beberapa strategi yang dapat ditempuh untuk mencegah tenggelamnya Jakarta: (1) transfer air antar-DAS; (2) reformasi pemilikan lahan (land reform) untuk pertanian di bagian hulu; (3) menata kembali pembangunan Jakarta. Transfer air antar-DAS (water transfer from basin to basin) ini untuk kasus Jakarta dapat dilakukan dari Ciliwung yang basah ke Cisadane (Tangerang) yang relatif kering. Selain dapat menurunkan debit maksimum (peak discharge) dan waktu puncak (time to peak discharge) di Jakarta, maka dapat memberi tambahan pasokan air di wilayah Tangerang yang lebih kering. Upaya ini akan amat bermanfaat karena akan dapat mendorong pengembangan pertanian di wilayah itu. Lebih jauh transformasi air dapat dilakukan antarwilayah, sehingga risiko kebanjiran di daerah basah dapat ditekan dan dampak kekeringan di wilayah kering dapat diminimalkan. Pulau Lombok merupakan contoh yang baik bagaimana transfer air antar-DAS dilakukan.

Reformasi pemilikan lahan pertanian amat berperan penting dalam meningkatkan produktivitas lahan bagian di hulu. Akumulasi pemilikan lahan kawasan hulu oleh masyarakat nonpetani akan mendorong sebagian besar lahan tidak dibudidayakan dan cenderung mengalihfungsikan lahan pertanian ke lahan nonbudidaya (permukiman, bangunan) dengan pertimbangan pemeliharaan yang lebih mudah. Pada kondisi itu, air kurang dihargai, karena di kawasan hulu umumnya tersedia sepanjang tahun. Sebaliknya, bila budidaya lahan untuk pertanian berhasil dilakukan, secara langsung akan meningkatkan apresiasi penggunaan air untuk budidaya.

Meski kawasan hulu sudah dikelola dengan baik, tanpa didukung pembangunan yang memadai di kawasan Jakarta, maka upaya itu akan kurang memuaskan. Perusakan alur sungai alamiah untuk keperluan apa pun, harus diakhiri. Bahkan, bila perlu dipikirkan normalisasi sungai utama di hilir agar tenggelamnya Jakarta dapat dihindari.

Dipublikasikan di Harian Umum Kompas. Kamis, 31 Januari 2002

Tidak ada komentar: