Kamis, 15 November 2007

AIR, KRISIS ENERGI, PEMBAKARAN HUTAN DAN JASA LINGKUNGAN

Krisis energi akibat melonjaknya harga BBM dan “pembakaran hutan (karena disengaja)” yang melepas energi bebas ke atmosfer (free energy release to the atmosfer) merupakan dua masalah nasional yang intensitas, frekuensi dan durasinya diprakirakan masih terus meningkat. Masalah pertama memukul telak sendi perekonomian nasional terutama industri yang berbasis energi dan masyarakat miskin dalam bentuk penurunan daya beli akibat meningkatnya biaya hidup dan harga kebutuhan pokok yang tidak diimbangi peningkatan penghasilan. Padahal, biomasa dalam pembakaran hutan sesungguhnya merupakan sumber energi potensial terbarukan (potential renewable energy) yang mudah didapat, murah sebagai substitusi sumber energi fosil yang harganya melonjak. Sayangnya, masalah krisis energi dan pembakaran hutan masih digarap secara sectoral fragmented, sehingga tidak pernah menyelesaikan masalah fundamentalnya. Indikatornya, krisis energi jalan terus demikian juga masalah asap akibat pembakaran hutan meluas mengganggu di dalam dan luar negeri. Mengapa para pakar energi belum mendayagunakan biomasa pada pembakaran hutan sebagai sumber produksi energi dalam pemecahan masalah krisis energi dan pembakaran hutan dan lahan secara simultan dan menyeluruh? Padahal Indonesia mempunyai banyak teknologi dan pengalaman untuk itu, misalnya tungku arang almarhum Prof Herman Yohanes. Kerjasama lintas sektor non konvensional antara Depertemen Energi dan Sumberdaya Mineral, Departemen Kehutanan dan Departemen Pertanian seharusnya segera dikembangkan. Sudah sepantasnya keunggulan energi matahari dan air dalam produksi biomasa dimanfaatkan sebagai sumber substitusi energi. Krisis energi dan masalah pembakaran hutan diprakirakan masih meningkat karena harga minyak mentah kecenderungannya naik, demikian juga puncak musim kemarau diprakirakan terjadi pada akhir September.

Pilihan kedua dalam penyelesaian krisis energi dan masalah pembakaran hutan adalah: penyediaan air yang memadai menurut ruang (spatial) dan waktu (temporal). Melalui pengembangan panen hujan dan aliran permukaan (rainfall and water harvesting), maka produksi energi hydropower, serat, biomasa dan bahan pangan dapat dioptimalkan. Tersedianya air di wilayah endemik pembakaran hutan seperti di Riau, Jambi, Palembang, Kalimantan Barat, Tengah dan Selatan pada musim kemarau memungkinkan kecepatan perambatan api (fire propagation) dapat direduksi pemadaman lebih mudah dilakukan, karena sumber airnya tersedia. Pertanyaannya: mengapa pemerintah tidak mengangkat program rainfall and water harvesting melalui pengembangan channel reservoir menjadi program dan gerakan nasional untuk menyelesaikan masalah krisis energi dan pembakaran hutan dan lebih memilih penyelesaian yang bersifat ad hock, temporary? Pemetaan lokasi, dan dimensi channel reservoir dapat dilakukan dengan menggunakan citra satelit sesuai dengan keperluan dan kondisi wilayahnya. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Badan Litbang Pertanian dan Pusat Data Inderaja, LAPAN berpengalaman dalam pemanfaatan citra untuk keperluan tersebut. Ada tiga pertimbangan mengapa air dipilih sebagai terobosan dalam penyediaan krisis energi dan pembakaran hutan: (1) produk energinya sangat diversified, renewable, sustainable dan biayanya murah (2) dapat mengatur suhu dan kelembaban sehingga kenyamanan lingkungan (environment conformability) meningkat dan lahan serta hutannya tidak mudah terbakar (3) tingkat pastisipasi seluruh lapisan masyarakat sangat tinggi, karena air dibutuhkan semua makhluk hidup kapan dan di manapun berada.

Keunggulan komparatif dan kompetif lain pengembangan energi berbasis sumberdaya air dibandingkan energi fosil lainnya adalah terbentuknya mekanisme pelayanan jasa lingkungan (environmental services) yang sudah banyak digarap negara maju dan belum banyak digarap di Indonesia. Pasokan air untuk turbin listrik yang dihasilkan hutan yang dikelola masyarakat bagian hulu (up stream) dapat dibayarkan jasa lingkungannya oleh PLN yang memproduksi listrik, sehingga masyarakat miskin dan marginal memperoleh manfaat ekonomi, lingkungan dan sosial secara simultan. Dampak positifnya, masyarakat akan menjaga kelestarian hutan untuk kebutuhan ekonomi dan energinya serta menjadi lebih aware dalam pengelolaannya. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, peningkatan ketersediaan air menurut ruang dan waktu juga dapat meningkatkan jenis, kualitas, produktivitas komoditas yang diusahakan. Ringkasnya, masyarakat dapat menggunakan air yang tersedia tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonominya saja tetapi juga untuk mengelola kehidupan sosial maupun politiknya. Itulah sebabnya wilayah yang airnya melimpah sepanjang tahun, masyarakatnya lebih damai dan sejahtera. Sayangnya pelajaran penting ini belum diadopsi pemerintah dan para politisi dalam mengelola kehidupan politik nasional terutama dalam pelaksanaan pilkada. Tingginya intensitas, frekuensi dan durasi konflik baik pra, saat maupun pasca Pilkada diprakirakan terjadi akibat pemilihan waktu (timing) pelaksanaan yang kurang tepat yaitu musim kemarau. Periode tersebut umumnya terjadi: paceklik, suhu dan kelembabannya tinggi sehingga kenyamanan lingkungan marginal dan masyarakat lebih sensitif terhadap provokasi. Masalahnya akan jauh berbeda apabila Pilkada dilakukan pada musim hujan, suhunya dingin, panennya bagus, sehingga masyarakat lebih tenang dan jernih melaksanakan hak dan kewajiban konstitusinya. == Dibuat pada 22 Oktober 2005, pukul 19:06:20 ==

Tidak ada komentar: