Selasa, 27 November 2007

Gatot Irianto, Bawa Waduk ke Gunung Kidul

TANAMAN padi varietas lokal, varietas unggul membramo dan IR 64 di sebuah lahan kering di Desa Bunder, Kecamatan Patok, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta, tampak tumbuh subur dan buah padinya bernas. Pertengahan atau selambat-lambatnya akhir bulan ini, diperkirakan sudah dapat dipanen. Ini merupakan panen perdana tanaman padi pada lahan kering yang dijadikan Pilot Proyek Pengembangan Teknologi Panen Hujan dan Aliran Permukaan Puslitbangtanak (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat) Bogor dan CIRAD, sebuah lembaga Riset dan Pengembangan Pertanian Perancis yang didukung Kedutaan Besar Perancis di Jakarta.

Padi tersebut ditanam sejak pertengahan bulan November 2001 di atas lahan kering. Sekitar tiga hektar lahan kering di Desa Bunder milik kelompok petani setempat dijadikan lahan pilot proyek penerapan teknologi sederhana yang mudah dibuat dan digunakan serta tak sulit perawatannya. Teknologi tersebut didesain di Bogor, kemudian diaplikasikan ke daerah Gunung Kidul oleh Gatot Irianto (42), doktor bidang pemodelan hidrologi dari ENSA Rennes Perancis yang kini menjadi ahli peneliti muda dan Ketua Kelompok Peneliti Agroklimat dan Hidrologi Puslitbangtanak serta Pengurus Pusat Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia (Perhimpi).

Daerah Gunung Kidul dipilih menjadi pilot proyek, dimaksudkan untuk menjadi pembanding pilot proyek yang telah berlangsung sejak tiga tahun. Pilot proyek pembanding ini adalah embung (tempat penampungan air hujan dan aliran permukaan) di Nawungan, Kecamatan Imogiri, Bantul, DI Yogyakarta. Embung ini dibuat di lahan produktif milik petani setempat. Embung itu kini telah mampu "mengubah" usaha petani setempat dengan berbagai macam tanaman, yakni padi, bawang merah, cabai, melinjo, tembakau, dan mangga. Sesuatu yang tadinya tak mungkin dilakukan, kini dapat dikerjakan karena persediaan air cukup. Pertumbuhan tanaman terjamin karena memperoleh pengairan yang baik.

Kelompok tani Desa Bunder kini tampak gembira karena teknologi sederhana yang didesain oleh Gatot dari Bogor ini mampu mengubah lahan kering yang semula hanya dapat ditanami singkong, kini menjadi lahan subur. Tanah kering itu menjadi gembur karena memperoleh air secukupnya. Dengan demikian, padi, sayuran, dan palawija dapat ditanam dengan hasil yang tampaknya cukup menjanjikan. Sudjiwo (65), Ketua Kelompok Tani Bunder, wajahnya berseri-seri ketika mengetahui perubahan nyata dari lahan pertanian. "Pertengahan bulan ini atau selambat-lambatnya panen perdana sudah dapat kami lakukan," kata Sudjiwo dengan nada gembira pada Kompas, Selasa (5/2) pekan lalu.

Di Desa Bunder itu, saat ini dibuat dua waduk kecil dengan ukuran panjang 20 meter, lebar lima meter, dan kedalaman sekitar tiga setengah meter, dengan kapasitas tampung air sekitar 300 meter kubik. Air aliran permukaan pada jaringan hidrologi di permukaan daerah aliran sungai (DAS) sebelum masuk ke sungai, "dicegat", lalu dibuat pintu air untuk masuknya air ke dalam waduk kecil, selanjutnya dibuat pintu air lainnya untuk mengalirkan air turun ke bawah mengikuti kembali jaringan hidrologi yang menuju ke sungai utama.

Waduk kedua dibuat di bawah waduk pertama. "Kami hanya mendesain waduk dan memberikan petunjuk teknis, selanjutnya mereka yang mengerjakan, demikian pula untuk tanaman padi dan pemeliharaan tanamannya kami serahkan kepada petani setempat," kata Gatot yang beristrikan Dra Sri Dwi Hartati MM (39), Kepala SMUN IV Bogor dan dikaruniai tiga anak (dua lekaki dan satu perempuan).

***

WADUK kecil yang diterapkan di Desa Bunder saat ini diharapkan di masa depan akan mendatangkan perubahan ekonomi petani setempat. Melalui sentuhan teknologi sederhana dengan biaya yang relatif murah itu, diharapkan akan mampu meningkatkan kesejahteraan warga desa setempat karena pendapatan dari usaha taninya meningkat.

Gatot Irianto alumnus Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta yang kini menjadi dosen Analisis Sistem Hidrologi pada Program Pascasarjana IPB ini menyebutkan, waduk kecil itu sangat ideal untuk dikembangkan untuk usaha tani pada lahan kering seperti di daerah Gunung Kidul, Cianjur Selatan, Sukabumi Selatan, dan daerah-daerah yang mempunyai potensi lahan kering lainnya.

Diperkirakan, di Indonesia saat ini terdapat sekitar 40 juta hektar lahan kering. "Bila 10 persen saja dari itu bisa digarap, maka sekitar empat juta lahan kering dapat ditanami padi. Dan bila sekurang-kurangnya satu tahun sekali dapat dipanen dengan hasil serendah-rendahnya tiga ton per hektar maka akan diperoleh 12 juta ton, kan, luar bisa hasilnya. Bisa jadi tak perlu impor beras lagi," kata Gatot.

Waduk kecil itu bukan hanya dapat diterapkan untuk mengairi lahan pertanian saja, tetapi juga dapat digunakan untuk mengatasi banjir yang terjadi saat ini. "Sangat bermanfaat bila dibuat di daerah Puncak, Bogor, jadi tak perlu membuat situ yang cukup besar," kata Gatot lagi. Ia menambahkan, waduk kecil ini bila dibuat dengan jumlah yang banyak dari hulu di kawasan Puncak sampai ke Jakarta akan berfungsi menahan kecepatan aliran air yang turun dan mengurangi volume air yang mengalir ke hilir. "Kalau ditahan cukup banyak, maka aliran air itu akan turun perlahan-lahan karena kecepatan aliran permukaan itu tertahan," kata Gatot

Gatot yang memilih bidang keahlian hidrologi ini menyebutkan, perbaikan sistem DAS selama ini lebih ditekankan pada peningkatan jumlah dan kualitas vegetasi penutup tanah. Pengalaman menunjukkan bahwa selain memerlukan biaya besar, waktu lama, sering kali sulit mengukur dampaknya, karena persentase tanaman yang mati akibat kekeringan sangat besar dan laju penebangan lebih tinggi dibandingkan penanamannya.

Panen hujan dan aliran permukaan dengan menampung sebagian besar air hujan dan aliran permukaan pada jaringan hidrologi di seluruh permukaan DAS merupakan pilihan yang lebih baik, karena volume air yang ditampung lebih besar dibandingkan yang diintersepsi vegetasi sehingga dampaknya lebih cepat dirasakan.

Lebih jauh lagi, katanya, teknologi ini dapat menyediakan air secara merata di seluruh permukaan DAS, sehingga dapat menambah cadangan air DAS di musim kemarau. Dengan demikian, selain dapat menurunkan banjir (debit maksimum) dan memperpanjang waktu respons DAS (selang antara hujan maksimum dan debit maksimum), juga dapat menambah cadangan air pada musim kemarau lebih banyak sehingga dapat bersinergi dengan upaya reboisasi dan penghijauan di kawasan hutan.

Di lahan pertanian, hasil panen hujan dan aliran permukaan dapat digunakan sebagai air irigasi tambahan pada musim kemarau untuk budidaya komoditas bernilai ekonomi tinggi (sayuran dan buah-buahan). Pada daerah perkotaan yang terletak di pantai, upaya panen hujan dan aliran permukaan sangat bermanfaat untuk menahan instrusi air laut, sekaligus mendorong berkembangnya perikanan seperti di wilayah sekitar Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng.

Bersamaan dengan panen hujan dan aliran permukaan pada jaringan hidrologi, menurut Gatot, dapat dilakukan pengecekan apakah terjadi penyempitan saluran air/jaringan hidrologi akibat pembangunan permukiman atau tidak.

Gatot menambahkan, perkerjaan tersebut sebaiknya dilakukan oleh masyarakat setempat dengan dibantu pemerintah agar bangunan di bantaran sungai dapat diselesaikan di tingkat komunitas sendiri. Sumber pendanaan awal dapat diambil dari sebagian kecil alokasi dana subsidi BBM serta peran serta masyarakat.

Dengan demikian, menurut Gatot, aplikasi teknologi panen hujan dan aliran permukaan sangat bermanfaat dalam meningkatkan produktivitas lahan sesuai lokasi dan fungsinya. "Sebenarnya konsep ini sudah saya perkenalkan sejak lima tahun lalu, namun tingkat adopsi di tingkat pengambil kebijakan masih terbatas, sebaliknya adopsi petani jauh lebih menggembirakan," kata Gatot (FX Puniman) Dipublikasikan di Harian Umum Kompas pada hari Rabu, 13 Februari 2002.

Tidak ada komentar: